Laman

Rabu, 28 September 2011

Peradilan Desa (Adat) di Bali (2-Eksistensi Yuridis)



HAKIM PERDAMAIAN DESA 
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN RI
(Cuplikan Tesis I Ketut Sudantra, 2007, "Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa di Bali, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, hlm. 94-104) 

Dalam UUD 1945
Untuk melihat dasar hukum hakim perdamaian desa, pertama-tama haruslah dilihat pengaturannya dalam konstitusi negara RI. Pengakuan konstitusi terhadap suatu lembaga diakui sangat penting karena konstitusi merupakan aturan hukum tertinggi (basic law) dalam hukum nasional suatu negara[1]. Menurut ajaran Hans Kelsen, tata hukum terutama tata hukum yang dipersonifikasikan  dalam bentuk negara merupakan suatu tata urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda. Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu yakni norma yang lebih rendahditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan rangkaian proses pembentukan hukum ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi, yang karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tata hukum, membentuk kesatuan tata hukum ini[2]. Dengan demikian, berdasarkan ajaran ini maka berlaku asas bahwa dalam tata urutan perundang-undangan suatu sistem hukum negara, peraturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Asas ini dengan jelas dianut dalam sistem hukum di Indonesia, seperti dinyatakan secara tegas dalam penjelasan terhadap Pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa: ”Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ’hierarki’ adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Menurut Pasal 7 ayat (1) undang-undang tersebut, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a.      Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
c.       Peraturan Pemerintah;
d.     Peraturan Presiden;
e.      Peraturan Daerah
Kemudian dalam Pasal 7 ayat (5) ditegaskan bahwa ”Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan di atas adalah sesuai dengan hierarkhinya...”
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk melihat dasar hukum dari hakim perdamaian desa harus dimulai dengan melakukan kajian terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Dalam UUD 1945 tidak terdapat ketentuan yang secara tegas mengatur keberadaan hakim perdamaian desa. Akan tetapi, mengingat hakim perdamaian desa adalah salah satu fungsi yang dapat diperankan oleh kepala-kepala masyarakat hukum adat maka keberadaan hakim perdamaian desa dapat dilihat dari pengakuan UUD 1945 atas masyarakat hukum adat itu sendiri. Pengakuan UUD 1945 terhadap masyarakat hukum adat dengan tegas dinyatakan oleh Pasal 18B ayat (2). Pasal yang merupakan hasil amandemen UUD 1945 kedua ini menyatakan sebagai berikut: ”Negara mengakui dan dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masing hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang”. Sebelum UUD 1945 diamandemen, pengakuan seperti itu sesungguhnya secara tersirat sudah tercantum dalam Penjelasan Pasal 18 yang menyatakan sebagai berikut:
dalam teritoir Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturen de land schappen dan volksgemen schappen seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara kesatuan Republik Indonesia mengghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut.

Dari pengakuan UUD 1945 terhadap masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya ini dapat diketahui bahwa secara implisit konstitusi mengakui keberadaan hakim perdamaian desa. Seperti diketahui, salah satu hak tradisional masyarakat hukum adat adalah kewenangan untuk menyelesaikan perkara-perkara diantara warga masyarakat di desa secara perdamaian dan kewenangan demikian tidak lain merupakan fungsi dari hakim perdamaian desa. Hal ini sesuai dengan pernyataan R. Soepomo mengenai aktivitas-aktivitas pokok dari kepala masyarakat hukum adat yang telah dikutip secara lengkap di atas.
Dari uraian di atas, akhirnya dapatlah digarisbawahi bahwa hakim perdamaian desa mempunyai landasan konstituisi yang kuat, yaitu mendapat pengakuan berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Pengakuan konstitusi terhadap keberadaan hakim perdamaian desa ini sangat penting dan mempunyai nilai yuridis yang tinggi karena UUD 1945 merupakan peraturan dasar yang tidak boleh disimpangi oleh peraturan perundang-undangan RI yang lebih rendah tingkatannya.

Dalam Undang-undang
Dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan RI yang berlaku sekarang, di bawah UUD 1945 terdapat undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Apabila ditelusuri secara hierarkhis dan substansial, sesungguhnya undang-undang yang harus dilihat adalah undang-undang yang mengatur tentang desa adalah Undang-undang Pemerintahan Daerah, khususnya yang kini berlaku. Dalam dua Undang-undang Pemerintahan Daerah yang berlaku terakhir, yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa pengertian desa itu adalah kesatuan masyarakat hukum, seperti yang dimaksud oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Dahulu, pada masa berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, fungsi hakim perdamaian desa diakui keberadaannya sebagai salah satu tugas kepala desa, karena menurut Pasal 101 Undang-undang tersebut salah satu tugas kepala desa adalah: ”mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa”. Bahkan penjelasan atas pasal tersebut menegaskan kekuatan mengikat hasil penyelesaian perkara ditingkat desa dengan menyatakan bahwa: ”Segala perselisihan yang didamaikan oleh Kepala Desa bersifat mengikat pihak-pihak yang berslisih”. Tetapi ketika undang-undang ini kemudian diganti dengan yang baru, yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, ketentuan demikian tidak diatur lagi. Undang-undang yang baru ini lebih suka menyerahkan pengaturan tugas kepala desa kepada Peraturan Daerah. Dengan demikian, sekarang satu-satunya landasan hukum bagi hakim perdamaian desa dalam tataran undang-undang adalah Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 yang telah lama oleh banyak kalangan diakui sebagai landasan yuridis hakim perdamaian desa[3].
Nama lengkap Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 sendiri sesungguhnya adalah Undang-undang tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil. Memang, undang-undang ini dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) mengatur tentang penghapusan pengadilan-pengadilan umum bentukan Pemerintah Hindia Belanda dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi dan penghapusan secara berangsur-angsur Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat, tetapi undang-undang ini sama sekali tidak mengurangi hak kekuasaan hakim perdamaian desa, seperti ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) undang-undang tersebut. Selengkapnya, Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa: ”Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikit pun mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3a Rechterlijke Organisatie”. Disini, Undang-undang Darurat merujuk kepada peraturan pada jaman Hindia Belanda, yaitu Pasal 3a Rechterlijke Organisatie (RO).
Pada masa kolonial Belanda, hakim perdamaian desa ini secara formal mendapat pengakuan undang-undang sejak tahun 1935, walaupun sesungguhnya sebelum itu dalam kenyataannya hakim-hakim desa itu sudah ada dalam masyarakat Indonesia[4]. Mengenai hak kekuasaan hakim perdamaian desa, Pasal 3a RO yang selengkapnya menyebutkan sebagai berikut:
(1)      Perkara-perkara yang pemeriksaaannya menurut hukum adat (cetak miring dari penulis) menjadi wewenang hakim dari masyarakat hukum kecil-kecil (hakim desa) tetap diserahkan kepada pemeriksaan mereka;
(2)      Apa yang ditentukan dalam ayat (1), sekali-kali tidak mengurangi wewenang dari para pihak untuk setiap waktu menyerahkan perkaranya kepada hakim yang dimaksudkan dalam ayat 1,2, dan 3;
(3)      Hakim-hakim yang dimaksud dalam ayat (1), mengadili menurut hukum adat (cetak miring dari penulis), mereka tidak bleh mengenakan hukuman.

Istilah ”hak kekuasaan hakim perdamaian desa” yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 dapat diterjemahkan sebagai fungsi dari hakim perdamaian desa. Dengan demikian, berdasarkan undang-undang, fungsi dari hakim perdamaian desa adalah memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangannya menurut hukum adat.
Walaupun Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 dengan jelas tidak menghapus keberadaan hakim perdamaian desa, tetapi ada kalangan yang meragukan eksistensi hakim perdamaian desa dengan mengaitkannya dengan Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang mulai berlaku tanggal 17 Desember 1970[5]. Pasal 13 ayat (1) undang-undang tersebut menentukan bahwa semua peradilan di seluruh wilayah Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Penjelasan Umum angka 7 undang-undang ini menyatakan bahwa: ”Penegasan bahwa Peradilan adalah Peradilan Negara, dimaksudkan untuk menutup semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi Peradilan Swapraja atau Peradilan Adat yang dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara”. Oleh karena peradilan desa (hakim perdamaian desa) bukanlah peradilan negara, maka menurut pandangan ini setelah berlakunya Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman ini peradilan tersebut sudah tidak ada lagi[6]. Undang-undang ini dianggap sebagai lonceng kematian bagi hakim perdamaian desa[7].
Tampaknya, pandangan demikian didasarkan pada pemahaman yang keliru mengenai hakim perdamaian desa yang dipahamkan sebagai bagian dari peradilan adat. Kekeliruan pandangan ini ditunjukkan oleh Dewa Gde Atmaja dalam tulisannya yang dimuat dalam Majalah Pro Justisia berjudul Hakim Perdamaian Desa dan Undang-undang Pemerintahan Desa. Menurutnya, tidak perlu diragukan lagi eksistensi hakim perdamaian desa. Pandangannya itu didasarkan pada beberapa argumentasi. Pertama, peradilan desa (hakim perdamaian desa) tidaklah sama dengan Peradilan Adat seperti yang dimaksudkan oleh Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Dalam undang-undang darurat ini yang secara tegas dihapuskan adalah Pengadilan Gubernemen, Pengadilan Swapraja, dan Pengadilan Adat, sedangkan kekuasaan hakim-hakim perdamaian desa tetap diakui eksistensinya. Kedua, hakim perdamaian desa sebetulnya tidaklah mengenai pemberian kekuasaan mengadili (atrubutie van Rechtmacht) dimana pihak-pihak yang berperkara tidak berkewajiban mengajukan perkaranya kepada hakim perdamaian desa itu, melainkan atas dasar sukarela. Dengan mengutip Soepomo, ia mengatakan bahwa hakim Pengadilan Negeri memang wajib memperhatikan sebanyak mungkin putusan desa jika itu dianggap sesuai dengan kewajibannya untuk mengadili sendiri menurut hukum adat, tetapi hakim Pengadilan Negeri tidak terikat pada putusan hakim perdamaian desa. Disamping itu, menurut Atmadja, perkataan ”hakim” pada istilah hakim perdamaian desa bukanlah  ”hakim” dalam arti kata yang sebenarnya sebagaimana hakim pada Pengadilan Negeri. Padangan terakhir ini didasarkan pada bunyi Pasal 3a ayat (2) RO, yaitu: ”...tidak mengurangi hak pihak-pihak yang bersangkutan untuk sewaktu-waktu memajukan di muka hakim biasa”. Kemudian, dalam hal penghukuman, hakim perdamaian desa tidak bisa menjatuhkan hukuman seperti yang ditentukan dalam KUHP, melainkan hanya dapat menetapkan reaksi adat (adat reaaktie) untuk memulihkan keseimbangan atau keharmonisan dalam kehidupan masyarakat[8].
Dengan menyetujui sepenuhnya argumentasi yang diberikan oleh Dewa Gede Atmadja di atas, akhirnya tidak diragukan lagi eksistensi hakim perdamaian desa di dalam peraturan perundang-undangan nasional. Eksistensi hakim perdamaian desa tetap diakui berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Darurat Tahun 1951 dan samasekali tidak terkena ketentuan Pasal 13 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.

Dalam Peraturan Pemerintah
Dalam tingkatan Peraturan pemerintah, fungsi hakim perdamaian desa disinggung dalam peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Peraturan Pemerintah inilah yang sekarang ini yang harus dijadikan dasar dalam penyusunan Peraturan Daerah yang mengatur mengenai tugas dan kewajiban Kepala Desa seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 (Pasal 208). Dalam Peraturan Pemerintah ini, pengakuan terhadap fungsi hakim perdamaian desa dinyatakan secara sumir pada Pasal 15 sebagai salah satu kewajiban dari Kepala Desa. Lebih jelas, Pasal tersebut menyatakan bahwa ”Dalam melaksanakan tugas dan wewenang...Kepala Desa mempunyai kewajiban...mendamaikan perselisihan masyarakat di desa”. Dengan demikian, fungsi hakim perdamaian desa mendapat pengakuan dalam level Peraturan Pemerintah.

Dalam Peraturan Daerah
Eksistensi hakim perdamaian desa juga diakui dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali, yaitu Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman seperti telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003. Walaupun secara ekplisit istilah ”hakim perdamaian desa” tidak disebutkan di dalam Peraturan Daerah tersebut, tetapi fungsi dari hakim perdamaian desa yaitu menyelesaikan dan mendamaikan sengketa-sengketa yang terjadi dalam masyarakat desa dikenal dan diakui keberadaannya dalam Peraturan Daerah tersebut. Fungsi tersebut diakui sebagai tugas dari prajuru desa pakraman, sehingga merupakan suatu fungsi yang harus dilaksanakan. Untuk lebih jelasnya, Pasal 8 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 dengan tegas menyatakan bahwa : ”Prajuru desa pakraman mempunyai tugas-tugas....mengusahakan perdamaian dan penyelesaian sengketa-sengketa adat”.
Pengakuan terhadap adanya tugas prajuru desa pakraman untuk mengusahakan perdamaian dan menyelesaikan sengketa, tidak bisa lain harus ditafsirkan sebagai pengakuan atas fungsi hakim perdamaian desa yang menjadi tanggung jawab dari prajuru desa pakraman. Pengakuan ini penting sebab dengan ini prajuru desa pakraman mempunyai landasan yang kuat untuk menyelesaikan perkara-perkara adat yang terjadi di dalam wilayah desa pakraman.
Pengakuan terhadap eksistensi fungsi hakim perdamaian desa ternyata juga dapat ditemukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten. Di Kabupaten Gianyar hal ini dapat ditemukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 10 Tahun 2002 tentang Susunan Organisasi Pemerintah Desa. Berbeda dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 yang meletakkan tanggung jawab sebagai pelaksana fungsi hakim perdamaian desa dipundak prajuru desa pakraman, Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar memberikan tanggungjawab itu kepada Perbekel (Kepala Desa Dinas). Pasal 5 Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar tersebut menyatakan bahwa: ”...Perbekel mempunyai fungsi...mendamaikan perselisihan masyarakat Desa...”


[1] Hans Kelsen, 1995, Teori Hukum Murni,  Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, diterjemahkan oleh Soemardi dari judul asli : General Theory of Law And State, Rimdi Prees, hal. 126. Lihat pula Jimly Asshiddiqie dan Ali Safaa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Mahkamah Konstituisi RI, Jakarta, hal 110.
[2] Hans Kelsen, loc.cit.
[3] Lihat antara lain: Tjok Istri Putra Astiti I, op.cit, hal. 4; Lihat pula H.R. Otje Salman Soemadiningrat, op.cit., hal. 154.
[4] R. Soepomo I, op.cit,  hal. 101
[5] Sekarang ini Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang berlaku adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004.
[6] I Dewa Made Berata, 1978, “Lembaga Hakim Perdamaian Desa Ditinjau Dari Segi Hukum Positif”, Majalah Pengayoman Nomor 9 Tahun III, hal. 29.
[7] Hazairin, 1970, Hakim Desa, Bhratara. Jakarta, hal 9.
[8] Dewa Gede Atmadja, 1978, ”Hakim Perdamaian Desa dan Undang-undang Pemerintahan Desa”, Pro Justitia, hal. 716.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar