HAKIM PERDAMAIAN DESA
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN RI
(Cuplikan Tesis I Ketut
Sudantra, 2007, "Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi
Dualisme Pemerintahan Desa di Bali, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, hlm. 94-104)
Dalam
UUD 1945
Untuk
melihat dasar hukum hakim perdamaian desa, pertama-tama haruslah dilihat
pengaturannya dalam konstitusi negara RI. Pengakuan konstitusi terhadap suatu
lembaga diakui sangat penting karena konstitusi merupakan aturan hukum
tertinggi (basic law) dalam hukum
nasional suatu negara[1]. Menurut ajaran Hans
Kelsen, tata hukum —terutama tata hukum
yang dipersonifikasikan dalam bentuk
negara— merupakan suatu tata urutan norma-norma dari
tingkatan-tingkatan yang berbeda. Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh
fakta bahwa pembentukan norma yang satu —yakni norma
yang lebih rendah—ditentukan oleh norma
lain yang lebih tinggi yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang
lebih tinggi lagi, dan rangkaian proses pembentukan hukum ini diakhiri oleh
suatu norma dasar tertinggi, yang karena menjadi dasar tertinggi dari validitas
keseluruhan tata hukum, membentuk kesatuan tata hukum ini[2]. Dengan demikian,
berdasarkan ajaran ini maka berlaku asas bahwa dalam tata urutan
perundang-undangan suatu sistem hukum negara, peraturan hukum yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Asas ini dengan
jelas dianut dalam sistem hukum di Indonesia, seperti dinyatakan secara tegas
dalam penjelasan terhadap Pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang
menyatakan bahwa: ”Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ’hierarki’ adalah
penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada
asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Menurut
Pasal 7 ayat (1) undang-undang tersebut, jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang;
c.
Peraturan Pemerintah;
d.
Peraturan Presiden;
e.
Peraturan Daerah
Kemudian dalam Pasal 7
ayat (5) ditegaskan bahwa ”Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan di atas
adalah sesuai dengan hierarkhinya...”
Berdasarkan
uraian di atas, maka untuk melihat dasar hukum dari hakim perdamaian desa harus
dimulai dengan melakukan kajian terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Dalam UUD 1945 tidak
terdapat ketentuan yang secara tegas mengatur keberadaan hakim perdamaian desa.
Akan tetapi, mengingat hakim perdamaian desa adalah salah satu fungsi yang
dapat diperankan oleh kepala-kepala masyarakat hukum adat maka keberadaan hakim
perdamaian desa dapat dilihat dari pengakuan UUD 1945 atas masyarakat hukum
adat itu sendiri. Pengakuan UUD 1945 terhadap masyarakat hukum adat dengan
tegas dinyatakan oleh Pasal 18B ayat (2). Pasal yang merupakan hasil amandemen
UUD 1945 kedua ini menyatakan sebagai berikut: ”Negara mengakui dan dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masing hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
Undang-undang”. Sebelum UUD 1945 diamandemen, pengakuan seperti itu
sesungguhnya secara tersirat sudah tercantum dalam Penjelasan Pasal 18 yang
menyatakan sebagai berikut:
dalam teritoir
Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturen de land schappen dan
volksgemen schappen seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun
dan marga di Palembang. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh
karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara kesatuan
Republik Indonesia mengghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan
segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak
asal usul daerah tersebut.
Dari pengakuan UUD 1945 terhadap masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya ini dapat diketahui bahwa secara implisit
konstitusi mengakui keberadaan hakim perdamaian desa. Seperti diketahui, salah
satu hak tradisional masyarakat hukum adat adalah kewenangan untuk
menyelesaikan perkara-perkara diantara warga masyarakat di desa secara
perdamaian dan kewenangan demikian tidak lain merupakan fungsi dari hakim
perdamaian desa. Hal ini sesuai dengan pernyataan R. Soepomo mengenai
aktivitas-aktivitas pokok dari kepala masyarakat hukum adat yang telah dikutip
secara lengkap di atas.
Dari
uraian di atas, akhirnya dapatlah digarisbawahi bahwa hakim perdamaian desa
mempunyai landasan konstituisi yang kuat, yaitu mendapat pengakuan berdasarkan Pasal
18B ayat (2) UUD 1945. Pengakuan konstitusi terhadap keberadaan hakim perdamaian
desa ini sangat penting dan mempunyai nilai yuridis yang tinggi karena UUD 1945
merupakan peraturan dasar yang tidak boleh disimpangi oleh peraturan
perundang-undangan RI yang lebih rendah tingkatannya.
Dalam Undang-undang
Dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan RI yang berlaku sekarang, di
bawah UUD 1945 terdapat undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang. Apabila ditelusuri secara hierarkhis dan substansial,
sesungguhnya undang-undang yang harus dilihat adalah undang-undang yang mengatur
tentang desa adalah Undang-undang Pemerintahan Daerah, khususnya yang kini
berlaku. Dalam dua Undang-undang Pemerintahan Daerah yang berlaku terakhir,
yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
disebutkan bahwa pengertian desa itu adalah kesatuan masyarakat hukum, seperti
yang dimaksud oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Dahulu, pada masa berlakunya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, fungsi hakim perdamaian desa diakui
keberadaannya sebagai salah satu tugas kepala desa, karena menurut Pasal 101
Undang-undang tersebut salah satu tugas kepala desa adalah: ”mendamaikan
perselisihan masyarakat di Desa”. Bahkan penjelasan atas pasal tersebut
menegaskan kekuatan mengikat hasil penyelesaian perkara ditingkat desa dengan
menyatakan bahwa: ”Segala perselisihan yang didamaikan oleh Kepala Desa
bersifat mengikat pihak-pihak yang berslisih”. Tetapi ketika undang-undang ini
kemudian diganti dengan yang baru, yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004,
ketentuan demikian tidak diatur lagi. Undang-undang yang baru ini lebih suka
menyerahkan pengaturan tugas kepala desa kepada Peraturan Daerah. Dengan
demikian, sekarang satu-satunya landasan hukum bagi hakim perdamaian desa dalam
tataran undang-undang adalah Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 yang
telah lama oleh banyak kalangan diakui sebagai landasan yuridis hakim
perdamaian desa[3].
Nama lengkap Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 sendiri sesungguhnya
adalah Undang-undang tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan
Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil. Memang, undang-undang
ini dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) mengatur tentang penghapusan
pengadilan-pengadilan umum bentukan Pemerintah Hindia Belanda dari tingkat
terendah sampai tingkat tertinggi dan penghapusan secara berangsur-angsur
Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat, tetapi undang-undang ini sama sekali
tidak mengurangi hak kekuasaan hakim perdamaian desa, seperti ditegaskan dalam
Pasal 1 ayat (3) undang-undang tersebut. Selengkapnya, Pasal 1 ayat (3)
menyatakan bahwa: ”Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikit pun
mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan kepada
hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3a Rechterlijke Organisatie”. Disini,
Undang-undang Darurat merujuk kepada peraturan pada jaman Hindia Belanda, yaitu
Pasal 3a Rechterlijke Organisatie (RO).
Pada masa kolonial Belanda, hakim perdamaian desa ini secara formal
mendapat pengakuan undang-undang sejak tahun 1935, walaupun sesungguhnya
sebelum itu dalam kenyataannya hakim-hakim desa itu sudah ada dalam masyarakat Indonesia[4]. Mengenai hak kekuasaan
hakim perdamaian desa, Pasal 3a RO yang selengkapnya menyebutkan sebagai
berikut:
(1) Perkara-perkara yang pemeriksaaannya menurut hukum adat (cetak miring
dari penulis) menjadi wewenang hakim dari masyarakat hukum kecil-kecil (hakim
desa) tetap diserahkan kepada pemeriksaan mereka;
(2) Apa yang
ditentukan dalam ayat (1), sekali-kali tidak mengurangi wewenang dari para
pihak untuk setiap waktu menyerahkan perkaranya kepada hakim yang dimaksudkan
dalam ayat 1,2, dan 3;
(3) Hakim-hakim
yang dimaksud dalam ayat (1), mengadili
menurut hukum adat (cetak miring dari penulis), mereka tidak bleh
mengenakan hukuman.
Istilah ”hak
kekuasaan hakim perdamaian desa” yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 dapat diterjemahkan sebagai fungsi dari
hakim perdamaian desa. Dengan demikian, berdasarkan undang-undang, fungsi dari
hakim perdamaian desa adalah memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang
menjadi kewenangannya menurut hukum adat.
Walaupun
Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 dengan jelas tidak menghapus
keberadaan hakim perdamaian desa, tetapi ada kalangan yang meragukan eksistensi
hakim perdamaian desa dengan mengaitkannya dengan Undang-undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yaitu Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang mulai berlaku tanggal
17 Desember 1970[5].
Pasal 13 ayat (1) undang-undang tersebut menentukan bahwa semua peradilan di
seluruh wilayah Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan
undang-undang. Penjelasan Umum angka 7 undang-undang ini menyatakan bahwa:
”Penegasan bahwa Peradilan adalah Peradilan Negara, dimaksudkan untuk menutup
semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi Peradilan Swapraja atau
Peradilan Adat yang dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara”. Oleh karena
peradilan desa (hakim perdamaian desa) bukanlah peradilan negara, maka menurut
pandangan ini setelah berlakunya Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman ini peradilan
tersebut sudah tidak ada lagi[6]. Undang-undang ini
dianggap sebagai lonceng kematian bagi hakim perdamaian desa[7].
Tampaknya,
pandangan demikian didasarkan pada pemahaman yang keliru mengenai hakim
perdamaian desa yang dipahamkan sebagai bagian dari peradilan adat. Kekeliruan
pandangan ini ditunjukkan oleh Dewa Gde Atmaja dalam tulisannya yang dimuat
dalam Majalah Pro Justisia berjudul Hakim
Perdamaian Desa dan Undang-undang Pemerintahan Desa. Menurutnya, tidak
perlu diragukan lagi eksistensi hakim perdamaian desa. Pandangannya itu
didasarkan pada beberapa argumentasi. Pertama, peradilan desa (hakim perdamaian
desa) tidaklah sama dengan Peradilan Adat seperti yang dimaksudkan oleh
Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Dalam undang-undang darurat ini yang
secara tegas dihapuskan adalah Pengadilan Gubernemen, Pengadilan Swapraja, dan
Pengadilan Adat, sedangkan kekuasaan hakim-hakim perdamaian desa tetap diakui
eksistensinya. Kedua, hakim perdamaian desa sebetulnya tidaklah mengenai
pemberian kekuasaan mengadili (atrubutie
van Rechtmacht) dimana pihak-pihak yang berperkara tidak berkewajiban
mengajukan perkaranya kepada hakim perdamaian desa itu, melainkan atas dasar
sukarela. Dengan mengutip Soepomo, ia mengatakan bahwa hakim Pengadilan Negeri
memang wajib memperhatikan sebanyak mungkin putusan desa jika itu dianggap
sesuai dengan kewajibannya untuk mengadili sendiri menurut hukum adat, tetapi
hakim Pengadilan Negeri tidak terikat pada putusan hakim perdamaian desa.
Disamping itu, menurut Atmadja, perkataan ”hakim” pada istilah hakim perdamaian
desa bukanlah ”hakim” dalam arti kata
yang sebenarnya sebagaimana hakim pada Pengadilan Negeri. Padangan terakhir ini
didasarkan pada bunyi Pasal 3a ayat (2) RO, yaitu: ”...tidak mengurangi hak
pihak-pihak yang bersangkutan untuk sewaktu-waktu memajukan di muka hakim
biasa”. Kemudian, dalam hal penghukuman, hakim perdamaian desa tidak bisa
menjatuhkan hukuman seperti yang ditentukan dalam KUHP, melainkan hanya dapat
menetapkan reaksi adat (adat reaaktie)
untuk memulihkan keseimbangan atau keharmonisan dalam kehidupan masyarakat[8].
Dengan
menyetujui sepenuhnya argumentasi yang diberikan oleh Dewa Gede Atmadja di
atas, akhirnya tidak diragukan lagi eksistensi hakim perdamaian desa di dalam
peraturan perundang-undangan nasional. Eksistensi hakim perdamaian desa tetap
diakui berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Darurat Tahun 1951 dan
samasekali tidak terkena ketentuan Pasal 13 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Dalam Peraturan
Pemerintah
Dalam
tingkatan Peraturan pemerintah, fungsi hakim perdamaian desa disinggung dalam
peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Peraturan Pemerintah
inilah yang sekarang ini yang harus dijadikan dasar dalam penyusunan Peraturan
Daerah yang mengatur mengenai tugas dan kewajiban Kepala Desa seperti yang
diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 (Pasal 208). Dalam Peraturan
Pemerintah ini, pengakuan terhadap fungsi hakim perdamaian desa dinyatakan
secara sumir pada Pasal 15 sebagai salah satu kewajiban dari Kepala Desa. Lebih
jelas, Pasal tersebut menyatakan bahwa ”Dalam melaksanakan tugas dan
wewenang...Kepala Desa mempunyai kewajiban...mendamaikan perselisihan
masyarakat di desa”. Dengan demikian, fungsi hakim perdamaian desa mendapat
pengakuan dalam level Peraturan Pemerintah.
Dalam Peraturan
Daerah
Eksistensi
hakim perdamaian desa juga diakui dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali, yaitu
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman seperti
telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003. Walaupun
secara ekplisit istilah ”hakim perdamaian desa” tidak disebutkan di dalam
Peraturan Daerah tersebut, tetapi fungsi dari hakim perdamaian desa yaitu
menyelesaikan dan mendamaikan sengketa-sengketa yang terjadi dalam masyarakat
desa dikenal dan diakui keberadaannya dalam Peraturan Daerah tersebut. Fungsi
tersebut diakui sebagai tugas dari prajuru
desa pakraman, sehingga merupakan suatu fungsi yang harus dilaksanakan.
Untuk lebih jelasnya, Pasal 8 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 dengan tegas
menyatakan bahwa : ”Prajuru desa pakraman mempunyai tugas-tugas....mengusahakan
perdamaian dan penyelesaian sengketa-sengketa adat”.
Pengakuan
terhadap adanya tugas prajuru desa
pakraman untuk mengusahakan perdamaian dan menyelesaikan sengketa, tidak
bisa lain harus ditafsirkan sebagai pengakuan atas fungsi hakim perdamaian desa
yang menjadi tanggung jawab dari prajuru
desa pakraman. Pengakuan ini penting sebab dengan ini prajuru desa pakraman
mempunyai landasan yang kuat untuk menyelesaikan perkara-perkara adat yang
terjadi di dalam wilayah desa pakraman.
Pengakuan
terhadap eksistensi fungsi hakim perdamaian desa ternyata juga dapat ditemukan
dalam Peraturan Daerah Kabupaten. Di Kabupaten Gianyar hal ini dapat ditemukan
dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 10 Tahun 2002 tentang Susunan
Organisasi Pemerintah Desa. Berbeda dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor
3 Tahun 2003 yang meletakkan tanggung jawab sebagai pelaksana fungsi hakim
perdamaian desa dipundak prajuru desa
pakraman, Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar memberikan tanggungjawab itu
kepada Perbekel (Kepala Desa Dinas). Pasal 5 Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar
tersebut menyatakan bahwa: ”...Perbekel mempunyai fungsi...mendamaikan
perselisihan masyarakat Desa...”
[1] Hans Kelsen, 1995, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar
Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, diterjemahkan
oleh Soemardi dari judul asli : General Theory of Law And State, Rimdi Prees,
hal. 126. Lihat pula Jimly Asshiddiqie dan Ali Safaa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Mahkamah Konstituisi RI, Jakarta, hal 110.
[2] Hans Kelsen, loc.cit.
[3] Lihat antara lain: Tjok Istri Putra
Astiti I, op.cit, hal. 4; Lihat pula
H.R. Otje Salman Soemadiningrat, op.cit.,
hal. 154.
[4] R. Soepomo I, op.cit, hal. 101
[5] Sekarang ini Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman yang berlaku adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004.
[6] I Dewa Made Berata, 1978, “Lembaga Hakim
Perdamaian Desa Ditinjau Dari Segi Hukum Positif”, Majalah Pengayoman Nomor 9
Tahun III, hal. 29.
[7] Hazairin, 1970, Hakim Desa, Bhratara. Jakarta, hal 9.
[8] Dewa Gede Atmadja, 1978, ”Hakim
Perdamaian Desa dan Undang-undang Pemerintahan Desa”, Pro Justitia, hal. 716.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar