Laman

Rabu, 05 Oktober 2011

Peradilan Desa (Adat) di Bali (4-Pelaksanaan)


Pelaksana Fungsi Hakim Perdamaian Desa Di Bali
 (Cuplikan Tesis I Ketut Sudantra, 2007, "Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa di Bali”, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, hlm. 106-212) 

PELAKSANAAN suatu aturan hukum sangat ditentukan oleh kelembagaan (institusi)  yang melaksanakan aturan hukum tersebut. Kelembagaan inilah yang oleh Lawrence M. Friedman dalam teorinya legal sistem[1] disebut sebagai legal structure. Dalam uraian mengenai pengertian hakim perdamaian desa di depan telah dijelaskan bahwa secara kelembagaan yang melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa adalah kepala-kepala masyarakat hukum adat. Untuk daerah Bali yang secara yuridis dan faktual mengenal dua bentuk pemerintahan desa (dualisme) menjadi persoalan tersendiri mengenai siapa yang dimaksud sebagai kepala masyarakat hukum adat, apakah kepala desa pakraman (prajuru adat) ataukah kepala desa dinas. Hal ini menjadi persoalan karena peraturan perundang-undangan yang berlaku menunjukkan bahwa baik desa pakraman mau pun desa dinas sama-sama dinyatakan sebagai masyarakat hukum.
Dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 –yang  telah dikutip secara lengkap di depan, dengan jelas  disebutkan bahwa desa pakraman adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali. Seperti telah diketahui bahwa pemimpin dari desa pakraman disebut prajuru desa pakraman yang dipilih dan atau ditetapkan oleh krama desa dengan struktur dan susunan yang telah diatur dalam awig-awig desa pakraman masing-masing (Pasal 7). Sesuai dengan susunan prajuru (undagan prajuru) menurut Awig-awig Desa Pakraman Keramas, pejabat puncak Desa Pakraman Keramas disebut Bendesa[2]. Hal itu dengan jelas disebutkan dalam Pawos 13 yang menyatakan bahwa ”(1) Desa Adat Keramas kaenterang antuk Bendesa; (2) Banjar kaenterang antuk Kelian Banjar...”. Sebagai pemimpin desa pakraman, prajuru desa pakraman adalah kepala masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang semestinya melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa. Fungsi tersebut secara ekplisit dinyatakan dalam Pasal 8 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001. Pasal tersebut menegaskan bahwa ”Prajuru desa pakraman mempunyai tugas...mengusahakan perdamaian dan penyelesaian sengketa-sengketa adat” disamping tugas-tugas lainnya. Tugas-tugas lain yang disebutkan dalam Pasal 8 tersebut adalah melaksanakan awig-awig desa pakraman; mengatur penyelenggaraan upacara keagamaan di desa pakraman sesuai dengan sastra agama dan tradisi masing-masing; mewakili desa pakraman dalam bertindak untuk melakukan perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan atas persetujuan paruman desa; mengurus dan mengatur pengelolaan harta kekayaan desa pakraman; dan membina kerukunan umat beragama dalam wilayah desa pakraman. Mengenai peranan prajuru adat dalam menyelesaikan perkara dalam masyarakat di desa, Carol Warren, seorang peneliti asing yang meneliti desa adat dan desa dinas di Bali, menggambarkannya sebagai berikut:
As adat leaders, klian banjar witness weddings, organize death ceremonies, and conduct routine and special banjar assembly meetings (sangkepan and paruman) and work sessions (ngayah) for ritual purposes. Klian are consulted by members when conflicts arise over marriage, devorce, and inheritance, and in neighbourdhood disputes concerning straying livestock,boundaries,  and access rights[3]

Demikianlah Carol Warren menyebutkan peranan prajuru adat sangat besar  dalam kehidupan masyarakat desa. Disebutkannya, aktivitas-akitvitas prajuru adat meliputi aktivitas sebagai saksi dalam perkawinan, mengatur upacara kematian, menyelenggarakan rapat banjar (sangkepan) rutin maupun incidental, menyelenggarakan kerjabakti (ngayah) untuk tujuan upacara, serta menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan persoalan perkawinan, perceraian, pewarisan, dan konflik bertetangga mengenai ternak kesasar, batas-batas wilayah pekarangan, dan lain-lain. Carol Waren juga menyatakan bahwa dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut di atas, kemampuan prajuru adat sebagai mediator sangat diperlukan.
Di pihak lain, dalam pengertian desa yang disebutkan dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004) juga dinyatakan bahwa desa adalah masyarakat hukum adat. Hal itu dengan jelas disebutkan dalam Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. ”Desa” menurut undang-undang inilah yang di Bali diimplementasikan sebagai desa yang kini lazim disebut desa dinas. Dengan demikian, secara logika hukum maka kepala desa dinas juga adalah kepala masyarakat hukum adat yang padanya melekat fungsi sebagai hakim perdamaian desa. Hal ini tentu saja berimplikasi pada praktek penyelesaian sengketa yang terjadi dalam masyarakat di desa.
Dalam masyarakat hukum adat di Bali, baik itu desa pakraman, subak, dan masyarakat hukum adat lainnya, kelembagaan dalam penyelesaian perkara yang terjadi dilingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan umumnya telah ditentukan dalam awig-awignya. Pada tahun 2004 I Ketut Sudantra dan Ayu Putu Nantri melakukan penelitian mengenai identifikasi pola penyelesaian kasus adat menurut awig-awig desa pakraman di Kabupaten Badung. Dalam penelitian yang dilakukan dengan pendekatan normatif tersebut ditunjukkan hasil bahwa dalam awig-awig desa pakraman di Kabupaten Badung masalah kelembagaan dalam penyelesaian perkara dilingkungan desa pakraman telah diatur di dalam awig-awig masing-masing desa pakraman[4]. Hal itu terutama dapat dilihat dengan jelas dalam desa pakraman yang telah mempunyai awig-awig yang tertulis sebab unit analisis dalam penelitian tersebut adalah awig-awig tertulis. Penelitian dengan topik yang sama kemudian dilanjutkan oleh Anak Agung Istri Ari Atu Dewi bersama I Wayan Koti Çantika pada tahun 2006 di Kabupaten Tabanan[5]. Dengan menggunakan teknik pendekatan yang sama dengan yang dilakukan oleh I Ketut Sudantra dan Ayu Putu Nantri, dalam penelitian  terhadap awig-awig desa pakraman (tertulis) di Kabupaten Tabanan ini  akhirnya diperoleh kesimpulan yang sama bahwa dalam awig-awig desa pakraman umumnya telah diatur mengenai kelembagaan dalam penyelesaian perkara. Dalam kedua hasil penelitian tersebut dijelaskan bahwa kelembagaan penyelesaian perkara-perkara adat dilakukan secara berjenjang. Apabila perkara tersebut terjadi dilingkungan banjar, maka pada tingkatan pertama penyelesaian dilakukan pada tingkat banjar oleh Kelihan Banjar. Apabila perkara tersebut tidak dapat diselesaikan pada tingkat banjar baru kemudian di bawa ketingkat desa pakraman melalui Bendesa Adat/Klihan Desa.
Kedua hasil penelitian di atas telah menunjukkan bahwa secara normatif  lembaga yang berwenang menyelesaikan perkara dilingkungan desa pakraman adalah prajuru desa pakraman, yaitu Kelihan Banjar dan Bendesa/Kelihan Desa sesuai tingkatannya. Hal itu berarti bahwa prajuru desa pakramanlah yang melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa. Penelitian yang dilakukan terhadap Awig-awig Desa Pakraman Keramas juga menunjukkan hal yang tidak berbeda. Di Keramas, berdasarkan Awig-awig Desa Pakraman Keramas yang ditulis tahun 1990, masalah kelembagaan dalam penyelesaian perkara diatur dalam suatu bab (sarga) tersendiri, yaitu Sarga VI tentang Wicara lan Pamidanda. Wicara artinya perkara atau masalah sedangkan pamidanda dapat diterjemahkan sebagai sanksi[6]. Dalam Pawos 83 Awig-awig Desa Pakraman Keramas ditegaskan sebagai berikut:
(1)      Kelihan Banjar wenang mawosin utawi mutusang wicara yening sang mawicara tunggil banjar;
(2)      Bendesa Adat wenang mawosin utawi mutusang wicara yening:
a.         Sang mawicara mabinayan banjar;
b.         Sang mawicara mabinayan desa sakewala mawicara ring wawidangan Desa Adat;
c.         Wicarane nganinin druwen Desa Adat;
d.         Sang mawicara rumasa tan polih tiwakan pamatut ring Kelihan Banjar, raris nunas tatimbang ring Bendesa Adat.

Selanjutnya, dalam Pasal 85 ditegaskan bahwa: ”(1) Desa/Banjar wenang niwakang pamidanda ring karma sane sisip; (2) Sane patut niwakang pamidandane punika tan tiyos Bendesa/Kelihan Banjar”.  Teks dalam Pawos 83 dan 85 Awig-awig Desa Pakraman Keramas di atas dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut:
1.    Kelihan Banjar berwenang menyelesaikan perkara jika para pihak yang berperkara berasal dari banjar yang sama;
2.    Bendesa Adat berwenang menyelesaikan perkara dalam hal  sebagai berikut:
a.         Para pihak yang berperkara berasal dari banjar yang berbeda;
b.         Para pihak yang berperkara berasal dari desa yang berbeda tetapi tempat kejadian perkara di wilayah desa pakraman (Keramas);
c.         Perkara yang menyangkut milik desa;
d.         Para pihak yang berperkara merasa tidak memperoleh keadilan dalam penyelesaian perkara pada Kelihan Banjar kemudian minta penyelesaian pada Bendesa Adat.
3.    Desa pakraman/banjar berwenang menjatuhkan sanksi kepada krama desa yang bersalah. Yang berwenang menjatuhkan sanksi tersebut adalah Bendesa/Kelihan Banjar.
Dengan demikian, secara normatif lembaga yang melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa di Desa Pakraman Keramas adalah prajuru desa pakraman (prajuru adat), dalam hal ini Kelihan Banjar dan Bendesa.                                                                                      
               Dari hasil penelitian lapangan dapat diketahui bahwa ketentuan normatif tersebut tidak dilaksanakan secara kaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam praktek penyelesaian perkara di Desa Keramas, prajuru adat tidaklah sepenuhnya sendirian dalam menyelesaikan perkara seperti ditentukan dalam awig-awig yang berlaku, melainkan kadang-kadang melibatkan peran Perbekel yang tidak lain merupakan kepala desa dinas. Keterlibatan atau pelibatan Perbekel dalam penyelesaian perkara kadang-kadang tidak bisa dihindarkan karena memang dikehendaki semua pihak, baik oleh prajuru adat, prajuru dinas, maupun oleh para pihak yang berperkara. Keterlibatan atau pelibatan Perbekel tidak hanya menyangkut perkara-perkara non adat tetapi juga meliputi perkara-perkara adat dan agama yang menurut awig-awig sepenuhnya merupakan kewenangan prajuru adat.
               Menurut praktek penyelesaian perkara di Desa Keramas selama ini, perkara-perkara yang melibatkan para pihak dari satu lingkungan banjar diselesaikan ditingkat banjar oleh Kelihan Banjar, sedangkan yang melibatkan pihak-pihak yang berlainan banjar langsung diselesaikan di tingkat desa. Pada penyelesaian perkara di tingkat banjar tidak menjadi persoalan apakah lembaga yang menyelesaikan perkara tersebut prajuru adat ataukah prajuru dinas, karena pada tingkatan ini yang terjadi adalah pasikian prajuru adat lan dinas (bersatunya jabatan adat dan dinas), ditunjukkan dengan dirangkapnya kedua jabatan tersebut oleh orang yang sama. Sedangkan apabila perkara tersebut tidak bisa diselesaikan oleh Kelihan Banjar baru kemudian Kelihan Banjar memilah permasalahan yang menjadi obyek perkara. Dari hasil pemilahan berdasarkan substansi perkara tersebut Kelihan Banjar memutuskan apakah perkara itu menjadi kompetensi lembaga adat ataukah lembaga dinas. Apabila perkara tersebut menurut Kelihan Banjar lebih berat tekanannya pada masalah adat dan agama, maka perkara tersebut dimintakan penyelesaiannya kepada Bendesa adat, sebaliknya apabila perkara tersebut dianggap lebih kental masalah-masalah perdata yang tidak bersangkut paut dengan masalah adat dan agama, apalagi yang nyata-nyata bersifat kriminal maka tanpa ragu-ragu Kelihan Banjar membawa masalah tersebut kepada Perbekel untuk mendapat penyelesaian lebih lanjut. Kreteria yang digunakan untuk memilah masalah suatu perkara apakah termasuk perkara adat murni atau bukan adalah ketentuan awig-awig dan pararem tertulis yang berlaku di Desa Pakraman Keramas, karena dalam awig-awig dan pararem tertulis tersebut telah diatur dengan jelas aspek-aspek hukum adat yang bersangkutan, khususnya sebagai penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan desa pakraman. Disamping itu, Kelihan Banjar juga mempertimbangkan dresta atau kebiaaan-kebiasaan yang berlaku bila ternyata permasalahan yang terjadi tidak atau belum diatur secara ekplisit di dalam awig-awig ataupun pararem tertulis.
               Selain perkara-perkara yang murni menyangkut adat dan agama, ada perkara-perkara yang menurut penilaian Kelihan Banjar merupakan perkara non adat dan agama. Perkara-perkara demikian oleh Kelihan Banjar diajukan kepada Perbekel untuk mendapat penyelesaian lebih lanjut jika ditingkat banjar memang sudah tidak bisa diselesaikan. Perkara-perkara yang menurut penilaian Kelihan Banjar merupakan perkara non adat dan agama adalah perkara-perkara yang bersumber pada masalah pribadi antara lain perkara yang berupa penganiayaan, sengketa batas tanah milik pribadi, dan sengketa utang pitang antara warga desa, dan lain-lain. Kasus-kasus demikian dianggap murni masalah pribadi yang tidak bekaitan dengan masalah adat dan agama sehingga menurut Kelihan Banjar lebih tepat di bawa kepada Kepala Desa. Contoh-contoh perkara yang dianggap perkara non adat sehingga diserahkan penanganannya kepada Perbekel, antara lain adalah:
1)        Kasus sengketa batas-batas  tanah pribadi antara I L sebagai pihak pertama dengan I PON dan I GAPP sebagai pihak kedua. Kasus ini terjadi pada bulan Juli 2006
2)        Kasus utang piutang antara I MP (pihak yang berhutang) dengan Ni MW (pihak yang berutang);
3)        Kasus sengketa kontrak tanah antara I KC (pemilik tanah) dengan I NR (pengontrak).
4)        Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh IBPN (32 tahun) terhadap IBNM (50 tahun) di Banjar M
Kasus-kasus tersebut berhasil diselesaikan oleh Perbekel secara perdamaian tanpa campur tangan Bendesa Adat, kecuali untuk kasus nomor 4 diselesaikan bersama Bendesa karena penganiayaan tersebut ternyata berlatar belakang sengketa tanah pekarangan desa.
               Demikianlah dalam praktek terjadi pemilahan pengajuan perkara antara perkara-perkara yang oleh Kelihan Banjar diajukan kepada Perbekel Keramas  dan yang diajukan kepada Bendesa Keramas untuk mendapat penyelesaian. Dengan demikian, kelembagaan yang melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa menjadi bervariasi, yaitu bisa ditangani oleh Kelihan Banjar, Bendesa, atau pun Perbekel. Walaupun terjadi pemilahan pengajuan perkara sesuai dengan substansi permasalahannya, tetapi akhirnya di dalam penyelesaian oleh masing-masing  lembaga (Perbekel dan Bendesa) tidak jarang dilakukan kerjasama. Disamping penanganan perkara penganiayaan yang melibatkan Ida Bagus Naya sebagai pelaku dan Ida Bagus Nyoman Manik sebagai korban, kerjasama antara Bendesa dan Perbekel dalam penanganan perkara sudah biasa dilakukan. Contohnya, antara lain adalah penanganan kasus sengketa pembagian tanah pekarangan antara di Banjar L Desa Keramas. Kasus ini terjadi pada awal tahun 2006. Tiga orang bersaudara yang masing-masing sudah berkeluarga, yaitu  I KP (46 tahun), I KN (40 tahun), dan I WA (27 tahun) menempati satu tanah pekarangan desa, bersengketa mengenai bagian mereka masing-masing. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut mereka membawa masalahnya kepada Kelian Banjar L. Dengan fasilitasi Kelihan Banjar L sebagai mediator mereka sesungguhnya sudah mencapai kesepakatan mengenai garis besar penyelesaiannya, tetapi karena para pihak menginginkan agar ada penyelesaian yang lebih pasti, mempunyai dasar hukum yang lebih kuat berupa surat perjanjian, Kelihan Banjar L akhirnya membawa masalah tersebut kepada Bendesa. Oleh Bendesa masalah tersebut kemudian dikordinasikan dengan Perbekel untuk bisa diselesaikan bersama. Alasan Bendesa adalah,  pertama,  para pihak memang menghendaki suatu bentuk penyelesaian yang menurut mereka mempunyai dasar yang lebih kuat, yaitu surat pernyataan yang ditabndatangani kedua pihak dan disaksikan oleh Bendesa dan Perbekel, disamping Kelihan Banjar;  kedua, Desa Pakraman Keramas tidak mempunyai fasilitas mesin ketik (komputer) untuk membuat surat perdamaian sehingga merasa lebih baik sengketa tersebut diselesaikan bersama Perbekel di Kantor Desa. Akhirnya, sengketa tersebut berhasil diselesaikan secara perdamaian di Kantor Perbekel pada tanggal 24 April 2006.
               Tidak jarang kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat sangat rumit dan kompleks, baik dilihat dari subyek maupun substansi permasalahan yang melatar belakanginya, sehingga Kelihan Banjar mengalami kesulitan dalam  memilah substansi permasalahan yang menjadi latar belakang perkara, apakah termasuk perkara adat murni, campuran, ataukah non-adat.  Ini memerlukan kearifan tersendiri dari Kelihan Banjar untuk memilah kepada lembaga mana perkara tersebut harus di bawa, ke Bendesa ataukah Perbekel. Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh IBPN terhadap IBNM di atas adalah satu contoh. Dilihat dari substansi permasalahan ketika kasus tersebut dilaporkan oleh korban kepada Kelihan Banjar M jelas menampakkan karakter sebagai perkara kriminal murni (non-adat), yaitu tindak pidana penganiayaan. Ketika kasus ini tidak bisa diselesaikan oleh Kelihan Banjar M akibat pelaku dan korban ngotot tidak mau berdamai, akhirnya Kelihan Banjar M membawa masalah ini kepada Perbekel Keramas untuk diselesaikan di tingkat desa. Ketika perkara itu mulai ditangani oleh Perbekel kerumitan kasus ini mulai tampak yaitu dilatar belakangi oleh ketidakpuasan IBPN terhadap penguasaan tanah pekarangan desa yang mereka tempati bersama.  Karena itu Perbekel Keramas mengkordinasikan penyelesaian perkara ini dengan Bendesa Keramas sehingga diharapkan penyelesaiannya dapat menyeluruh dan tuntas, tidak hanya penyelesaian di permukaan saja melainkan juga menyelesaikan akar masalahnya, yaitu masalah pekarangan desa yang berkaitan dengan ayahan ke desa pakraman. Ternyata dengan sinergi antara Perbekel dan Bendesa kasus ini dapat diselesaikan tuntas secara perdamaian.
               Demikianlah yang terjadi di Keramas. Selama ini kedua kepemimpinan desa (Perbekel dan Bendesa) sama-sama berperan dalam penyelesaian perkara baik secara mandiri maupun bersinergi, sehingga baik kelembagaan adat maupun dinas sama-sama melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaioan desa. Ujung tombak penyelesaian perkara yang terajadi di Desa Keramas terletak pada pundak Kelihan Banjar karena dalam model penyelesaian perkara secara berjenjang yang berlaku di Desa Keramas, Kelihan Banjarlah lembaga pertama yang menangani setiap perkara yang terjadi dilingkungan wilayahnya. Hanya apabila perkara tersebut tidak bisa diselesaikan di tingkat Banjar, barulah sengketa itu muncul dan berproses di tingkat desa yang kemudian ditangani oleh Bendesa dan/atau Perbekel secara mandiri atau bersinergi. Dalam hal penyelesaian secara mandiri, terutama yang berupa pelanggaran hukum diadakan pemilahan perkara menurut substansi masalahnya, perkara adat diselesaikan oleh prajuru adat dan perkara non adat diselesaikan prajuru dinas. Pemilahan perkara tersebut baru dapat dilihat secara lebih jelas pada jenjang penyelesaian di tingkat desa, yaitu antara perkara-perkara yang diselesaikan oleh Bendesa dan perkara-perkara yang diselesaikan oleh Perbekel. Pada tingkat Banjar pemilahan perkara tersebut tidak jelas karena terjadinya perangkapan jabatan antara Kelihan Banjar Adat dengan Kelihan Banjar Dinas. Namun demikian, pemilahan tersebut tidaklah terjadi secara kaku sebab dalam hal-hal tertentu antara Perbekel dan Bendesa bersinergi dalam menyelesaikan perkara. Walaupun umumnya diupayakan pemilahan penanganan perkara berdasarkan substansi masalahnya, dalam beberapa kasus tampak peranan Perbekel lebil menonjol dari peran Bendesa karena tidak jarang Perbekel juga menangani sengketa-sengketa yang berlatar belakang masalah adat tanpa berkoordinasi dengan Bendesa. Disinilah tampak bekerjanya faktor budaya hukum (legal culture) pelaksana fungsi hakim perdamaian desa di Desa Keramas, mulai dari penulaian Kelihan Banjar dalam memilah suatu perkara, kemudian pada sikap kepada lembaga mana perkara ini kemudian diajukan di tingkat desa, Perbekel atau Bendesa. Setelah perkara tersebut sampai dan ditangani oleh kelembagaan di tingkat desa, nilai-nilai dan sikap Perbekel atau Bendesa sangat menentukan apakah perkara ini kemudian ditangani secara sendiri oleh masing-masing lembaga ataukah ditangani secara bersinergis.
               Temuan penelitian di Desa Keramas di atas bukanlah suatu hal yang baru. Beberapa hasil penelitian/kajian terdahulu yang berkaitan dengan praktek penyelesaian perkara dalam masyarakat di desa telah menunjukkan bahwa prajuru adat memang tidak sendirian dalam melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa. Tjok Istri Putra Astiti, dalam pidato pengenalan jabatan guru besar tetap dalam bidang hukum adat pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, 30 April 1977, sudah menyatakan bahwa: ”...peranan hakim perdamaian desa di desa-desa di Bali, disatu pihak dilaksanakan oleh Kepala Desa Adat (Klian Adat/Klian Desa), di pihak lain, juga oleh Kepala Desa Dinas (Perbekel)”[7]. Kenyataan serupa juga dikemukakan oleh A.A. Ketut Sukranatha dalam penelitiannya di Kabupaten Tabanan tahun 2003[8].  dan hasil penelitian Anak Agung Istri Ari Atu Dewi dan I Ketut Suardita di Kabupaten Badung tahun 2004[9]. Kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam kenyataan, baik prajuru adat maupun aparat desa dinas (Kepala Desa) sama-sama melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa.  Menurut hasil penelitian Ari Atu Dewi dan Suardita, format hubungan antara aparat desa dinas dan desa pakraman dalam penyelesaian perkara dalam masyarakat di desa adalah hubungan fungsional yang bersifat kemitraan. Hubungan tersebut dilakukan secara proporsional tergantung kepada jenis dan intensitas perkara. Terhadap perkara-perkara yang berupa sengketa adat dan agama, maka lembaga yang menyelesaikannya adalah prajuru adat secara otonom. Tetapi apabila sengketa itu intensitasnya cukup tinggi atau tidak dapat diselesaikan oleh prajuru adat maka aparat desa dinas ikut menyelesaikannya. Terhadap sengketa-sengketa non adat, penyelesaian umumnya dilakukan oleh aparat desa dinas tanpa melibatkan prajuru adat, tetapi bila sengketa tersebut merupakan campuran antara sengketa adat dan non adat, maka kepala desa melibatkan prajuru adat untuk menyelesaikan sengketa tersebut[10].
               Dari uraian di atas akhirnya dapat disimpulkan bahwa baik prajuru desa pakraman maupun kepala desa dinas sama-sama melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa baik secara mandiri maupun secara bersinergi. Peran prajuru desa pakraman (Bendesa) dan kepala desa dinas (Perbekel) tersebut sama-sama mempunyai landasan hukum yang kuat. Peran prajuru desa pakraman sebagai hakim perdamaian desa disamping dilandasi oleh awig-awig desa pakraman juga mendapat landasan yang kuat dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003. Pasal 6 Peraturan Daerah tersebut dengan jelas disebutkan bahwa “Desa Pakraman mempunyai wewenang ... menyelesaikan sengketa-sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya...”. Kemudian dalam pasal 8 disebutkan bahwa prajuru desa pakraman mempunyai tugas-tugas...mengusahakan perdamaian dan penyelesaian sengketa-sengketa adat”.
               Mengenai peran kepala desa dinas sebagai hakim perdanmaian desa secara yuridis memang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang sekarang berlaku. Pasal 5 ayat (2) Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 10 Tahun 2002 menegaskan bahwa ”Tugas Perbekel adalah mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan tidak bertentangan denan Undang-undang”. Selanjutnya dalam ayat (3) ditegaskan bahwa untuk melaksanakan tugas tersebut dalam ayat (2) Perbekel mempunmyai fungsi, antara lain memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa dan mendamaikan perselisihan masyarakat Desa. Berdasarkan ketentuan ini tentu saja Perbekel mempunyai kewenangan untuk berperan dalam penyelesaian sengketa dalam masyarakat di desa tanpa dibatasi pada substansi sengketa apakah sengketa adat atau pun non adat. Karena itu, secara normatif adalah wajar bila peran Perbekel lebih menonjol dalam penyelesaian perkara ditingkat desa dibandingkan dengan peran Bendesa. Sebab peraturan perundang-undangan membatasi peran prajuru adat pada penyelesaian perkara yang berlatar belakang masalah adat dan agama.
               Di sini terdapat potensi konflik kewenangan antara prajuru desa pakraman dengan kepala desa dinas dalam penyelesaian sengketa. Walaupun selama ini terjadi sinergi yang harmonis antara kedua lembaga dalam penyelesaian sengketa, tetapi itu semata-mata karena di dukung oleh budaya hukum (legal culture) dari prajuru adat dan kepala desa dinas, bukan karena substansi hukumnya (legal substance) yang menghendaki demikian. Ketentuan Pasal 6 dan Pasal 8 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 dengan tegas menyatakan bahwa penyelesaian sengketa adat dan agama adalah kewenangan desa pakraman, sedangkan Pasal 5 Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 10 Tahun  2002 dengan jelas memberi ruang kepada Perbekel untuk memasuki wilayah penyelesaian sengketa yang menjadi kewenangan prajuru desa pakraman.


[1] Teori Lawrence M Friedman mengenai legal sistem telah diuraikan dalam Bab I tesis ini.
[2]Desa pakraman lain pejabat puncaknya ada yang disebut Klihan Desa, seperti misalnya yang banyak terjadi di daerah Badung.
[3] Carol Warren, 1993, Adat and Dinas Balinese Communites in Indonesian State, Oxford University Press, Kualalumpur, hal.107.
[4] I Ketut Sudantra dan Ayu Putu Nantri, 2003, “Identifikasi Pola Penyelesaian Kasus Adat Menurut Awig-awig Desa Adat di Kabupaten Badung”, Laporan Penelitian,  Pusat Studi Hukum Adat Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, hal. 26.
[5] Anak Agung Istri Ari Atu Dewi dan I Wayan Koti Çantika, 2006, “Identifikasi Pola Penyelesaian Kasus Adat Menurut Awig-awig Desa Adat di Kabupaten Tabanan Provinsi Bali”, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, hal. 30.

[6] Mengenai pengertian sanksi adat menurut Hukum Adat Bali, lihat I Ketut Sudantra, 2006, “Filosofi Yang Melandasi Hukum Adat Pelanggaran di Bali, Kertha Patrika, Vol 31 Nomor 2, Juli 2006, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal.93 (Selanjutnya disebut I Ketut Sudantra III).
[7] Tjok Istri Putra Astiti I, op.cit., hal.13.
[8] A.A. Ketut Sukranatha, et.al., 2003, ”Hubungan Antara Desa Dinas dan Desa Adat dalam Penyelesaian Sengketa di Wilayah Desa Adat di Kabupaten Tabanan”, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum adat Universitas Udayana, Denpasar, hal 28.
[9] Anak Agung Istri Ari Atu Dewi dan I Ketut Suardita, 2004, “Format dan Mekanisme Hubungan Antara Desa Dinas dan Desa Adat dalam Penyelesaian Sengketa dalam Wilayah Desa Pakraman di Kabupaten Badung Setelah Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999”, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat Universitas Udayana, Denpasar, hal 48.
[10] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar