Pelaksana
Fungsi Hakim Perdamaian Desa Di
Bali
(Cuplikan Tesis I Ketut Sudantra, 2007, "Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi Dualisme
Pemerintahan Desa di Bali”, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, hlm.
106-212)
Dalam Pasal 1
angka 4 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 –yang telah dikutip secara lengkap di depan, dengan
jelas disebutkan bahwa desa pakraman
adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali.
Seperti telah diketahui bahwa pemimpin dari desa pakraman disebut prajuru desa pakraman yang dipilih dan
atau ditetapkan oleh krama desa dengan struktur dan susunan yang telah diatur
dalam awig-awig desa pakraman masing-masing (Pasal 7). Sesuai dengan susunan prajuru (undagan prajuru) menurut Awig-awig Desa Pakraman Keramas, pejabat
puncak Desa Pakraman Keramas disebut Bendesa[2]. Hal itu
dengan jelas disebutkan dalam Pawos 13
yang menyatakan bahwa ”(1) Desa Adat
Keramas kaenterang antuk Bendesa; (2) Banjar kaenterang antuk Kelian Banjar...”.
Sebagai pemimpin desa pakraman, prajuru desa pakraman adalah kepala masyarakat
hukum adat di Provinsi Bali yang semestinya melaksanakan fungsi sebagai hakim
perdamaian desa. Fungsi tersebut secara ekplisit dinyatakan dalam Pasal 8
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001. Pasal tersebut menegaskan bahwa ”Prajuru
desa pakraman mempunyai tugas...mengusahakan perdamaian dan penyelesaian
sengketa-sengketa adat” disamping tugas-tugas lainnya. Tugas-tugas lain yang
disebutkan dalam Pasal 8 tersebut adalah melaksanakan awig-awig desa pakraman;
mengatur penyelenggaraan upacara keagamaan di desa pakraman sesuai dengan
sastra agama dan tradisi masing-masing; mewakili desa pakraman dalam bertindak
untuk melakukan perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan atas
persetujuan paruman desa; mengurus
dan mengatur pengelolaan harta kekayaan desa pakraman; dan membina kerukunan
umat beragama dalam wilayah desa pakraman. Mengenai peranan prajuru adat dalam
menyelesaikan perkara dalam masyarakat di desa, Carol Warren, seorang peneliti
asing yang meneliti desa adat dan desa dinas di Bali,
menggambarkannya sebagai berikut:
As adat leaders, klian banjar witness weddings, organize death ceremonies,
and conduct routine and special banjar
assembly meetings (sangkepan and paruman) and work sessions (ngayah) for ritual purposes. Klian are consulted
by members when conflicts arise over marriage, devorce, and inheritance, and in
neighbourdhood disputes concerning straying livestock,boundaries, and access rights[3]
Demikianlah Carol Warren menyebutkan
peranan prajuru adat sangat besar dalam
kehidupan masyarakat desa. Disebutkannya, aktivitas-akitvitas prajuru adat
meliputi aktivitas sebagai saksi dalam perkawinan, mengatur upacara kematian,
menyelenggarakan rapat banjar (sangkepan)
rutin maupun incidental, menyelenggarakan kerjabakti (ngayah) untuk tujuan upacara, serta menyelesaikan konflik yang
berkaitan dengan persoalan perkawinan, perceraian, pewarisan, dan konflik
bertetangga mengenai ternak kesasar, batas-batas wilayah pekarangan, dan
lain-lain. Carol Waren juga menyatakan bahwa dalam menyelesaikan
masalah-masalah tersebut di atas, kemampuan prajuru adat sebagai mediator
sangat diperlukan.
Di pihak lain,
dalam pengertian desa yang disebutkan dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah
(Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004) juga dinyatakan bahwa desa adalah masyarakat hukum adat.
Hal itu dengan jelas disebutkan dalam Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004. ”Desa” menurut undang-undang inilah yang di Bali
diimplementasikan sebagai desa yang kini lazim disebut desa dinas. Dengan
demikian, secara logika hukum maka kepala desa dinas juga adalah kepala
masyarakat hukum adat yang padanya melekat fungsi sebagai hakim perdamaian
desa. Hal ini tentu saja berimplikasi pada praktek penyelesaian sengketa yang
terjadi dalam masyarakat di desa.
Dalam
masyarakat hukum adat di Bali, baik itu desa
pakraman, subak, dan masyarakat hukum adat lainnya, kelembagaan dalam
penyelesaian perkara yang terjadi dilingkungan masyarakat hukum adat yang
bersangkutan umumnya telah ditentukan dalam awig-awignya. Pada tahun 2004 I
Ketut Sudantra dan Ayu Putu Nantri melakukan penelitian mengenai identifikasi
pola penyelesaian kasus adat menurut awig-awig desa pakraman di Kabupaten
Badung. Dalam penelitian yang dilakukan dengan pendekatan normatif tersebut
ditunjukkan hasil bahwa dalam awig-awig desa pakraman di Kabupaten Badung
masalah kelembagaan dalam penyelesaian perkara dilingkungan desa pakraman telah
diatur di dalam awig-awig masing-masing desa pakraman[4]. Hal itu terutama dapat
dilihat dengan jelas dalam desa pakraman yang telah mempunyai awig-awig yang
tertulis sebab unit analisis dalam penelitian tersebut adalah awig-awig
tertulis. Penelitian dengan topik yang sama kemudian dilanjutkan oleh Anak
Agung Istri Ari Atu Dewi bersama I Wayan Koti Çantika pada tahun 2006 di
Kabupaten Tabanan[5].
Dengan menggunakan teknik pendekatan yang sama dengan yang dilakukan oleh I
Ketut Sudantra dan Ayu Putu Nantri, dalam penelitian terhadap awig-awig desa pakraman (tertulis)
di Kabupaten Tabanan ini akhirnya
diperoleh kesimpulan yang sama bahwa dalam awig-awig desa pakraman umumnya
telah diatur mengenai kelembagaan dalam penyelesaian perkara. Dalam kedua hasil
penelitian tersebut dijelaskan bahwa kelembagaan penyelesaian perkara-perkara
adat dilakukan secara berjenjang. Apabila perkara tersebut terjadi dilingkungan
banjar, maka pada tingkatan pertama penyelesaian dilakukan pada tingkat banjar
oleh Kelihan Banjar. Apabila perkara tersebut tidak dapat diselesaikan pada
tingkat banjar baru kemudian di bawa ketingkat desa pakraman melalui Bendesa Adat/Klihan Desa.
Kedua hasil
penelitian di atas telah menunjukkan bahwa secara normatif lembaga yang berwenang menyelesaikan perkara
dilingkungan desa pakraman adalah prajuru desa pakraman, yaitu Kelihan Banjar dan Bendesa/Kelihan Desa sesuai tingkatannya. Hal itu berarti bahwa
prajuru desa pakramanlah yang melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian
desa. Penelitian yang dilakukan terhadap Awig-awig Desa Pakraman Keramas juga
menunjukkan hal yang tidak berbeda. Di Keramas, berdasarkan Awig-awig Desa
Pakraman Keramas yang ditulis tahun 1990, masalah kelembagaan dalam
penyelesaian perkara diatur dalam suatu bab (sarga) tersendiri, yaitu Sarga
VI tentang Wicara lan Pamidanda. Wicara artinya perkara atau masalah
sedangkan pamidanda dapat
diterjemahkan sebagai sanksi[6]. Dalam Pawos 83 Awig-awig
Desa Pakraman Keramas ditegaskan sebagai berikut:
(1) Kelihan Banjar wenang mawosin utawi mutusang
wicara yening sang mawicara tunggil banjar;
(2) Bendesa Adat wenang mawosin utawi mutusang wicara
yening:
a.
Sang mawicara
mabinayan banjar;
b.
Sang mawicara
mabinayan desa sakewala mawicara ring wawidangan Desa Adat;
c.
Wicarane
nganinin druwen Desa Adat;
d.
Sang mawicara
rumasa tan polih tiwakan pamatut ring Kelihan Banjar, raris nunas tatimbang
ring Bendesa Adat.
Selanjutnya,
dalam Pasal 85 ditegaskan bahwa: ”(1)
Desa/Banjar wenang niwakang pamidanda ring karma sane sisip; (2) Sane patut niwakang pamidandane punika tan
tiyos Bendesa/Kelihan Banjar”. Teks dalam Pawos 83 dan 85 Awig-awig Desa
Pakraman Keramas di atas dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut:
1.
Kelihan Banjar berwenang menyelesaikan perkara jika para pihak
yang berperkara berasal dari banjar yang sama;
2. Bendesa Adat berwenang menyelesaikan perkara dalam hal sebagai berikut:
a.
Para pihak yang
berperkara berasal dari banjar yang berbeda;
b.
Para pihak yang
berperkara berasal dari desa yang berbeda tetapi tempat kejadian perkara di
wilayah desa pakraman (Keramas);
c.
Perkara yang
menyangkut milik desa;
d.
Para pihak yang
berperkara merasa tidak memperoleh keadilan dalam penyelesaian perkara pada Kelihan Banjar kemudian minta
penyelesaian pada Bendesa Adat.
3.
Desa
pakraman/banjar berwenang menjatuhkan sanksi kepada krama desa yang bersalah.
Yang berwenang menjatuhkan sanksi tersebut adalah Bendesa/Kelihan Banjar.
Dengan demikian, secara normatif lembaga yang melaksanakan fungsi sebagai
hakim perdamaian desa di Desa Pakraman Keramas adalah prajuru desa pakraman (prajuru adat), dalam hal ini Kelihan Banjar dan Bendesa.
Dari
hasil penelitian lapangan dapat diketahui bahwa ketentuan normatif tersebut
tidak dilaksanakan secara kaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam
praktek penyelesaian perkara di Desa Keramas, prajuru adat tidaklah sepenuhnya
sendirian dalam menyelesaikan perkara seperti ditentukan dalam awig-awig yang
berlaku, melainkan kadang-kadang melibatkan peran Perbekel yang tidak lain
merupakan kepala desa dinas. Keterlibatan atau pelibatan Perbekel dalam
penyelesaian perkara kadang-kadang tidak bisa dihindarkan karena memang
dikehendaki semua pihak, baik oleh prajuru adat, prajuru dinas, maupun oleh
para pihak yang berperkara. Keterlibatan atau pelibatan Perbekel tidak hanya
menyangkut perkara-perkara non adat tetapi juga meliputi perkara-perkara adat
dan agama yang menurut awig-awig sepenuhnya merupakan kewenangan prajuru adat.
Menurut
praktek penyelesaian perkara di Desa Keramas selama ini, perkara-perkara yang
melibatkan para pihak dari satu lingkungan banjar diselesaikan ditingkat banjar
oleh Kelihan Banjar, sedangkan yang melibatkan pihak-pihak yang berlainan
banjar langsung diselesaikan di tingkat desa. Pada penyelesaian perkara di
tingkat banjar tidak menjadi persoalan apakah lembaga yang menyelesaikan
perkara tersebut prajuru adat ataukah
prajuru dinas, karena pada tingkatan
ini yang terjadi adalah pasikian prajuru adat lan dinas (bersatunya
jabatan adat dan dinas), ditunjukkan dengan dirangkapnya kedua jabatan tersebut
oleh orang yang sama. Sedangkan apabila perkara tersebut tidak bisa
diselesaikan oleh Kelihan Banjar baru
kemudian Kelihan Banjar memilah
permasalahan yang menjadi obyek perkara. Dari hasil pemilahan berdasarkan substansi
perkara tersebut Kelihan Banjar
memutuskan apakah perkara itu menjadi kompetensi lembaga adat ataukah lembaga
dinas. Apabila perkara tersebut menurut Kelihan
Banjar lebih berat tekanannya pada masalah adat dan agama, maka perkara
tersebut dimintakan penyelesaiannya kepada Bendesa adat, sebaliknya apabila
perkara tersebut dianggap lebih kental masalah-masalah perdata yang tidak bersangkut
paut dengan masalah adat dan agama, apalagi yang nyata-nyata bersifat kriminal
maka tanpa ragu-ragu Kelihan Banjar membawa masalah tersebut kepada Perbekel
untuk mendapat penyelesaian lebih lanjut. Kreteria yang digunakan untuk memilah
masalah suatu perkara apakah termasuk perkara adat murni atau bukan adalah
ketentuan awig-awig dan pararem tertulis yang berlaku di Desa Pakraman Keramas,
karena dalam awig-awig dan pararem
tertulis tersebut telah diatur dengan jelas aspek-aspek hukum adat yang bersangkutan,
khususnya sebagai penerapan Tri Hita
Karana dalam kehidupan desa pakraman. Disamping itu, Kelihan Banjar juga mempertimbangkan dresta atau kebiaaan-kebiasaan yang berlaku bila ternyata
permasalahan yang terjadi tidak atau belum diatur secara ekplisit di dalam
awig-awig ataupun pararem tertulis.
Selain
perkara-perkara yang murni menyangkut adat dan agama, ada perkara-perkara yang
menurut penilaian Kelihan Banjar merupakan perkara non adat dan agama.
Perkara-perkara demikian oleh Kelihan Banjar diajukan kepada Perbekel untuk
mendapat penyelesaian lebih lanjut jika ditingkat banjar memang sudah tidak
bisa diselesaikan. Perkara-perkara yang menurut penilaian Kelihan Banjar
merupakan perkara non adat dan agama adalah perkara-perkara yang bersumber pada
masalah pribadi antara lain perkara yang berupa penganiayaan, sengketa batas
tanah milik pribadi, dan sengketa utang pitang antara warga desa, dan
lain-lain. Kasus-kasus demikian dianggap murni masalah pribadi yang tidak
bekaitan dengan masalah adat dan agama sehingga menurut Kelihan Banjar lebih
tepat di bawa kepada Kepala Desa. Contoh-contoh perkara yang dianggap perkara
non adat sehingga diserahkan penanganannya kepada Perbekel, antara lain adalah:
1)
Kasus sengketa
batas-batas tanah pribadi antara I L
sebagai pihak pertama dengan I PON dan I GAPP sebagai pihak kedua. Kasus ini
terjadi pada bulan Juli 2006
2)
Kasus utang
piutang antara I MP (pihak yang berhutang) dengan Ni MW (pihak yang berutang);
3)
Kasus sengketa
kontrak tanah antara I KC (pemilik tanah) dengan I NR (pengontrak).
4)
Kasus penganiayaan
yang dilakukan oleh IBPN (32 tahun) terhadap IBNM (50 tahun) di Banjar M
Kasus-kasus tersebut berhasil diselesaikan oleh Perbekel
secara perdamaian tanpa campur tangan Bendesa Adat, kecuali untuk kasus nomor 4
diselesaikan bersama Bendesa karena penganiayaan tersebut ternyata berlatar
belakang sengketa tanah pekarangan desa.
Demikianlah
dalam praktek terjadi pemilahan pengajuan perkara antara perkara-perkara yang
oleh Kelihan Banjar diajukan kepada Perbekel Keramas dan yang diajukan kepada Bendesa Keramas
untuk mendapat penyelesaian. Dengan demikian, kelembagaan yang melaksanakan
fungsi sebagai hakim perdamaian desa menjadi bervariasi, yaitu bisa ditangani
oleh Kelihan Banjar, Bendesa, atau
pun Perbekel. Walaupun terjadi pemilahan pengajuan perkara sesuai dengan
substansi permasalahannya, tetapi akhirnya di dalam penyelesaian oleh
masing-masing lembaga (Perbekel dan Bendesa) tidak jarang dilakukan
kerjasama. Disamping penanganan perkara penganiayaan yang melibatkan Ida Bagus
Naya sebagai pelaku dan Ida Bagus Nyoman Manik sebagai korban, kerjasama antara
Bendesa dan Perbekel dalam penanganan perkara sudah biasa dilakukan. Contohnya,
antara lain adalah penanganan kasus sengketa pembagian tanah pekarangan antara di Banjar L Desa Keramas. Kasus ini terjadi
pada awal tahun 2006. Tiga orang bersaudara yang masing-masing sudah
berkeluarga, yaitu I KP (46 tahun), I KN
(40 tahun), dan I WA (27 tahun) menempati satu tanah pekarangan desa, bersengketa mengenai bagian mereka
masing-masing. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut mereka membawa masalahnya
kepada Kelian Banjar L. Dengan fasilitasi
Kelihan Banjar L sebagai mediator
mereka sesungguhnya sudah mencapai kesepakatan mengenai garis besar
penyelesaiannya, tetapi karena para pihak menginginkan agar ada penyelesaian
yang lebih pasti, mempunyai dasar hukum yang lebih kuat berupa surat
perjanjian, Kelihan Banjar L akhirnya membawa masalah tersebut kepada Bendesa.
Oleh Bendesa masalah tersebut kemudian dikordinasikan dengan Perbekel untuk
bisa diselesaikan bersama. Alasan Bendesa adalah, pertama,
para pihak memang menghendaki suatu bentuk penyelesaian yang menurut
mereka mempunyai dasar yang lebih kuat, yaitu surat pernyataan yang
ditabndatangani kedua pihak dan disaksikan oleh Bendesa dan Perbekel, disamping
Kelihan Banjar; kedua, Desa Pakraman
Keramas tidak mempunyai fasilitas mesin ketik (komputer) untuk membuat surat
perdamaian sehingga merasa lebih baik sengketa tersebut diselesaikan bersama
Perbekel di Kantor Desa. Akhirnya, sengketa tersebut berhasil diselesaikan
secara perdamaian di Kantor Perbekel pada tanggal 24 April 2006.
Tidak
jarang kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat sangat rumit dan kompleks,
baik dilihat dari subyek maupun substansi permasalahan yang melatar
belakanginya, sehingga Kelihan Banjar mengalami kesulitan dalam memilah substansi permasalahan yang menjadi
latar belakang perkara, apakah termasuk perkara adat murni, campuran, ataukah
non-adat. Ini memerlukan kearifan
tersendiri dari Kelihan Banjar untuk memilah kepada lembaga mana perkara
tersebut harus di bawa, ke Bendesa ataukah Perbekel. Kasus penganiayaan yang
dilakukan oleh IBPN terhadap IBNM di atas adalah satu contoh. Dilihat dari
substansi permasalahan ketika kasus tersebut dilaporkan oleh korban kepada Kelihan Banjar M jelas menampakkan
karakter sebagai perkara kriminal murni (non-adat), yaitu tindak pidana
penganiayaan. Ketika kasus ini tidak bisa diselesaikan oleh Kelihan Banjar M akibat pelaku dan
korban ngotot tidak mau berdamai, akhirnya Kelihan
Banjar M membawa masalah ini kepada Perbekel Keramas untuk diselesaikan di
tingkat desa. Ketika perkara itu mulai ditangani oleh Perbekel kerumitan kasus
ini mulai tampak yaitu dilatar belakangi oleh ketidakpuasan IBPN terhadap
penguasaan tanah pekarangan desa yang
mereka tempati bersama. Karena itu
Perbekel Keramas mengkordinasikan penyelesaian perkara ini dengan Bendesa
Keramas sehingga diharapkan penyelesaiannya dapat menyeluruh dan tuntas, tidak
hanya penyelesaian di permukaan saja melainkan juga menyelesaikan akar masalahnya,
yaitu masalah pekarangan desa yang
berkaitan dengan ayahan ke desa
pakraman. Ternyata dengan sinergi antara Perbekel dan Bendesa kasus ini dapat
diselesaikan tuntas secara perdamaian.
Demikianlah yang terjadi di
Keramas. Selama ini kedua kepemimpinan desa (Perbekel dan Bendesa) sama-sama
berperan dalam penyelesaian perkara baik secara mandiri maupun bersinergi,
sehingga baik kelembagaan adat maupun dinas sama-sama melaksanakan fungsi
sebagai hakim perdamaioan desa. Ujung tombak penyelesaian perkara yang terajadi
di Desa Keramas terletak pada pundak Kelihan Banjar karena dalam model
penyelesaian perkara secara berjenjang yang berlaku di Desa Keramas, Kelihan
Banjarlah lembaga pertama yang menangani setiap perkara yang terjadi
dilingkungan wilayahnya. Hanya apabila perkara tersebut tidak bisa diselesaikan
di tingkat Banjar, barulah sengketa itu muncul dan berproses di tingkat desa
yang kemudian ditangani oleh Bendesa dan/atau Perbekel secara mandiri atau
bersinergi. Dalam hal penyelesaian secara mandiri, terutama yang berupa
pelanggaran hukum diadakan pemilahan perkara menurut substansi masalahnya,
perkara adat diselesaikan oleh prajuru adat dan perkara non adat diselesaikan
prajuru dinas. Pemilahan perkara tersebut baru dapat dilihat secara lebih jelas
pada jenjang penyelesaian di tingkat desa, yaitu antara perkara-perkara yang
diselesaikan oleh Bendesa dan perkara-perkara yang diselesaikan oleh Perbekel.
Pada tingkat Banjar pemilahan perkara tersebut tidak jelas karena terjadinya
perangkapan jabatan antara Kelihan Banjar Adat dengan Kelihan Banjar Dinas.
Namun demikian, pemilahan tersebut tidaklah terjadi secara kaku sebab dalam
hal-hal tertentu antara Perbekel dan Bendesa bersinergi dalam menyelesaikan
perkara. Walaupun umumnya diupayakan pemilahan penanganan perkara berdasarkan
substansi masalahnya, dalam beberapa kasus tampak peranan Perbekel lebil
menonjol dari peran Bendesa karena tidak jarang Perbekel juga menangani
sengketa-sengketa yang berlatar belakang masalah adat tanpa berkoordinasi
dengan Bendesa. Disinilah tampak bekerjanya faktor budaya hukum (legal culture) pelaksana fungsi hakim
perdamaian desa di Desa Keramas, mulai dari penulaian Kelihan Banjar dalam
memilah suatu perkara, kemudian pada sikap kepada lembaga mana perkara ini
kemudian diajukan di tingkat desa, Perbekel atau Bendesa. Setelah perkara
tersebut sampai dan ditangani oleh kelembagaan di tingkat desa, nilai-nilai dan
sikap Perbekel atau Bendesa sangat menentukan apakah perkara ini kemudian
ditangani secara sendiri oleh masing-masing lembaga ataukah ditangani secara
bersinergis.
Temuan
penelitian di Desa Keramas di atas bukanlah suatu hal yang baru. Beberapa hasil
penelitian/kajian terdahulu yang berkaitan dengan praktek penyelesaian perkara
dalam masyarakat di desa telah menunjukkan bahwa prajuru adat memang tidak
sendirian dalam melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa. Tjok Istri
Putra Astiti, dalam pidato pengenalan jabatan guru besar tetap dalam bidang
hukum adat pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, 30 April 1977, sudah
menyatakan bahwa: ”...peranan hakim perdamaian desa di desa-desa di Bali,
disatu pihak dilaksanakan oleh Kepala Desa Adat (Klian Adat/Klian Desa), di
pihak lain, juga oleh Kepala Desa Dinas (Perbekel)”[7]. Kenyataan
serupa juga dikemukakan oleh A.A. Ketut Sukranatha dalam penelitiannya di
Kabupaten Tabanan tahun 2003[8]. dan hasil penelitian Anak Agung Istri Ari Atu
Dewi dan I Ketut Suardita di Kabupaten Badung tahun 2004[9]. Kedua
penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam kenyataan, baik prajuru adat maupun
aparat desa dinas (Kepala Desa) sama-sama melaksanakan fungsi sebagai hakim
perdamaian desa. Menurut hasil
penelitian Ari Atu Dewi dan Suardita, format hubungan antara aparat desa dinas
dan desa pakraman dalam penyelesaian perkara dalam masyarakat di desa adalah
hubungan fungsional yang bersifat kemitraan. Hubungan tersebut dilakukan secara
proporsional tergantung kepada jenis dan intensitas perkara. Terhadap
perkara-perkara yang berupa sengketa adat dan agama, maka lembaga yang
menyelesaikannya adalah prajuru adat secara otonom. Tetapi apabila sengketa itu
intensitasnya cukup tinggi atau tidak dapat diselesaikan oleh prajuru adat maka
aparat desa dinas ikut menyelesaikannya. Terhadap sengketa-sengketa non adat,
penyelesaian umumnya dilakukan oleh aparat desa dinas tanpa melibatkan prajuru
adat, tetapi bila sengketa tersebut merupakan campuran antara sengketa adat dan
non adat, maka kepala desa melibatkan prajuru adat untuk menyelesaikan sengketa
tersebut[10].
Dari
uraian di atas akhirnya dapat disimpulkan bahwa baik prajuru desa pakraman
maupun kepala desa dinas sama-sama melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian
desa baik secara mandiri maupun secara bersinergi. Peran prajuru desa pakraman
(Bendesa) dan kepala desa dinas (Perbekel) tersebut sama-sama mempunyai
landasan hukum yang kuat. Peran prajuru desa pakraman sebagai hakim perdamaian
desa disamping dilandasi oleh awig-awig desa pakraman juga mendapat landasan
yang kuat dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003. Pasal 6
Peraturan Daerah tersebut dengan jelas disebutkan bahwa “Desa Pakraman
mempunyai wewenang ... menyelesaikan sengketa-sengketa adat dan agama dalam
lingkungan wilayahnya...”. Kemudian dalam pasal 8 disebutkan bahwa prajuru desa
pakraman mempunyai tugas-tugas...mengusahakan perdamaian dan penyelesaian sengketa-sengketa adat”.
Mengenai
peran kepala desa dinas sebagai hakim perdanmaian desa secara yuridis memang
dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang sekarang berlaku. Pasal 5
ayat (2) Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 10 Tahun 2002 menegaskan
bahwa ”Tugas Perbekel adalah mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam sistem Pemerintahan
Nasional dan tidak bertentangan denan Undang-undang”. Selanjutnya dalam ayat
(3) ditegaskan bahwa untuk melaksanakan tugas tersebut dalam ayat (2) Perbekel
mempunmyai fungsi, antara lain memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat
desa dan mendamaikan perselisihan masyarakat Desa. Berdasarkan ketentuan ini
tentu saja Perbekel mempunyai kewenangan untuk berperan dalam penyelesaian
sengketa dalam masyarakat di desa tanpa dibatasi pada substansi sengketa apakah
sengketa adat atau pun non adat. Karena itu, secara normatif adalah wajar bila
peran Perbekel lebih menonjol dalam penyelesaian perkara ditingkat desa
dibandingkan dengan peran Bendesa. Sebab peraturan perundang-undangan membatasi
peran prajuru adat pada penyelesaian perkara yang berlatar belakang masalah
adat dan agama.
Di sini
terdapat potensi konflik kewenangan antara prajuru desa pakraman dengan kepala
desa dinas dalam penyelesaian sengketa. Walaupun selama ini terjadi sinergi
yang harmonis antara kedua lembaga dalam penyelesaian sengketa, tetapi itu
semata-mata karena di dukung oleh budaya hukum (legal culture) dari prajuru adat dan kepala desa dinas, bukan
karena substansi hukumnya (legal
substance) yang menghendaki demikian. Ketentuan Pasal 6 dan Pasal 8
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 dengan tegas menyatakan bahwa penyelesaian
sengketa adat dan agama adalah kewenangan desa pakraman, sedangkan Pasal 5
Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 10 Tahun 2002 dengan jelas memberi ruang kepada
Perbekel untuk memasuki wilayah penyelesaian sengketa yang menjadi kewenangan
prajuru desa pakraman.
[1] Teori Lawrence M Friedman mengenai legal sistem telah diuraikan dalam Bab I
tesis ini.
[2]Desa pakraman lain pejabat puncaknya ada
yang disebut Klihan Desa, seperti misalnya yang banyak terjadi di daerah
Badung.
[3]
Carol Warren, 1993, Adat and Dinas
Balinese Communites in Indonesian State, Oxford University Press,
Kualalumpur, hal.107.
[4] I
Ketut Sudantra dan Ayu Putu Nantri, 2003, “Identifikasi Pola Penyelesaian Kasus
Adat Menurut Awig-awig Desa Adat di Kabupaten Badung”, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat Universitas Udayana,
Bukit Jimbaran, hal. 26.
[5]
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi dan I Wayan Koti Çantika, 2006, “Identifikasi
Pola Penyelesaian Kasus Adat Menurut Awig-awig Desa Adat di Kabupaten Tabanan
Provinsi Bali”, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat Universitas Udayana,
Bukit Jimbaran, hal. 30.
[6]
Mengenai pengertian sanksi adat menurut Hukum Adat Bali, lihat I Ketut Sudantra,
2006, “Filosofi Yang Melandasi Hukum Adat Pelanggaran di Bali, Kertha Patrika,
Vol 31 Nomor 2, Juli 2006, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal.93
(Selanjutnya disebut I Ketut Sudantra III).
[7] Tjok Istri Putra Astiti I, op.cit., hal.13.
[8] A.A. Ketut Sukranatha, et.al., 2003,
”Hubungan Antara Desa Dinas dan Desa Adat dalam Penyelesaian Sengketa di
Wilayah Desa Adat di Kabupaten Tabanan”, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum
adat Universitas Udayana, Denpasar, hal 28.
[9] Anak Agung Istri Ari Atu Dewi dan I Ketut
Suardita, 2004, “Format dan Mekanisme Hubungan Antara Desa Dinas dan Desa Adat
dalam Penyelesaian Sengketa dalam Wilayah Desa Pakraman di Kabupaten Badung
Setelah Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999”, Laporan Penelitian,
Pusat Studi Hukum Adat Universitas Udayana, Denpasar, hal 48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar