Laman

Rabu, 28 September 2011

Peradilan Desa (Adat) di Bali (3-Eksistensi Yuridis)

HAKIM PERDAMAIAN DESA 
DALAM AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN
(Cuplikan Tesis I Ketut Sudantra, 2007, "Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa di Bali, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, hlm. 104-105) 

Dalam awig-awig desa pakraman, eksistensi fungsi hakim perdamaian desa mendapat pengakuan yang sangat jelas, melekat pada fungsi prajuru desa pakraman. Di beberapa tempat,  desa pakraman membentuk secara tetap (mempunyai masa jabatan) ataupun insidental suatu lembaga khusus yang berfungsi untuk menyelesaikan perkara-perkara dilingkungan desa pakraman. Di Desa Pakraman Gianyar, misalnya, lembaga tersebut dinamakan Muditha Kerta Sabha yang dibentuk secara insidental untuk menangani suatu perkara yang dianggap berat. Keanggotaan Muditha Kerta Sabha ini berhenti ketika perkara yang ditanganinya sudah dapat diselesaikan[1]. Di lain tempat, istilah-istilah yang umum dgunakan untuk menyebut lembaga yang berfungsi menangani suatu perkara adalah ‘Kertha Desa’, di samping istilah-istilah lain seperti ‘Penglingsir Desa’, ‘Petinggi’, ‘Duluan’, dan lain-lain. Menurut Buku Pedoman dan Kreteria Penilaian Desa Pakraman yang dikeluarkan oleh Dinas Kebudayan Provinsi Bali, ‘Kertha Desa’ berarti ‘tempat bagi krama desa untuk mencari perdamaian’[2] 

Dalam Awig-awig Desa Pakraman Keramas, tidak disebutkan istilah khusus untuk menyebut lembaga yang melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa. Namun demikian, hal itu bukan berarti dalam awig-awig tersebut  sama sekali tidak diatur mengenai hakim perdamaian desa. Fungsi hakim perdamaian desa menurut awig-awig tersebut melekat pada fungsi prajuru desa pakraman, terutama Bendesa dan Kelihan Banjar.  Dalam Pawos (Pasal) 15 Awig-awig Desa Pakraman Keramas disebutkan bahwa salah satu swadharmaning (tugas) Bendesa dan Kelihan Banjar adalah “nuntun tur ngenterang Krama Desa ngulati kasukertan sekala-niskala...mawosin tur niwakang pamatut ring sahanan wicara Krama Desane” (Terjemahan bebas: membina  dan memimpin Krama Desa mewujudkan kesejahteraan lahir batin dan menyelesaikan perkara-perkara yang dialami oleh Krama Desa). Selanjutnya dalam Pawos 83 disebutkan bahwa:
(1) Kelihan Banjar wenang mawosin utawi mutusang wicara yening sang mawicara tunggil bebanjaran;
(2)   Bendesa Adat wenang mawosin utawi mutusang wicara yening:
a.      Sang mawicara mabinayan banjar;
b.   Sang mawicara mabinayan Desa sakewanten genahe mawicara ring wiwidangan Desa Adat...

Inti dari ketentuan awig-awig di atas adalah bahwa Kelihan Banjar dan Bendesa Adat mempunyai kewenangan menyelesaikan perkara-perkara dalam lingkungan banjar/desa pakraman. Dengan demikian, fungsi hakim perdamaian desa yang melekat pada prajuru adat diakui dengan tegas dalam awig-awig desa pakraman.


[1]Ayu Putu Nantri dan I Ketut Sudantra, op.cit., hal. 37-38.
[2]Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2006, Pedoman dan Kreteria Penilaian Desa Pakraman/Desa Adat, Denpasar, hal. 33.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar