HAKIM
PERDAMAIAN DESA
DALAM AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN
(Cuplikan Tesis I Ketut
Sudantra, 2007, "Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi
Dualisme Pemerintahan Desa di Bali, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, hlm.
104-105)
Dalam awig-awig desa
pakraman, eksistensi fungsi hakim perdamaian desa mendapat pengakuan yang
sangat jelas, melekat pada fungsi prajuru desa pakraman. Di beberapa
tempat, desa pakraman membentuk secara
tetap (mempunyai masa jabatan) ataupun insidental suatu lembaga khusus yang
berfungsi untuk menyelesaikan perkara-perkara dilingkungan desa pakraman. Di
Desa Pakraman Gianyar, misalnya, lembaga tersebut dinamakan Muditha Kerta Sabha yang dibentuk secara
insidental untuk menangani suatu perkara yang dianggap berat. Keanggotaan Muditha Kerta Sabha ini berhenti ketika
perkara yang ditanganinya sudah dapat diselesaikan[1].
Di lain tempat, istilah-istilah yang umum dgunakan untuk menyebut lembaga yang
berfungsi menangani suatu perkara adalah ‘Kertha
Desa’, di samping istilah-istilah
lain seperti ‘Penglingsir Desa’, ‘Petinggi’, ‘Duluan’, dan lain-lain. Menurut Buku Pedoman dan Kreteria Penilaian
Desa Pakraman yang dikeluarkan oleh Dinas Kebudayan Provinsi Bali, ‘Kertha Desa’ berarti ‘tempat bagi krama
desa untuk mencari perdamaian’[2]
Dalam Awig-awig Desa
Pakraman Keramas, tidak disebutkan istilah khusus untuk menyebut lembaga yang
melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa. Namun demikian, hal itu
bukan berarti dalam awig-awig tersebut
sama sekali tidak diatur mengenai hakim perdamaian desa. Fungsi hakim
perdamaian desa menurut awig-awig tersebut melekat pada fungsi prajuru desa
pakraman, terutama Bendesa dan Kelihan Banjar.
Dalam Pawos (Pasal) 15 Awig-awig Desa Pakraman Keramas disebutkan bahwa salah
satu swadharmaning (tugas) Bendesa
dan Kelihan Banjar adalah “nuntun tur
ngenterang Krama Desa ngulati kasukertan sekala-niskala...mawosin tur niwakang
pamatut ring sahanan wicara Krama Desane” (Terjemahan bebas: membina dan memimpin Krama Desa mewujudkan
kesejahteraan lahir batin dan menyelesaikan perkara-perkara yang dialami oleh
Krama Desa). Selanjutnya dalam Pawos 83 disebutkan bahwa:
(1) Kelihan Banjar wenang mawosin utawi
mutusang wicara yening sang mawicara tunggil bebanjaran;
(2)
Bendesa Adat wenang mawosin utawi
mutusang wicara yening:
a.
Sang mawicara mabinayan banjar;
b. Sang mawicara mabinayan Desa
sakewanten genahe mawicara ring wiwidangan Desa Adat...
Inti dari ketentuan awig-awig di
atas adalah bahwa Kelihan Banjar dan Bendesa Adat mempunyai kewenangan
menyelesaikan perkara-perkara dalam lingkungan banjar/desa pakraman. Dengan
demikian, fungsi hakim perdamaian desa yang melekat pada prajuru adat diakui
dengan tegas dalam awig-awig desa pakraman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar