Laman

Rabu, 28 September 2011

Peradilan Desa (Adat) di Bali (1-Konsep)




Pengertian dan Fungsi

HAKIM PERDAMAIAN DESA
(Cuplikan Tesis I Ketut Sudantra, 2007, "Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa di Bali, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, hlm. 92-94) 
Istilah ”hakim perdamaian desa” bukanlah istilah teknis yuridis –suatu istilah baku yang digunakan secara resmi dalam peraturan perundang-undangan, melainkan istilah yang umumnya digunakan dalam dunia akademis[1]. Dalam peraturan perundang-undangan istilah yang digunakan antara lain adalah ”hakim perdamaian di desa-desa”[2] atau ”hakim dari masyarakat hukum kecil-kecil” atau ”hakim desa” (dorpsjustitie)[3]. Itu sebabnya kalau ada anggapan bahwa hakim perdamaian desa adalah suatu jabatan khusus yang melaksanakan tugas hakim, mempunyai kantor khusus, dan seterusnya, seperti hakim pada lembaga peradilan negara, jelas adalah suatu anggapan yang keliru.
Dari istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan di atas, dapat diketahui bahwa hakim perdamaian desa sesunguhnya adalah suatu fungsi yang dilaksanakan oleh kepala-kepala masyarakat hukum adat (kepala rakyat) seperti yang dikatakan oleh Soepomo. Masyarakat hukum adat[4] atau persekutuan hukum[5]  (rechtsgemeenchappen) sendiri oleh Ter Haar diartikan sebagai ”...gerombolan yang teratur bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan sendiri, pula kekayaan sendiri berupa benda yang kelihatan dan tidak kelihatan mata”[6]. Dalam buku Bab-bab tentang Hukum Adat, Soepomo menunjukkan aktivitas-aktivitas (fungsi) kepala rakyat meliputi tiga aspek, yaitu:
1.  Tindakan-tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengana adanya pertalian yang erat antara tanah dan persekutuan (golongan manusia) yang menguasai tanah itu.
2.Penyelenggaraan hukum sebagai usaha mencegah adanya pelanggaran hukum (”preventieve rechtszorg”), supaya hukum dapat berjalan semestinya.
3. Menyelengarakan hukum sebagai pembetulan hukum, setelah hukum itu dilanggar (”represieve rechtsorg”)[7].

Menurutnya, aktivitas dalam hal menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum setelah hukum itu dilanggar adalah pekerjaan kepala masyarakat hukum adat yang sangat penting. Mengenai hal ini Soepomo menulis sebagai berikut:
Suatu pekerjaan lain dari kepala rakyat yang sangat penting pula, ialah pekerjaan dilapangan ” represieve rechtsorg ” atau pekerjaan sebagai hakim perdamaian desa (dordsjustitie). Apabila ada perselisihan antara teman-teman sedesa, apabila ada perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat, maka kepala rakyat bertindak untuk memulihkan perdamaian adat, untuk memulihkan keseimbangan di dalam suasana desa, untuk memulihkan hukum (”rechtsherstel”)[8]

Uraian Soepomo di atas semakin jelas menunjukkan bahwa hakim perdamaian desa bukanlah suatu jabatan khusus, melainkan adalah suatu fungsi yang dilaksanakan oleh kepala rakyat untuk menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi di desa, terutrama perkara-perkara adat.


[1] Sebagai istilah teknis akademis, istilah “hakim perdamaian desa” sudah lazim digunakan dalam karya-karya ilmiah para sarjana. Lihat misalnya karya ilmiah R. Seopomo I, op.cit., hal. 69; Tjok Istri Putra Astiti I,  op.cit., hal 1; Rachmadi Usman, op.cit., hal. 159.
[2] Istilah ini digunakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.
[3] Lihat Pasal 3a RO
[4] Istilah masyarakat hukum adat antara lain digunakan oleh Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko. Lihat Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 2002, Hukum Adat Indonesia, Cetakan kelima, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 91.
[5] Istilah persekutuan hukum digunakan oleh Soepomo. Lihat: R.Soepomo II, op.cit., hal 49.
[6] B. Ter Haar I, op.cit., hal 7.
[7]R. Soepomo II, op.cit., hal.66.
[8]R. Soepomo II, op.cit, hal. 69.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar