Pengertian dan Fungsi
HAKIM PERDAMAIAN DESA
(Cuplikan Tesis I Ketut Sudantra, 2007, "Pelaksanaan Fungsi Hakim
Perdamaian Desa dalam Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa di Bali, Program Pasca
Sarjana Universitas Udayana, hlm. 92-94)
Istilah ”hakim
perdamaian desa” bukanlah istilah teknis yuridis –suatu istilah baku yang
digunakan secara resmi dalam peraturan perundang-undangan, melainkan istilah
yang umumnya digunakan dalam dunia akademis[1]. Dalam peraturan perundang-undangan
istilah yang digunakan antara lain adalah ”hakim perdamaian di desa-desa”[2] atau ”hakim dari masyarakat hukum
kecil-kecil” atau ”hakim desa” (dorpsjustitie)[3]. Itu sebabnya kalau ada anggapan
bahwa hakim perdamaian desa adalah suatu jabatan khusus yang melaksanakan tugas
hakim, mempunyai kantor khusus, dan seterusnya, seperti hakim pada lembaga
peradilan negara, jelas adalah suatu anggapan yang keliru.
Dari istilah yang
digunakan dalam peraturan perundang-undangan di atas, dapat diketahui bahwa
hakim perdamaian desa sesunguhnya adalah suatu fungsi yang dilaksanakan oleh
kepala-kepala masyarakat hukum adat (kepala rakyat) seperti yang dikatakan oleh
Soepomo. Masyarakat hukum adat[4] atau persekutuan hukum[5]
(rechtsgemeenchappen) sendiri
oleh Ter Haar diartikan sebagai ”...gerombolan yang teratur bersifat tetap
dengan mempunyai kekuasaan sendiri, pula kekayaan sendiri berupa benda yang
kelihatan dan tidak kelihatan mata”[6]. Dalam buku Bab-bab tentang Hukum
Adat, Soepomo menunjukkan aktivitas-aktivitas (fungsi) kepala rakyat meliputi
tiga aspek, yaitu:
1. Tindakan-tindakan mengenai urusan
tanah berhubung dengana adanya pertalian yang erat antara tanah dan persekutuan
(golongan manusia) yang menguasai tanah itu.
2.Penyelenggaraan hukum sebagai usaha
mencegah adanya pelanggaran hukum (”preventieve
rechtszorg”), supaya hukum dapat berjalan semestinya.
3. Menyelengarakan hukum sebagai
pembetulan hukum, setelah hukum itu dilanggar (”represieve rechtsorg”)[7].
Menurutnya, aktivitas dalam hal
menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum setelah hukum itu dilanggar
adalah pekerjaan kepala masyarakat hukum adat yang sangat penting. Mengenai hal
ini Soepomo menulis sebagai berikut:
Suatu pekerjaan lain dari kepala
rakyat yang sangat penting pula, ialah pekerjaan dilapangan ” represieve rechtsorg ” atau pekerjaan
sebagai hakim perdamaian desa (dordsjustitie).
Apabila ada perselisihan antara teman-teman sedesa, apabila ada
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat, maka kepala rakyat
bertindak untuk memulihkan perdamaian adat, untuk memulihkan keseimbangan di
dalam suasana desa, untuk memulihkan hukum (”rechtsherstel”)[8]
Uraian Soepomo di atas semakin jelas
menunjukkan bahwa hakim perdamaian desa bukanlah suatu jabatan khusus,
melainkan adalah suatu fungsi yang dilaksanakan oleh kepala rakyat untuk
menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi di desa, terutrama perkara-perkara
adat.
[1] Sebagai istilah teknis akademis, istilah “hakim
perdamaian desa” sudah lazim digunakan dalam karya-karya ilmiah para sarjana.
Lihat misalnya karya ilmiah R. Seopomo I, op.cit.,
hal. 69; Tjok Istri Putra Astiti I, op.cit., hal 1; Rachmadi Usman, op.cit., hal. 159.
[2] Istilah ini digunakan dalam Pasal 1 ayat
(3) Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.
[3] Lihat Pasal 3a RO
[4] Istilah masyarakat hukum adat antara lain
digunakan oleh Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko. Lihat Soerjono Soekanto
dan Soleman B. Taneko, 2002, Hukum Adat
Indonesia, Cetakan kelima, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 91.
[5] Istilah persekutuan hukum digunakan
oleh Soepomo. Lihat: R.Soepomo II, op.cit.,
hal 49.
[6] B. Ter Haar I, op.cit., hal 7.
[7]R. Soepomo II, op.cit., hal.66.
[8]R. Soepomo II, op.cit, hal. 69.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar