Laman

Selasa, 06 September 2011

Hukum Adat Bali

PEMBARUAN HUKUM ADAT BALI MENGENAI PEWARISAN
Angin Segar Bagi Perempuan*)

Oleh: I Ketut Sudantra

SELAMA ini norma-norma hukum adat Bali mengenai pewarisan sangat kental dengan dominasi budaya patriarki sehingga dianggap kurang menguntungkan bagi perempuan. Seperti diketahui, sudah menjadi pengetahuan umum dalam masyarakat, bahwa perempuan bukanlah ahli waris, baik atas harta peninggalan orang tuanya maupun harta peninggalan almarhum suaminya. Memang, hukum adat Bali yang bersistem kekeluargaan kapurusa (patrilineal) menempatkan anak laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga, sementara perempuan hanya mempunyai hak untuk menikmati harta peninggalan orang tua atau harta peninggalan suami.

Penempatan anak laki-laki sebagai ahli waris terkait erat dengan pandangan bahwa laki-laki Bali mempunyai tanggungjawab yang besar dalam keluarga, sementara tanggungjawab anak perempuan terhadap keluarga berakhir dengan kawinnya anak tersebut yang selanjutnya akan masuk dan menunaikan tanggungjawabnya secara total di lingkungan keluarga suami. Itu sebabnya, harapan yang sangat besar digantungkan kepada anak laki-laki, mulai dari harapan sebagai penerus generasi, memelihara dan memberi nafkah ketika orang tuanya sudah tidak mampu; melaksanakan upacara agama, seperti menyelenggarakan upacara kematian, penguburan atau pembakaran jenazah (ngaben) anggota keluarganya yang meninggal serta menyemayamkan dan memuja roh leluhur mereka di tempat persembahyangan keluarga (sanggah/merajan); menggantikan kedudukan bapaknya dalam masyarakat melaksanakan kewajiban (swadharma) sebagai anggota kesatuan masyarakat hukum adat, seperti krama banjar/desa pakraman) atau krama dadia ketika anak tersebut sudah kawin. Bahkan, tanggung jawab anak laki-laki tidak berhenti pada kewajiban-kewajiban di dunia nyata (alam sekala), tetapi juga merambah ke alam niskala (dunia gaib),  di mana kaum laki-laki (melalui cucu laki-laki) diharapkan akan mengantarkan roh leluhur keluarga tersebut ke alam sorga, seperti sering diungkapkan dalam kepercayaan Bali yang menyatakan  “i cucu nyupat i kaki“. Sebagai penghargaan atas tanggung jawab yang besar itulah kemudian anak laki-laki diberikan hak (swadikara) sebagai ahli waris, sedangkan anggota keluarga yang meninggalkan tanggung jawabnya dalam keluarga baik karena perkawinan, diangkat anak, pindah agama, disebut ninggal kedaton (meninggalkan tanggung jawab) sehingga digugurkan haknya atas harta warisan.

Angin Segar Bagi Perempuan

Sistem kekeluargaan kapurusa yang diterapkan selama ini dalam masyarakat Bali memang telah memberi perlakuan berbeda antara anak laki-laki dan perempuan di bidang pewarisan. Beberapa kalangan berpendapat bahwa perlakuan berbeda itu wajar karena esensi pewarisan dalam hukum adat Bali adalah keseimbangan antara hak (swadikara) dan kewajiban (swadharma). Dalam hal ada kenyataan bahwa salah satu pihak (laki-laki) tetap melaksanakan kewajibannya dalam keluarga dan ada pihak lain (perempuan) meninggalkan kewajibannya, maka logis bila hak mereka masing-masing terhadap harta orang tuanya juga menjadi berbeda. Belakangan ini, berkembang pemikiran bahwa swadharma seorang anak (perempuan) kepada orang tuanya tidak selalu putus walaupun anak tersebut telah kawin. Bahkan tidak jarang, rasa tanggung jawab anak perempuan yang sudah kawin terhadap orang tuanya tetap berlangsung, ia tetap memperhatikan kehidupan orang tuanya, memberikan nafkah, dan merawat orang tuanya  dikala orang tuanya sakit atau  sudah tua renta. Bahkan kadang-kadang rasa tanggung jawab anak perempuan lebih besar dari rasa tanggungjawab anak laki-laki. Dalam kondisi demikian, apakah anak perempuan tetap dianggap ninggal kedaton sehingga kehilangan haknya atas harta warisan orang tuanya?

Berdasarkan fakta bahwa anak yang telah kawin masih dapat melaksanakan kewajibannya terhadap orang tuanya (ninggal kedaton terbatas), maka berkembang pemikiran yang mengarah kepada adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam bidang pewarisan. Pemikiran tersebut sesungguhnya sudah mulai berkembang sejak lama. Paling tidak, gagasan itu telah disuarakan di dunia akademis pada tahun 1971 ketika di Denpasar diselenggarakan Seminar Hukum Adat Waris atas prakarsa Lembaga Pembinan Hukum Nasional. Dalam seminar yang diselenggarakan selama dua hari, 5-6 Maret 1971, itu dibahas beberapa makalah yang membahas persoalan hukum waris, khususnya hukum waris yang berlaku di Bali. Pada hasil seminar, khususnya pada bagian rekomendasi, peserta seminar telah menyarankan: “supaya hukum waris Bali dimodernisir sehingga hak perempuan sama dengan hak laki-laki dengan tidak mengabaikan norma-norma agama“. 

Gagasan tersebut  cukup lama tidak muncul lagi sebagai wacana publik, walaupun para aktivis perempuan di Bali tidak pernah berhenti memperjuangkannya. Perjuangan para aktivis perempuan di Bali bagi persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam bidang pewarisan mulai mendapat perhatian serius lagi ketika Majelis Utama Desa Pakraman  (MUDP) Provinsi Bali mengadakan lokakarya dalam rangka menyongsong Pesamuan Agung yang ke-3.  Lokakarya diadakan di Ruang Pertemuan Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali dihadiri tokoh-tokoh adat dan para aktivis perempuan, membahas kertas kerja tunggal yang saya sampaikan berjudul: “Beberapa Pemikiran Kearah Pembaruan Hukum Adat Bali Untuk Perempuan Dan Anak”. Saya ingat betul bagaimana dinamisnya pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam lokakarya tersebut. Ketika saya mengajukan usul yang moderat bahwa orang tua atau saudara (dalam hal orang tua sudah meninggal) berhak memberikan bekal harta kepada anak  yang ninggal kedaton, yaitu harta yang berupa harta pegunakaya (harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung), dengan catatan pemberian tersebut tidak boleh merugikan ahli waris yang ada, langsung disambut dengan usul yang lebih tegas oleh para aktivis perempuan yang hadir. Mereka mengusulkan, bukan “orang tua berhak memberikan“, melainkan “anak yang telah kawin berhak atas“ harta pegunakaya orang tuanya. Usulan tersebut akhirnya menjadi kesimpulan hasil lokakarya yang kemudian di bawa ke Pesamuan Agung Majelis Utama Desa Pakraman. Pada akhirnya, Pesamuan Agung Ke-3 mengakomodasi perkembangan pemikiran yang dihasilkan oleh lokakarya tersebut, khususnya yang berkaitan dengan hak waris anak perempuan.


Seperti duiketahui, Pesamuan Agung Ke-3 Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali  yang diselenggarakan di Denpasar pada 15 Oktober 2010 telah melahirkan beberapa keputusan yang membawa angin segar bagi perempuan dan anak. Diantara keputusan yang  paling signifikan bagi perkembangan hukum mengenai kedudukan perempuan Bali adalah butir keputusan mengenai hak waris  perempuan, yang pada intinya menyatakan sebagai berikut.
1.           Suami dan istrinya serta saudara laki-laki suami dan istrinya, mempunyai kedudukan yang sama dalam usaha untuk menjamin bahwa harta pusaka dapat diteruskan kepada anak dan cucunya untuk memelihara atau melestarikan warisan immateriil.
2.           Selama dalam perkawinan, suami dan istrinya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta gunakaya-nya  (harta yang diperoleh selama dalam status perkawinan).
3.           Anak kandung (laki-laki atau perempuan) serta anak angkat (laki-laki atau perempuan) yang belum kawin, pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta gunakaya orangtuanya.
4.           Anak kandung (laki-laki atau perempuan) serta anak angkat (laki-laki atau perempuan) berhak atas harta gunakaya orangtuanya, sesudah dikurangi sepertiga sebagai duwe tengah (harta bersama), yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh anak yang nguwubang (melanjutkan swadharma atau tanggung jawab) orangtuanya.
5.           Dalam hal pembagian warisan, anak yang masih dalam kandungan mempunyai hak yang sama dengan anak yang sudah lahir, sepanjang dia dilahirkan hidup.
6.           Anak yang ninggal kadaton penuh tidak berhak atas harta warisan,  tetapi dapat diberikan bekal (jiwa dana) oleh orangtuanya dari harta gunakaya tanpa merugikan ahli waris. 

Barangkali timbul pertanyaan, apakah keputusan-keputusan Pesamuan Agung tersebut akan serta merta menjadi pola kelakuan yang ajeg dalam masyarakat sehingga berlaku sebagai hukum adat dalam kenyataan?  Tentu kita harus bersabar untuk sampai pada tahap perkembangan tersebut. Keputusan-keputusan Pesamuan Agung MUDP tersebut tentu saja akan menjadi pedoman dalam revitalisasi hukum adat Bali melalui penyuratan awig-awig desa pakraman, karena salah satu fungsi MUDP  adalah melakukan pembinanan terhadap awig-awig desa pakraman. Dengan begitu, akan terjadi sosialisasi dan internalisasi di kalangan masyarakat hukum adat Bali mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam Keputusan MUDP tersebut. Lebih dari itu, keputusan Pesamuan Agung MUDP tersebut akan memudahkan bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum adat dalam tugasnya menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, ketika hakim di Pengadilan-pengadilan yang ada di Bali mengadili kasus-kasus pewarisan.

___________________


*) Tulisan ini telah dimuat dalam  majalah Bali Sruti Edisi 1 Januari-Maret 2011, hlm. 22-24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar