PEMBARUAN HUKUM
ADAT BALI MENGENAI PEWARISAN
Angin Segar Bagi
Perempuan*)
Oleh: I Ketut Sudantra
SELAMA ini norma-norma hukum
adat Bali mengenai pewarisan sangat kental dengan dominasi budaya patriarki
sehingga dianggap kurang menguntungkan bagi perempuan. Seperti diketahui, sudah
menjadi pengetahuan umum dalam masyarakat, bahwa perempuan bukanlah ahli waris,
baik atas harta peninggalan orang tuanya maupun harta peninggalan almarhum suaminya.
Memang, hukum adat Bali yang bersistem kekeluargaan kapurusa (patrilineal) menempatkan anak laki-laki sebagai ahli
waris dalam keluarga, sementara perempuan hanya mempunyai hak untuk menikmati
harta peninggalan orang tua atau harta peninggalan suami.
Penempatan anak laki-laki
sebagai ahli waris terkait erat dengan pandangan bahwa laki-laki Bali mempunyai
tanggungjawab yang besar dalam keluarga, sementara tanggungjawab anak perempuan
terhadap keluarga berakhir dengan kawinnya anak tersebut yang selanjutnya akan masuk
dan menunaikan tanggungjawabnya secara total di lingkungan keluarga suami. Itu
sebabnya, harapan yang sangat besar digantungkan kepada anak laki-laki, mulai
dari harapan sebagai penerus generasi, memelihara dan memberi nafkah ketika
orang tuanya sudah tidak mampu; melaksanakan upacara agama, seperti menyelenggarakan
upacara kematian, penguburan atau pembakaran jenazah (ngaben) anggota keluarganya yang meninggal serta menyemayamkan dan
memuja roh leluhur mereka di tempat persembahyangan keluarga (sanggah/merajan); menggantikan kedudukan
bapaknya dalam masyarakat melaksanakan kewajiban (swadharma) sebagai anggota kesatuan masyarakat hukum adat, seperti krama banjar/desa pakraman) atau krama
dadia ketika anak tersebut sudah kawin. Bahkan, tanggung jawab anak
laki-laki tidak berhenti pada kewajiban-kewajiban di dunia nyata (alam sekala), tetapi juga merambah ke alam niskala (dunia gaib), di mana kaum laki-laki (melalui cucu
laki-laki) diharapkan akan mengantarkan roh leluhur keluarga tersebut ke alam
sorga, seperti sering diungkapkan dalam kepercayaan Bali yang menyatakan “i cucu
nyupat i kaki“. Sebagai penghargaan atas tanggung jawab yang besar itulah
kemudian anak laki-laki diberikan hak (swadikara)
sebagai ahli waris, sedangkan anggota keluarga yang meninggalkan tanggung
jawabnya dalam keluarga baik karena perkawinan, diangkat anak, pindah agama, disebut
ninggal kedaton (meninggalkan
tanggung jawab) sehingga digugurkan haknya atas harta warisan.
Angin Segar Bagi Perempuan
Sistem kekeluargaan kapurusa yang diterapkan selama ini
dalam masyarakat Bali memang telah memberi perlakuan berbeda antara
anak laki-laki dan perempuan di bidang pewarisan. Beberapa kalangan berpendapat
bahwa perlakuan berbeda itu wajar karena esensi pewarisan dalam hukum adat Bali
adalah keseimbangan antara hak (swadikara)
dan kewajiban (swadharma). Dalam hal ada
kenyataan bahwa salah satu pihak (laki-laki) tetap melaksanakan kewajibannya
dalam keluarga dan ada pihak lain (perempuan) meninggalkan kewajibannya, maka
logis bila hak mereka masing-masing terhadap harta orang tuanya juga menjadi berbeda.
Belakangan ini, berkembang pemikiran bahwa swadharma
seorang anak (perempuan) kepada orang tuanya tidak selalu putus walaupun anak
tersebut telah kawin. Bahkan tidak jarang, rasa tanggung jawab anak perempuan
yang sudah kawin terhadap orang tuanya tetap berlangsung, ia tetap
memperhatikan kehidupan orang tuanya, memberikan nafkah, dan merawat orang
tuanya dikala orang tuanya sakit
atau sudah tua renta. Bahkan
kadang-kadang rasa tanggung jawab anak perempuan lebih besar dari rasa
tanggungjawab anak laki-laki. Dalam kondisi demikian, apakah anak perempuan
tetap dianggap ninggal kedaton
sehingga kehilangan haknya atas harta warisan orang tuanya?
Berdasarkan fakta bahwa anak
yang telah kawin masih dapat melaksanakan kewajibannya terhadap orang tuanya (ninggal kedaton terbatas), maka
berkembang pemikiran yang mengarah kepada adanya persamaan hak antara laki-laki
dan perempuan dalam bidang pewarisan. Pemikiran tersebut sesungguhnya sudah
mulai berkembang sejak lama. Paling tidak, gagasan itu telah disuarakan di
dunia akademis pada tahun 1971 ketika di Denpasar diselenggarakan Seminar Hukum
Adat Waris atas prakarsa Lembaga Pembinan Hukum Nasional. Dalam seminar yang
diselenggarakan selama dua hari, 5-6 Maret 1971, itu dibahas beberapa makalah
yang membahas persoalan hukum waris, khususnya hukum waris yang berlaku di
Bali. Pada hasil seminar, khususnya pada bagian rekomendasi, peserta seminar
telah menyarankan: “supaya hukum waris Bali dimodernisir sehingga hak perempuan
sama dengan hak laki-laki dengan tidak mengabaikan norma-norma agama“.
Gagasan tersebut cukup lama tidak muncul lagi sebagai wacana
publik, walaupun para aktivis perempuan di Bali tidak pernah berhenti
memperjuangkannya. Perjuangan para aktivis perempuan di Bali bagi persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan dalam bidang pewarisan mulai mendapat perhatian
serius lagi ketika Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali mengadakan lokakarya
dalam rangka menyongsong Pesamuan Agung yang ke-3. Lokakarya diadakan di Ruang Pertemuan Kantor
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali dihadiri tokoh-tokoh adat dan para aktivis
perempuan, membahas kertas kerja tunggal yang saya sampaikan berjudul: “Beberapa
Pemikiran Kearah Pembaruan Hukum Adat Bali Untuk Perempuan Dan Anak”. Saya
ingat betul bagaimana dinamisnya pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam
lokakarya tersebut. Ketika saya mengajukan usul yang moderat bahwa orang tua
atau saudara (dalam hal orang tua sudah meninggal) berhak memberikan bekal
harta kepada anak yang ninggal kedaton, yaitu harta yang berupa
harta pegunakaya (harta bersama yang
diperoleh selama perkawinan berlangsung), dengan catatan pemberian tersebut
tidak boleh merugikan ahli waris yang ada, langsung disambut dengan usul yang
lebih tegas oleh para aktivis perempuan yang hadir. Mereka mengusulkan, bukan “orang
tua berhak memberikan“, melainkan “anak yang telah kawin berhak atas“ harta pegunakaya orang tuanya. Usulan tersebut
akhirnya menjadi kesimpulan hasil lokakarya yang kemudian di bawa ke Pesamuan
Agung Majelis Utama Desa Pakraman. Pada akhirnya, Pesamuan Agung Ke-3
mengakomodasi perkembangan pemikiran yang dihasilkan oleh lokakarya tersebut,
khususnya yang berkaitan dengan hak waris anak perempuan.
Seperti duiketahui, Pesamuan
Agung Ke-3 Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali yang diselenggarakan di Denpasar pada 15
Oktober 2010 telah melahirkan beberapa keputusan yang membawa angin segar bagi
perempuan dan anak. Diantara keputusan yang
paling signifikan bagi perkembangan hukum mengenai kedudukan perempuan
Bali adalah butir keputusan mengenai hak waris perempuan, yang pada intinya menyatakan
sebagai berikut.
1.
Suami dan istrinya serta saudara
laki-laki suami dan istrinya, mempunyai kedudukan yang sama dalam usaha untuk
menjamin bahwa harta pusaka dapat diteruskan kepada anak dan cucunya untuk
memelihara atau melestarikan warisan immateriil.
2.
Selama dalam perkawinan, suami dan
istrinya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta gunakaya-nya (harta yang
diperoleh selama dalam status perkawinan).
3.
Anak kandung (laki-laki
atau perempuan) serta anak angkat (laki-laki atau perempuan) yang belum kawin,
pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta gunakaya orangtuanya.
4.
Anak kandung (laki-laki
atau perempuan) serta anak angkat (laki-laki atau perempuan) berhak atas harta gunakaya orangtuanya, sesudah dikurangi
sepertiga sebagai duwe tengah (harta
bersama), yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh anak yang nguwubang (melanjutkan swadharma
atau tanggung jawab) orangtuanya.
5.
Dalam hal pembagian
warisan, anak yang masih dalam kandungan mempunyai hak yang sama dengan anak
yang sudah lahir, sepanjang dia dilahirkan hidup.
6.
Anak yang ninggal kadaton penuh tidak berhak atas harta warisan, tetapi dapat diberikan bekal (jiwa dana) oleh orangtuanya dari harta gunakaya tanpa merugikan ahli
waris.
Barangkali timbul pertanyaan,
apakah keputusan-keputusan Pesamuan Agung tersebut akan serta merta menjadi
pola kelakuan yang ajeg dalam masyarakat sehingga berlaku sebagai hukum adat
dalam kenyataan? Tentu kita
harus bersabar untuk sampai pada tahap perkembangan tersebut. Keputusan-keputusan
Pesamuan Agung MUDP tersebut tentu saja akan menjadi pedoman dalam revitalisasi
hukum adat Bali melalui penyuratan awig-awig desa pakraman, karena salah satu
fungsi MUDP adalah melakukan pembinanan
terhadap awig-awig desa pakraman. Dengan begitu, akan terjadi sosialisasi dan
internalisasi di kalangan masyarakat hukum adat Bali mengenai nilai-nilai yang
terkandung dalam Keputusan MUDP tersebut. Lebih dari itu, keputusan Pesamuan
Agung MUDP tersebut akan memudahkan bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum adat
dalam tugasnya menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, ketika
hakim di Pengadilan-pengadilan yang ada di Bali mengadili kasus-kasus
pewarisan.
___________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar