Laman

Rabu, 21 September 2011

Desa Dinas-Desa Pakraman (3)

 PEMERINTAHAN DESA DINAS
(Cuplikan Tesis I Ketut Sudantra, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa di Bali”, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hlm.69-86)


Pengertian Desa Dinas
Yang dimaksudkan dengan istilah “pemerintahan desa dinas” disini adalah apa yang pada masa pemerintahan kolonial Belanda dahulu oleh Hunger disebut ”Gouvernementsdesa” yang artinya desa pemerintahan. Istilah gouvernementsdesa ini antara lain digunakan oleh F.W.F. Hunger dalam tulisannya yang berjudul ”Adatdesa’s en Gouvernementsdesa in Zuid-Bali” (1932). Dalam buku tersebut ia menjelaskan mengenai pembentukan pemerintahan desa oleh Penmerintahan Belanda di Bali Selatan, yang menimbulkan adanya dua bentuk desa, yaitu desa adat (adatsdesa) dan desa pemerintahan atau desa dinas (gouvernementsdesa). Gouvernementsdesa ini adalah desa bentukan pemerintah (Belanda) yang menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan negara di desa[1]. Urusan-urusan pemerintahan ini lazim pula disebut ”urusan dinas”. Istilah ”dinas” yang berasal dari bahasa Belanda: diens[2], kemudian dilekatkan pada istilah ”desa” yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan, sehingga menjadi ”desa dinas” untuk membedakannya dengan desa yang menyelengagarakan fungsi sosial religius yang sebelumnya sudah ada.
Uraian di atas menjelaskan bahwa desa dinas ini adalah lembaga yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan pada masyarakat terbawah (desa). Itu sebabnya, pengertian desa dinas ini tidak hanya menyangkut desa melainkan juga kelurahan karena kedua lembaga tersebut merupakan ujung tombak penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Bedanya, kedua lembaga ini mempunyai dasar pembentukan yang berbeda. Desa dibentuk di daerah kabupaten/kota atas prakarsa masyarakat (Pasal 200 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004), sedangkan kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan yang merupakan perangkat daerah kabupaten/kota.
Susunan desa dinas di Bali umumnya bertingkat. Desa terdiri dari lebih dari satu dusun yang di Kabupaten Gianyar disebut Banjar Dinas. Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 9 Tahun 2002 tentang Pembentukan Banjar Dinas dalam Desa, disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan ”Banjar Dinas adalah wilayah bagian Desa yang merupakan lingkungan kerja Pemerintah Desa” (Pasal 1 huruf j). Sedangkan bagian dari Kelurahan umumnya disebut Lingkungan.
Dewasa ini, undang-undang yang mengatur desa dinas adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2004 Nomor 125; TLNRI No 4437) sebabagaimana sudah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Nomor 3 Tahun 2005 yang telah ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 (LNRI Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4548). Dalam Bab XI Undang-undang Pemerintahan Daerah tersebut diatur tentang Desa, yaitu mulai Pasal 200 sampai dengan Pasal 216. Pengertian desa sendiri diatur dalam Pasal 1 angka 12 yang menyatakan sebagai berikut:
Desa atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Rumusan yang hampir sama telah disebutkan pula dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang berlaku sebelumnya. Perbedaannya, rumusan pengertian desa dalam undang-undang yang disebut belakangan tidak secara jelas menegaskan bahwa desa ”memiliki batas-batas wilayah”.
Dengan membaca rumusan pengertian desa di atas, dengan mudah dapat ditangkap suatu pengertian bahwa desa menurut Undang-undang Pemerintahan Daerah ini adalah suatu kesatuan masyarakat hukum. Di Provinsi Bali, desa yang secara tradisional merupakan kesatuan masyarakat hukum adalah desa pakraman seperti telah diuraikan di depan. Tetapi, implementasi dari ketentuan dalam Pasal 1 angka 12 di atas di dalam undang-undang ini pada pasal-pasal lainnya ternyata mengarah kepada desa yang sebelumnya di Bali disebut desa dinas. Demikian pula implementasinya pada tataran peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah) justru tetap mengukuhkan keberadaan desa dinas yang sebelumnya telah ada di Bali. Itu sebabnya, I Made Pasek Diantha pernah menyatakan bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan desa di Bali oleh undang-undang adalah desa pakraman, tetapi hal itu telah diterapkan secara keliru di Bali sehingga desa dinaslah kemudian yang dipersepsikan sebagai desa menurut undang-undang[3].
Undang-undang Pemerintahan Daerah menggariskan bahwa desa dapat diubah menjadi kelurahan, Hal itu ditegaskan dalam Pasal 200 ayat (3) yang menyatakan bahwa ”Desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan Perda”. Karena kelurahan adalah bagian dari perangkat daerah, Undang-undang Pemerintahan Daerah tidak mengatur masalah kelurahan ini pada ketentuan mengenai desa, melainkan mengaturnya secara khusus di bagian lain, yaitu pada Bab IV, Bagian Kesembilan yang mengatur tentang Prangkat Daerah, khususnya Pasal 127.

Pemerintahan Desa
Berdasarkan Pasal 127 dan Pasal 216, pengaturan lebih lanjut mengenai kelurahan dan desa diatur dengan Peraturan Daerah dengan berpedoman kepada Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Desa yang sekarang berlaku adalah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Mengenai pengertian pemerintahan desa, dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah tidak disebutkan secara ekplisit. Pengertian pemerintahan desa kemudian dirumuskan secara tegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, yang dalam Pasal 1 angka 6 menyatakan sebagai berikut:
Pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pemerintah Desa yang dimaksud terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Perangkat Desa ini terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya yang terdiri atas sekretariat desa, pelaksana teknis lapangan, dan unsur kewilayahan. Jumlah Perangkat Desa ini disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Di Kabupaten Gianyar, berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 10 Tahun 2002 tentang Susunan Organisasi Pemerintah Desa yang sampai sekarang masih berlaku, susunan organisasi pemerintah desa diatur dalam Pasal 2 yang menyatakan sebagai berikut :
(1)    Organisasi Pemerintah Desa terdiri dari:
a.       Perbekel
b.      Perangkat Desa.
(2)    Perangkat Desa terdiri dari:
a.       Sekretariat Desa
b.      Pelaksana Teknis Lapangan.
c.       Kelihan Banjar Dinas.
(3)    Sekretariat Desa terdiri dari:
a.       Sekretaris Desa
b.      Kepala-kepala Urusan.

Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 10 Tahun 2002 yang landasannya adalah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sampai saat ini masih berlaku walaupun undang-undang telah diganti, semata-mata karena peraturan daerah yang baru yang mengatur tentang susunan organisasi pemerintahan desa belum dibuat. Dengan demikian maka susunan organisasi pemerintahan desa di Kabupaten Gianyar masih mengikuti ketentuan Pasal 2 Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 10 Tahun 2002 di atas. Hal itu dapat dilihat dari Susunan Pemerintahan Desa dan Perangkat Desa Keramas Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar seperti tampak pada Bagan 3.1.
Bagan 3.1.
Susunan Organisasi Pemerintahan Desa Keramas dan Perangkat Desa Keramas,2006

Melalui Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 10 Tahun 2002 Pemerintah Kabupaten Gianyar mengembalikan istilah kepala desa kepada istilah yang dahulu pernah dikenal, yaitu Perbekel. Perangkat Desa yang pada masa berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 disebut Kepala Dusun, kini diganti dengan istilah Kelihan Banjar Dinas. Tambahan kata “Dinas”, tampaknya digunakan untuk membedakannya dengan Kelihan Banjar Adat yang merupakan prangkat desa pakraman, yaitu pimpinan dari banjar pakraman (banjar adat).
Sesuai dengan pengertian pemerintahan desa, yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan, maka fungsi pemerintahan desa mencakup urusan-urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa ditegaskan dalam Pasal 206 Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yaitu meliputi:
a.       urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
b.      urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
c.       tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota;
d.      urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
Kewenangan desa seperti tersebut di atas, ditegaskan kembali dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005.
            Mengenai kewenangan desa yang berkaitan dengan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa, undang-undang tidak memberikan penjelasan, sehingga dapat saja menimbulkan berbagai penafsiran terutama dalam penerapannya di Bali. Seperti telah dijelaskan di depan, di Bali secara historis desa yang semula dikenal adalah desa yang sekarang disebut desa pakraman yang sejak kelahirannya telah mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu berdasarkan otonominya. Mungkin saja timbul pertanyaan, apakah kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul desa ini mencakup kewenangan yang secara tradisional sejak dahulu sampai sekarang telah dijalankan oleh desa pakraman di Bali?. Penjelasan terhadap ketentuan ini ditemukan dalam Penjelasan atas Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, yang menyatakan sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan kewenangan berdasarkan hak asal-usul desa adalah hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai asal-usul, adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan seperti subak, jogoboyo, jogotirto, sasi, mapalus, kaalotan, kajaroan, dan lain-lain. Pemerintah Daerah mengidentifikasi jenis kewenangan berdasarkann hak asal-usul desa dan mengembalikan kewenangan tersebut, yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.

Melihat penjelasan atas Pasal 7 tersebut, tampaknya yang dimaksud sebagai kewenangan berdasarkan hak asal-usul desa tersebut adalah kewenangan-kewenangan yang dahulu dimiliki oleh kesatuan masyarakat hukum adat, seperti yang dikemukakan oleh Ter Haar, Soepomo, dan lain-lain. Di luar Bali yang tidak mengenal dualisme pemerintahan desa barangkali hal ini tidak menjadi persoalan yang prinsip karena undang-undang hanya mengembalikan kewenangan yang sejak dahulu menjadi hak asal-usul desa kembali menjadi kewenangan desa. Tetapi hal itu menjadi persoalan tersendiri di Bali karena kewenangan berdasarkan hak asal usul desa yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 seperti jogoboyo (lembaga keamanan desa yang di Bali disebut pecalang) dan lain-lain, sejak dulu sampai sekarang masih diselenggarakan oleh desa pakraman berdasarkan otonominya yang tidak mungkin diambil alih oleh pemerintahan desa (dinas). Untuk menengahi persoalan ini, penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tampaknya dapat dijadikan acuan. Dalam Penjelasan Umum dinyatakan sebagai berikut:
…terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa atau karena transmigrasi ataupun karena alasan lain (cetak miring dari penulis, IKS) yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun hiterogen, maka otonomi desa yang merupakan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai social budaya yang ada pada masyarakat setempat diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa itu sendiri.

Peraturan Pemerintah ini ingin menegaskan bahwa kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul desa itu bersifat dinamis, yang mungkin saja baru timbul dalam perjalanan sejarah desa itu sendiri. Dengan demikian, Pemerintahan Desa (Dinas) di Bali tetap dimungkinkan menyelenggarakan urusan pemerintahan berdasarkan hak asal-usul desa yang tumbuh dan berkembang dalam praktek pemerintahan desa dinas selama ini. Setelah berlangsung berpuluh-puluh tahun –bahkan telah dimulai sebelum kemerdekaan, adalah sesuatu hal yang wajar jika dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan desa telah tumbuh dan berkembang kewenangan-kewenangan yang menjadi otonomi desa dinas. Tidak mustahil pula dalam perjalanan waktu yang panjang tersebut telah terjadi pergeseran-pergeseran kewenangan dari desa pakraman kepada desa dinas, sebab seperti yang dikemukakan oleh Mahadi bahwa sejak Indonesia merdeka sudah banyak kewenangan-kewenangan kepala adat yang sudah beralih ketangan pejabat-pejabat negara[4]
Berbeda dengan undang-undang yang berlaku sebelumnya[5], Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak mengatur secara terinci mengenai tugas dan kewajiban kepala desa dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa. Undang-undang yang baru lebih suka menyerahkan pengaturan tugas-tugas kepala desa kepada Peraturan Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah (Pasal 208). Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, maka dapat diketahui tugas dan kewajiban Kepala Desa yang harus dituangkan melalui Peraturan Daerah, yaitu seperti diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15. Selengkapnya Pasal 14 menyatakan sebagai berikut:
(1)    Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
(2)    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa mempunyai wewenang:
a.       Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD;
b.       Mengajukan rancangan peraturan desa;
c.       Menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD;
d.       Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APB Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;
e.       Membina kehidupan masyarakat desa;
f.        Membina perekonomian desa;
g.       Menggordinasikan pembangunan desa secara partisipatif.

Pasal 15 menyatakan sebagai berikut:
(1)    Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Kepala Desa mempunyai kewajiban:
a.       Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.       Meningkatkan kesjahteraan masyarakat;
c.       Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
d.       Melaksanakan kehidupan demokrasi;
e.       Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme;
f.        Menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan desa;
g.       Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
h.       Menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik;
i.         Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa;
j.         Melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa;
k.       Mendamaikan perselisihan masyarakat di desa;
l.         Mengembangkan pendapatan masyarakat dan desa;
m.     Membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat;
n.       Memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa;
o.       Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup.
(2)    Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat.
           
Sesuai dengan Pasal 208 Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru, semestinya rincian tugas dan kewajiban Kepala Desa yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten didasarkan kepada ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 Peraturan Pemerintah di atas. Yang terjadi di Kabupaten Gianyar saat penelitian ini dilakukan, berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 10 Tahun 2002 yang masih berlaku, rincian tugas dan kewajiban Kepala Desa masih didasarkan kepada peraturan lama, yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4156). Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar tersebut di atas tugas dan kewajiban Kepala Desa (Perbekel) diatur dalam Pasal 5. Pada ayat (2) pasal tersebut ditegaskan bahwa “Tugas Perbekel adalah mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan tidak bertentangan dengan Undang-undang”. Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan bahwa untuk melaksanakan tugas di atas, Perbekel mempunyai fungsi:
a.       Memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b.      Memelihara dan membina kerukunan masyarakat Desa baik materiil maupun spiritual;
c.       Membina perekonomian Desa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
d.      Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat Desa;
e.       Mendamaikan perselisihan masyarakat Desa;
f.        Mewakili Desanya di dalam dan di luar Pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya;
g.       Menjaga kelestarian dan adat istiadat yang hidup dan berkembang di Desanya;
h.       Membuat Rancangan Peraturan Desa dan bersama-sama BPD menetapkan Peraturan Desa.

 Kelurahan
Di suatu wilayah perkotaan yang tidak terdapat desa, maka urusan pemerintahan di wilayah itu diselenggarakan oleh kelurahan. Di Bali, pada wilayah-wilayah tersebut tetap hidup dan berkembang keberadaan desa pakraman yang menyelenggarakan urusan-urusan kemasyarakatan dan keagamaan (sosial religius). Dengan demikian, kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi pada wilayah-wilayah yang terdapat pemerintahan desa, dimana ada dikotomi urusan ”adat” dan ”dinas” yang diselenggarakan oleh lembaga yang berbeda. Karena kelurahan adalah penyelenggara urusan-urusan dinas seperti yang dilakukan oleh pemerintahan desa, maka oleh masyarakat umum kelurahan dimengertikan pula sebagai pemerintahan desa dinas. Itulah yang menjadi alasan mengapa kelurahan di bahas pula dalam bagian ini walaupun disadari bahwa sesungguhnya secara formal kelurahan bukanlah desa.
Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang kelurahan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005. Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 127 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai mana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 yang telah ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005.
Undang-undang tidak memberikan rumusan mengenai pengertian kelurahan dalam pasal-pasalnya. Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 hanya menegaskan bahwa: ”Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah”. Rumusan pengertian kelurahan ditemukan dalam Penjelasan atas Pasal 27 ayat (1) tersebut yang kemudian diadopsi secara utuh oleh Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 sebagai pengertian kelurahan. Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 menyatakan bahwa: ”Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat Daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah kerja Kecamatan”. Dengan rumusan demikian, menjadi jelas bahwa kelurahan adalah bagian dari perangkat daerah, dalam hal ini perangkat Daerah Kabupaten/Kota. Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2004 dinyatakan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah. Perangkat Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan. Selain untuk membantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, pembentukan kelurahan diperlukan dalam rangka meningkatkan pelayanan masyarakat dan melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan diperkotaan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Kelurahan dipimpin oleh seorang Lurah yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui Camat. Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari Pegawai Negeri Sipil, dengan beberapa persyaratan, yaitu: pangkat/golongan minimal Penata (III/c), masa kerja minimal 10 tahun, dan mempunyai kemampuan teknis dibidang administrasi pemerintahan dan memahami sosial budaya masyarakat setempat.
Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005, Lurah mempunyai tugas pokok menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Selain itu, lurah melaksanakan urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati. Dalam Pasal 5 kemudian ditegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas pokok di atas, Lurah mempunyai tugas:
a.       Pelaksanaan kegiatan pemerintahan kelurahan;
b.      Pemberdayaan masyarakat;
c.       Pelayanan masyarakat;
d.      Penyelenggaran ketentraman dan ketertiban umum;
e.       Pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; dan
f.        Pembinaan lembaga kemasyarakatan.

Kelurahan terdiri dari Lurah dan perangkat kelurahan yang diisi dari Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas usul Camat. Perangkat kelurahan terdiri dari Sekretaris Kelurahan dan Seksi. Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi dan tata kerja kelurahan diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 6)

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Lembaga Lain
Bardasarkan Pasal Peraturan 1 angka 6 Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, pemerintahan desa meliputi pemerintah desa dan Badan Permusyawarahan Desa (BPD). Pada masa berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, BPD adalah singkatan dari Badan Perwakilan Desa. Perbedaan istilah ini mempunyai konskwensi yang berbeda khususnya pada tugas dan wewenang BPD.  Berikut ini matrik perbedaan antara Badan Perwakilan Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa.
Matrik
Perbandingan  Pengertian , Fungsi dan Wewenang Badan Perwakilan Desa dan Badan Permusywaratan Desa


BADAN PERWAKILAN DESA
(Permendagri No.63 Tahun 1999)


BADAN PERMUSYAWARATAN DESA
(PP No.72 Tahun 2005)

1.     Pengertian:
 Sebagai Badan Perwakilan merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi pancasila
Berkedudukan sejajar dan menjadi mitra Pemerintah Desa

1.     Badan Permussyawaratan Desa berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa




2.     Fungsi BPD (Pasal 36 Permendagri 63/1999):
a.     mengayomi, yaitu menjaga kelestarian adat istiadat di desa;
b.     legislasi, yaitu merumuskan dan mentapkan peraturan desa;
c.      pengawasan, yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa, Aanngaran Pendapatan dan Belanja Desa, serta Keputusan Kepala Desa;
d.     menampung dan menyalurkan  aspirasi masyarakat.

2.     Fungsi BPD:
a.     Menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
b.     Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.









3.   Wewenang BPD:
a.     membahas Rancangan peraturan desa bersama kepala desa;
b.     melaksanakan pengawasan terhadap pelaklsanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa;
c.      mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa;
d.     membentuk panitia pemilihan kepala desa;
e.     menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat;
f.       menyusun tata tertib BPD;


 
4.     Hak BPD:
a.     Meminta keterangan kepada Pemerintah Desa;
b.     menyatakan pendapat.


Berdasarkan Permendagri Nomor 64 Tahun 1999 maupun PP Nomor 72 Tahun 2005, Pengaturan lebih lanjut mengenai pembentukan BPD ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Di Kabupaten Gianyar, pembentukan Badan Perwakilan Desa di Kabupaten Gianyar ketika penelitian ini dilakukan masih berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pembentukan Badan Perwakilan Desa.  Satu hal yang cukup krusial diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar di atas adalah hak BPD, yanmg diatuir dalam Pasal 24, yang menyatakan sebagai berikut:
BPD mempunyai hak:
a.       Miminta pertanggungjawaban Perbekel;
b.      Meminta Keterangan Pemerintah Desa;
c.       Mengadakan penyelidikan;
d.      Mengadakan perubahan atas rancangan Peraturan Desa;
e.       Mengajukan pernyataan pendapat;
f.        Mengajukan rancangan Peraturan Desa;
g.       Menetapkan anggaran belanja BPD;
h.       Menetapkan Peraturan Tatatertib BPD.

Di Desa Keramas ketika penelitian ini dilakukan istilah yang digunakan adalah Padan Perwakilan Desa karena pembentukannya masih didasarkan kepada Peraturan Daerah di atas.
Disamping BPD, berdasarkan Pasal 211 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, di Desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa. Lembaga kemasyarakatan tersebut bertugas membantu pemerintah  desa dan merupakan mitra pemerintah dalam memberdayakan masyarakat desa. Berdasarkan Penjelasan terhadap Pasal 211  ini, yang dimaksud dengan lembaga kemasyarakatan desa adalah Rukun Tetangga, Rukun Warga, PKK, Karang Taruna, Lembaga Perbedayaan Masyarakat. Di Desa Keramas, lembaga kemasyarakatan desa yang ada adalah PKK dan LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat).

2.1.4.5.      Peraturan Desa
            Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Desa mempunyai kewenangan membuat Peraturan Desa yang ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD (Pasal 209). Menurut Pasal 55 PP Nomor 72 Tahun 2005, Peraturan Desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi. Dalam pembentukan Peraturan Desa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Peraturan Desa.  Peraturan Desa disampaikan oleh Kepala Desa kepada Buapati/Walikota melalui Camat sebagai bahan pengawasan dan pembinaan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Peraturan Daerah kemudian dimuat dalam Berita Daerah. Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pembentukan dan mekanisme penyusuanan Peraturan Desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman kepada Peraturan Menteri. Di Kabupaten Gianyar, pedoman pembentukan  Perauran Desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 17 Tahun 2002.


[1] F.W.F. Hunger, op.cit., hal. 6.
[2] I Gde Parimartha, op.cit., hal. 19.
[3] I Made Pasek Diantha, 2004,  ”Pecalang dalam Perspektif Sistem Keamanan Regional”,  dalam Wayan P.Windia, Pecalang Perangkat Keamanan Desa Pakraman di Bali, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM) Universitas Udayana, hal. 68 (Selanjutnya disebut I Made Pasek Diantha II)
[4] Mahadi, loc.cit.
[5] Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mengatur secara rinci tugas dan kewajinan kepala desa, yaitu dalam Pasal 101, yaitu: a. memimpin penyelenggaraan Pemerintah Desa; b. membina kehidupan masyarakat Desa; c. membina perekonomian desa; d. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa; e. mendamaikan perselisihan masyarakat di desa; dan f. mewakili Desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya. Mengenai tugas huruf e di atas, penjelasan terhadap Pasal 101 ini menyatakan bahwa “Untuk ,mndamaikan perselisihan masyarakat di Desa, Kepala Desa dapat dibantu oleh lembaga adat Desa. Segala perselisihan yang telah didamaikan oleh Kepala Desa bersifat mengikat pihak-pihak yang berselisih”.
                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar