PEMERINTAHAN DESA DINAS
(Cuplikan Tesis I Ketut Sudantra, 2007, “Pelaksanaan Fungsi
Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa di Bali”, Program
Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hlm.69-86)
Pengertian Desa Dinas
Yang dimaksudkan dengan istilah “pemerintahan desa dinas” disini adalah
apa yang pada masa pemerintahan kolonial Belanda dahulu oleh Hunger disebut ”Gouvernementsdesa” yang artinya desa
pemerintahan. Istilah gouvernementsdesa ini antara lain
digunakan oleh F.W.F. Hunger dalam tulisannya yang berjudul ”Adatdesa’s en Gouvernementsdesa in
Zuid-Bali” (1932). Dalam buku tersebut ia menjelaskan mengenai pembentukan
pemerintahan desa oleh Penmerintahan Belanda di Bali Selatan, yang menimbulkan
adanya dua bentuk desa, yaitu desa adat (adatsdesa)
dan desa pemerintahan atau desa dinas (gouvernementsdesa).
Gouvernementsdesa ini adalah desa
bentukan pemerintah (Belanda) yang menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan
negara di desa[1].
Urusan-urusan pemerintahan ini lazim pula disebut ”urusan dinas”. Istilah
”dinas” yang berasal dari bahasa Belanda: diens[2], kemudian
dilekatkan pada istilah ”desa” yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan,
sehingga menjadi ”desa dinas” untuk membedakannya dengan desa yang
menyelengagarakan fungsi sosial religius yang sebelumnya sudah ada.
Uraian di atas menjelaskan bahwa desa dinas ini adalah lembaga yang
menyelenggarakan fungsi pemerintahan pada masyarakat terbawah (desa). Itu
sebabnya, pengertian desa dinas ini tidak hanya menyangkut desa melainkan juga
kelurahan karena kedua lembaga tersebut merupakan ujung tombak penyelenggaraan
fungsi pemerintahan yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Bedanya, kedua
lembaga ini mempunyai dasar pembentukan yang berbeda. Desa dibentuk di daerah
kabupaten/kota atas prakarsa masyarakat (Pasal 200 Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004), sedangkan kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan yang merupakan
perangkat daerah kabupaten/kota.
Susunan desa dinas di Bali umumnya
bertingkat. Desa terdiri dari lebih dari satu dusun yang di Kabupaten Gianyar
disebut Banjar Dinas. Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 9 Tahun
2002 tentang Pembentukan Banjar Dinas dalam Desa, disebutkan bahwa yang
dimaksudkan dengan ”Banjar Dinas adalah wilayah bagian Desa yang merupakan lingkungan
kerja Pemerintah Desa” (Pasal 1 huruf j). Sedangkan bagian dari Kelurahan
umumnya disebut Lingkungan.
Dewasa ini, undang-undang yang mengatur desa dinas adalah Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2004 Nomor 125;
TLNRI No 4437) sebabagaimana sudah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang Nomor 3 Tahun 2005 yang telah ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 8
Tahun 2005 (LNRI Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4548).
Dalam Bab XI Undang-undang Pemerintahan Daerah tersebut diatur tentang Desa,
yaitu mulai Pasal 200 sampai dengan Pasal 216. Pengertian desa sendiri diatur
dalam Pasal 1 angka 12 yang menyatakan sebagai berikut:
Desa atau
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rumusan yang
hampir sama telah disebutkan pula dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
berlaku sebelumnya. Perbedaannya, rumusan pengertian desa dalam undang-undang
yang disebut belakangan tidak secara jelas menegaskan bahwa desa ”memiliki
batas-batas wilayah”.
Dengan membaca rumusan pengertian desa di atas, dengan mudah dapat
ditangkap suatu pengertian bahwa desa menurut Undang-undang Pemerintahan Daerah
ini adalah suatu kesatuan masyarakat hukum. Di Provinsi Bali, desa yang secara
tradisional merupakan kesatuan masyarakat hukum adalah desa pakraman seperti
telah diuraikan di depan. Tetapi, implementasi dari ketentuan dalam Pasal 1
angka 12 di atas di dalam undang-undang ini pada pasal-pasal lainnya ternyata
mengarah kepada desa yang sebelumnya di Bali disebut desa dinas. Demikian pula
implementasinya pada tataran peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
(Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah) justru tetap mengukuhkan keberadaan
desa dinas yang sebelumnya telah ada di Bali. Itu
sebabnya, I Made Pasek Diantha pernah menyatakan bahwa sesungguhnya yang
dimaksud dengan desa di Bali oleh undang-undang adalah desa pakraman, tetapi
hal itu telah diterapkan secara keliru di Bali sehingga desa dinaslah kemudian
yang dipersepsikan sebagai desa menurut undang-undang[3].
Undang-undang Pemerintahan Daerah menggariskan bahwa desa dapat diubah
menjadi kelurahan, Hal itu ditegaskan dalam Pasal 200 ayat (3) yang menyatakan
bahwa ”Desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan
statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa bersama
badan permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan Perda”. Karena kelurahan
adalah bagian dari perangkat daerah, Undang-undang Pemerintahan Daerah tidak
mengatur masalah kelurahan ini pada ketentuan mengenai desa, melainkan mengaturnya
secara khusus di bagian lain, yaitu pada Bab IV, Bagian Kesembilan yang
mengatur tentang Prangkat Daerah, khususnya Pasal 127.
Pemerintahan Desa
Berdasarkan Pasal 127 dan Pasal 216, pengaturan lebih lanjut mengenai
kelurahan dan desa diatur dengan Peraturan Daerah dengan berpedoman kepada
Peraturan Pemerintah. Peraturan
Pemerintah yang mengatur mengenai Desa yang sekarang berlaku adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Mengenai pengertian pemerintahan
desa, dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah tidak disebutkan secara ekplisit.
Pengertian pemerintahan desa kemudian dirumuskan secara tegas dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, yang dalam Pasal 1 angka 6 menyatakan sebagai
berikut:
Pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2005, pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan
Desa (BPD). Pemerintah Desa yang dimaksud terdiri dari Kepala Desa dan
Perangkat Desa. Perangkat Desa ini terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat
Desa lainnya yang terdiri atas sekretariat desa, pelaksana teknis lapangan, dan
unsur kewilayahan. Jumlah Perangkat Desa ini disesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Di Kabupaten Gianyar,
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 10 Tahun 2002 tentang
Susunan Organisasi Pemerintah Desa yang sampai sekarang masih berlaku, susunan
organisasi pemerintah desa diatur dalam Pasal 2 yang menyatakan sebagai berikut
:
(1) Organisasi Pemerintah Desa terdiri dari:
a. Perbekel
b. Perangkat Desa.
(2) Perangkat Desa terdiri dari:
a. Sekretariat Desa
b. Pelaksana Teknis Lapangan.
c. Kelihan Banjar Dinas.
(3) Sekretariat Desa terdiri dari:
a. Sekretaris Desa
b. Kepala-kepala Urusan.
Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 10 Tahun
2002 yang landasannya adalah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sampai saat ini
masih berlaku walaupun undang-undang telah diganti, semata-mata karena
peraturan daerah yang baru yang mengatur tentang susunan organisasi
pemerintahan desa belum dibuat. Dengan demikian maka susunan organisasi
pemerintahan desa di Kabupaten Gianyar masih mengikuti ketentuan Pasal 2
Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 10 Tahun 2002 di atas. Hal itu dapat
dilihat dari Susunan Pemerintahan Desa dan Perangkat Desa Keramas Kecamatan
Blahbatuh Kabupaten Gianyar seperti tampak pada Bagan 3.1.
Bagan 3.1.
Susunan
Organisasi Pemerintahan Desa Keramas dan Perangkat Desa Keramas,2006
Melalui Peraturan Daerah
Kabupaten Gianyar Nomor 10 Tahun 2002 Pemerintah Kabupaten Gianyar
mengembalikan istilah kepala desa kepada istilah yang dahulu pernah dikenal,
yaitu Perbekel. Perangkat Desa yang pada masa berlakunya Undang-undang Nomor 5
Tahun 1979 disebut Kepala Dusun, kini diganti dengan istilah Kelihan Banjar
Dinas. Tambahan kata “Dinas”, tampaknya digunakan untuk membedakannya dengan
Kelihan Banjar Adat yang merupakan prangkat desa pakraman, yaitu pimpinan dari
banjar pakraman (banjar adat).
Sesuai dengan pengertian
pemerintahan desa, yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan, maka fungsi
pemerintahan desa mencakup urusan-urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
desa. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa ditegaskan dalam Pasal
206 Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yaitu meliputi:
a.
urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal
usul desa;
b.
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
c.
tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi,
dan/atau pemerintah kabupaten/kota;
d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh
peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
Kewenangan desa seperti tersebut di atas,
ditegaskan kembali dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005.
Mengenai
kewenangan desa yang berkaitan dengan urusan pemerintahan yang sudah ada
berdasarkan hak asal-usul desa, undang-undang tidak memberikan penjelasan,
sehingga dapat saja menimbulkan berbagai penafsiran terutama dalam penerapannya
di Bali. Seperti telah dijelaskan di depan, di Bali secara historis desa yang
semula dikenal adalah desa yang sekarang disebut desa pakraman yang sejak
kelahirannya telah mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu berdasarkan
otonominya. Mungkin saja timbul pertanyaan, apakah kewenangan desa berdasarkan
hak asal-usul desa ini mencakup kewenangan yang secara tradisional sejak dahulu
sampai sekarang telah dijalankan oleh desa pakraman di Bali?. Penjelasan
terhadap ketentuan ini ditemukan dalam Penjelasan atas Pasal 7 Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, yang menyatakan sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan kewenangan berdasarkan hak
asal-usul desa adalah hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat sesuai asal-usul, adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan seperti subak, jogoboyo, jogotirto, sasi,
mapalus, kaalotan, kajaroan, dan lain-lain. Pemerintah Daerah mengidentifikasi
jenis kewenangan berdasarkann hak asal-usul desa dan mengembalikan kewenangan
tersebut, yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.
Melihat penjelasan atas Pasal 7 tersebut,
tampaknya yang dimaksud sebagai kewenangan berdasarkan hak asal-usul desa
tersebut adalah kewenangan-kewenangan yang dahulu dimiliki oleh kesatuan
masyarakat hukum adat, seperti yang dikemukakan oleh Ter Haar, Soepomo, dan
lain-lain. Di luar Bali yang tidak mengenal dualisme pemerintahan desa
barangkali hal ini tidak menjadi persoalan yang prinsip karena undang-undang
hanya mengembalikan kewenangan yang sejak dahulu menjadi hak asal-usul desa kembali
menjadi kewenangan desa. Tetapi hal itu menjadi persoalan tersendiri di Bali
karena kewenangan berdasarkan hak asal usul desa yang disebutkan dalam
Penjelasan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 seperti jogoboyo (lembaga keamanan desa yang di
Bali disebut pecalang) dan lain-lain,
sejak dulu sampai sekarang masih diselenggarakan oleh desa pakraman berdasarkan
otonominya yang tidak mungkin diambil alih oleh pemerintahan desa (dinas).
Untuk menengahi persoalan ini, penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2005 tampaknya dapat dijadikan acuan. Dalam Penjelasan Umum dinyatakan
sebagai berikut:
…terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa
yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa
atau karena transmigrasi ataupun karena
alasan lain (cetak miring dari penulis, IKS) yang warganya pluralistis,
majemuk, ataupun hiterogen, maka otonomi desa yang merupakan hak, wewenang, dan
kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai social budaya
yang ada pada masyarakat setempat diberikan kesempatan untuk tumbuh dan
berkembang mengikuti perkembangan desa itu sendiri.
Peraturan Pemerintah ini ingin menegaskan bahwa
kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul desa itu bersifat dinamis, yang
mungkin saja baru timbul dalam perjalanan sejarah desa itu sendiri. Dengan
demikian, Pemerintahan Desa (Dinas) di Bali tetap dimungkinkan menyelenggarakan
urusan pemerintahan berdasarkan hak asal-usul desa yang tumbuh dan berkembang
dalam praktek pemerintahan desa dinas selama ini. Setelah berlangsung
berpuluh-puluh tahun –bahkan telah dimulai sebelum kemerdekaan, adalah sesuatu
hal yang wajar jika dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan desa telah
tumbuh dan berkembang kewenangan-kewenangan yang menjadi otonomi desa dinas.
Tidak mustahil pula dalam perjalanan waktu yang panjang tersebut telah terjadi
pergeseran-pergeseran kewenangan dari desa pakraman kepada desa dinas, sebab
seperti yang dikemukakan oleh Mahadi bahwa sejak Indonesia merdeka sudah banyak
kewenangan-kewenangan kepala adat yang sudah beralih ketangan pejabat-pejabat
negara[4]
Berbeda dengan undang-undang
yang berlaku sebelumnya[5], Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak
mengatur secara terinci mengenai tugas dan kewajiban kepala desa dalam memimpin
penyelenggaraan pemerintahan desa. Undang-undang yang baru lebih suka
menyerahkan pengaturan tugas-tugas kepala desa kepada Peraturan Desa
berdasarkan Peraturan Pemerintah (Pasal 208). Dengan terbitnya Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, maka dapat diketahui tugas dan kewajiban Kepala
Desa yang harus dituangkan melalui Peraturan Daerah, yaitu seperti diatur dalam
Pasal 14 dan Pasal 15. Selengkapnya Pasal 14 menyatakan sebagai berikut:
(1) Kepala
Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan.
(2) Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa mempunyai
wewenang:
a. Memimpin
penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama
BPD;
b. Mengajukan
rancangan peraturan desa;
c. Menetapkan
peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD;
d. Menyusun
dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APB Desa untuk dibahas dan
ditetapkan bersama BPD;
e. Membina
kehidupan masyarakat desa;
f.
Membina perekonomian desa;
g.
Menggordinasikan
pembangunan desa secara partisipatif.
Pasal 15
menyatakan sebagai berikut:
(1) Dalam
melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Kepala
Desa mempunyai kewajiban:
a. Memegang
teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b. Meningkatkan
kesjahteraan masyarakat;
c.
Memelihara
ketentraman dan ketertiban masyarakat;
d. Melaksanakan
kehidupan demokrasi;
e. Melaksanakan
prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme;
f.
Menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra
kerja pemerintahan desa;
g.
Menaati
dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
h. Menyelenggarakan
administrasi pemerintahan desa yang baik;
i.
Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan
pengelolaan keuangan desa;
j.
Melaksanakan
urusan yang menjadi kewenangan desa;
k. Mendamaikan
perselisihan masyarakat di desa;
l.
Mengembangkan
pendapatan masyarakat dan desa;
m. Membina, mengayomi dan melestarikan
nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat;
n.
Memberdayakan
masyarakat dan kelembagaan di desa;
o. Mengembangkan
potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup.
(2) Selain
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa mempunyai kewajiban
untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada
Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD,
serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada
masyarakat.
Sesuai dengan Pasal 208 Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru,
semestinya rincian tugas dan kewajiban Kepala Desa yang ditetapkan dengan
Peraturan Daerah Kabupaten didasarkan kepada ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15
Peraturan Pemerintah di atas. Yang terjadi di Kabupaten Gianyar saat penelitian
ini dilakukan, berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 10 Tahun
2002 yang masih berlaku, rincian tugas dan kewajiban Kepala Desa masih
didasarkan kepada peraturan lama, yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun Tahun 1999
dan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan
Mengenai Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 142,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4156). Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar
tersebut di atas tugas dan kewajiban Kepala Desa (Perbekel) diatur dalam Pasal
5. Pada ayat (2) pasal tersebut ditegaskan bahwa “Tugas Perbekel adalah
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan tidak bertentangan
dengan Undang-undang”. Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan bahwa untuk
melaksanakan tugas di atas, Perbekel mempunyai fungsi:
a.
Memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b.
Memelihara dan membina kerukunan masyarakat Desa baik
materiil maupun spiritual;
c.
Membina perekonomian Desa dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat;
d. Memelihara ketentraman dan ketertiban
masyarakat Desa;
e.
Mendamaikan perselisihan masyarakat Desa;
f.
Mewakili Desanya di dalam dan di luar Pengadilan dan
dapat menunjuk kuasa hukumnya;
g.
Menjaga kelestarian dan adat istiadat yang hidup dan
berkembang di Desanya;
h.
Membuat Rancangan Peraturan Desa dan bersama-sama BPD
menetapkan Peraturan Desa.
Kelurahan
Di suatu wilayah perkotaan yang tidak terdapat desa, maka urusan
pemerintahan di wilayah itu diselenggarakan oleh kelurahan. Di Bali, pada
wilayah-wilayah tersebut tetap hidup dan berkembang keberadaan desa pakraman
yang menyelenggarakan urusan-urusan kemasyarakatan dan keagamaan (sosial
religius). Dengan demikian, kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi pada
wilayah-wilayah yang terdapat pemerintahan desa, dimana ada dikotomi urusan
”adat” dan ”dinas” yang diselenggarakan oleh lembaga yang berbeda. Karena kelurahan
adalah penyelenggara urusan-urusan dinas seperti yang dilakukan oleh
pemerintahan desa, maka oleh masyarakat umum kelurahan dimengertikan pula
sebagai pemerintahan desa dinas. Itulah yang menjadi alasan mengapa kelurahan
di bahas pula dalam bagian ini walaupun disadari bahwa sesungguhnya secara
formal kelurahan bukanlah desa.
Peraturan Pemerintah yang
mengatur tentang kelurahan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005.
Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 127 ayat
(1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai mana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 yang telah
ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005.
Undang-undang tidak memberikan
rumusan mengenai pengertian kelurahan dalam pasal-pasalnya. Pasal 27 ayat (1)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 hanya menegaskan bahwa: ”Kelurahan dibentuk
di wilayah kecamatan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah”.
Rumusan pengertian kelurahan ditemukan dalam Penjelasan atas Pasal 27 ayat (1)
tersebut yang kemudian diadopsi secara utuh oleh Peraturan Pemerintah Nomor 73
Tahun 2005 sebagai pengertian kelurahan. Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah
Nomor 73 Tahun 2005 menyatakan bahwa: ”Kelurahan adalah wilayah kerja lurah
sebagai perangkat Daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah kerja Kecamatan”. Dengan
rumusan demikian, menjadi jelas bahwa kelurahan adalah bagian dari perangkat
daerah, dalam hal ini perangkat Daerah Kabupaten/Kota. Dalam penjelasan umum
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2004 dinyatakan bahwa dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah. Perangkat
Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas
daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan. Selain untuk membantu
kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, pembentukan kelurahan
diperlukan dalam rangka meningkatkan pelayanan masyarakat dan melaksanakan
fungsi-fungsi pemerintahan diperkotaan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat.
Kelurahan dipimpin oleh
seorang Lurah yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota
melalui Camat. Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari Pegawai
Negeri Sipil, dengan beberapa persyaratan, yaitu: pangkat/golongan minimal
Penata (III/c), masa kerja minimal 10 tahun, dan mempunyai kemampuan teknis
dibidang administrasi pemerintahan dan memahami sosial budaya masyarakat
setempat.
Berdasarkan Pasal 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005, Lurah mempunyai tugas pokok menyelenggarakan
urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Selain itu, lurah melaksanakan urusan pemerintahan
yang dilimpahkan oleh Bupati. Dalam Pasal 5 kemudian ditegaskan bahwa dalam
melaksanakan tugas pokok di atas, Lurah mempunyai tugas:
a. Pelaksanaan kegiatan pemerintahan
kelurahan;
b. Pemberdayaan masyarakat;
c. Pelayanan masyarakat;
d. Penyelenggaran ketentraman dan ketertiban
umum;
e. Pemeliharaan prasarana dan fasilitas
pelayanan umum; dan
f.
Pembinaan
lembaga kemasyarakatan.
Kelurahan terdiri dari Lurah
dan perangkat kelurahan yang diisi dari Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh
Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas usul Camat. Perangkat kelurahan terdiri
dari Sekretaris Kelurahan dan Seksi. Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur
organisasi dan tata kerja kelurahan diatur dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota (Pasal 6)
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Lembaga
Lain
Bardasarkan Pasal Peraturan 1 angka 6 Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, pemerintahan
desa meliputi pemerintah desa dan Badan Permusyawarahan Desa (BPD). Pada masa
berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, BPD adalah singkatan dari Badan
Perwakilan Desa. Perbedaan istilah ini mempunyai konskwensi yang berbeda
khususnya pada tugas dan wewenang BPD. Berikut ini matrik perbedaan antara Badan
Perwakilan Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa.
Matrik
Perbandingan Pengertian , Fungsi dan Wewenang Badan
Perwakilan Desa dan Badan Permusywaratan Desa
BADAN PERWAKILAN DESA
(Permendagri No.63 Tahun
1999)
|
BADAN PERMUSYAWARATAN
DESA
(PP No.72 Tahun 2005)
|
1.
Pengertian:
Sebagai Badan Perwakilan merupakan wahana
untuk melaksanakan demokrasi pancasila
Berkedudukan sejajar
dan menjadi mitra Pemerintah Desa
|
1.
Badan Permussyawaratan Desa
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa
|
2.
Fungsi BPD (Pasal 36
Permendagri 63/1999):
a.
mengayomi, yaitu menjaga
kelestarian adat istiadat di desa;
b.
legislasi, yaitu
merumuskan dan mentapkan peraturan desa;
c.
pengawasan, yaitu
meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa, Aanngaran Pendapatan
dan Belanja Desa, serta Keputusan Kepala Desa;
d.
menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat.
|
2.
Fungsi BPD:
a.
Menetapkan Peraturan Desa
bersama Kepala Desa;
b.
Menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat.
|
3.
Wewenang BPD:
a.
membahas Rancangan peraturan
desa bersama kepala desa;
b.
melaksanakan pengawasan
terhadap pelaklsanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa;
c.
mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian kepala desa;
d.
membentuk panitia pemilihan
kepala desa;
e.
menggali, menampung,
menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat;
f.
menyusun tata tertib BPD;
|
|
4.
Hak BPD:
a.
Meminta keterangan kepada
Pemerintah Desa;
b.
menyatakan pendapat.
|
Berdasarkan Permendagri Nomor
64 Tahun 1999 maupun PP Nomor 72 Tahun 2005, Pengaturan lebih lanjut mengenai
pembentukan BPD ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Di Kabupaten
Gianyar, pembentukan Badan Perwakilan Desa di Kabupaten Gianyar ketika
penelitian ini dilakukan masih berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pembentukan Badan Perwakilan Desa.
Satu hal yang cukup krusial diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Gianyar di atas adalah hak BPD, yanmg diatuir dalam Pasal 24, yang menyatakan
sebagai berikut:
BPD mempunyai hak:
a. Miminta pertanggungjawaban Perbekel;
b. Meminta Keterangan Pemerintah Desa;
c. Mengadakan penyelidikan;
d. Mengadakan perubahan atas rancangan
Peraturan Desa;
e. Mengajukan pernyataan pendapat;
f.
Mengajukan
rancangan Peraturan Desa;
g. Menetapkan anggaran belanja BPD;
h. Menetapkan Peraturan Tatatertib BPD.
Di Desa Keramas ketika
penelitian ini dilakukan istilah yang digunakan adalah Padan Perwakilan Desa
karena pembentukannya masih didasarkan kepada Peraturan Daerah di atas.
Disamping BPD, berdasarkan
Pasal 211 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, di Desa dapat dibentuk lembaga
kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa. Lembaga kemasyarakatan
tersebut bertugas membantu pemerintah
desa dan merupakan mitra pemerintah dalam memberdayakan masyarakat desa.
Berdasarkan Penjelasan terhadap Pasal 211
ini, yang dimaksud dengan lembaga kemasyarakatan desa adalah Rukun
Tetangga, Rukun Warga, PKK, Karang Taruna, Lembaga Perbedayaan Masyarakat. Di
Desa Keramas, lembaga kemasyarakatan desa yang ada adalah PKK dan LPM (Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat).
2.1.4.5. Peraturan Desa
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004, Desa mempunyai kewenangan membuat Peraturan Desa yang ditetapkan
oleh Kepala Desa bersama BPD (Pasal 209). Menurut Pasal 55 PP Nomor 72 Tahun
2005, Peraturan Desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa
berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi.
Dalam pembentukan Peraturan Desa masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Peraturan
Desa. Peraturan Desa disampaikan oleh
Kepala Desa kepada Buapati/Walikota melalui Camat sebagai bahan pengawasan dan
pembinaan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Peraturan Daerah
kemudian dimuat dalam Berita Daerah. Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman
pembentukan dan mekanisme penyusuanan Peraturan Desa diatur dengan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman kepada Peraturan Menteri. Di Kabupaten
Gianyar, pedoman pembentukan Perauran
Desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 17 Tahun 2002.
[1] F.W.F. Hunger, op.cit., hal. 6.
[2] I Gde Parimartha, op.cit., hal. 19.
[3] I Made Pasek Diantha, 2004,
”Pecalang dalam Perspektif Sistem Keamanan Regional”, dalam Wayan P.Windia, Pecalang Perangkat
Keamanan Desa Pakraman di Bali, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM) Universitas Udayana, hal. 68 (Selanjutnya disebut I Made Pasek Diantha II)
[4] Mahadi, loc.cit.
[5] Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
mengatur secara rinci tugas dan kewajinan kepala desa, yaitu dalam Pasal 101,
yaitu: a. memimpin penyelenggaraan Pemerintah Desa; b. membina kehidupan
masyarakat Desa; c. membina perekonomian desa; d. memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakat desa; e. mendamaikan perselisihan masyarakat di desa; dan
f. mewakili Desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa
hukumnya. Mengenai tugas huruf e di atas, penjelasan terhadap Pasal 101 ini
menyatakan bahwa “Untuk ,mndamaikan perselisihan masyarakat di Desa, Kepala
Desa dapat dibantu oleh lembaga adat Desa. Segala perselisihan yang telah
didamaikan oleh Kepala Desa bersifat mengikat pihak-pihak yang berselisih”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar