Dualisme Pemerintahan Desa di Bali:
Tinjauan Historis
(Cuplikan Tesis I Ketut Sudantra, 2007, “Pelaksanaan Fungsi
Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa di Bali”, Program
Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 43-52)
Dalam masyarakat Bali, istilah “desa”
menunjuk kepada dua pengertian. Pertama, istilah desa menunjuk kepada desa
dinas, yaitu desa yang merupakan kesatuan wilayah administrasi pemerintahan.
Kedua, istilah desa menunjuk kepada desa yang merupakan kesatuan wilayah
masyarakat adat[1]. Desa
dalam pengertian inilah yang kemudian dikenal sebagai desa adat atau desa
pakraman. Desa dinas semula di atur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa. Dalam Pasal 1 huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun
1979 disebutkan pengertian desa sebagai berikut:
Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh
sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah di bawah Camat
dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, UU Nomor 5 Tahun 1979 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Berkaitan dengan pengertian desa, Pasal 1 huruf o Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 menyatakan bahwa:
Desa atau yang disebut dengan nama lain
selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal - usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem
Pemerintahan Nasional dan berada di bawah Kabupaten.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 telah diganti
dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 (selanjutnya disebut Undang-Undang
Pemerintahan Daerah). Undang-undang yang tersebut terakhir ini sendiri sudah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 38) yang telah
ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548). Dalam Undang-Undang
Pemerintahan Daerah yang baru ini, pengertian desa di atur dalam Pasal 1 butir
12, yang menyatakan bahwa:
Desa atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal -usul dan adat istiadat setempat yang
diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Walaupun pernah terjadi polemik mengenai mana
bentuk desa di Bali yang cocok dengan kondisi masyarakat Bali dan sesuai dengan
maksud undang-undang tersebut, desa pakraman ataukah desa dinas tetapi secara
faktual yang dimaksud dengan desa berdasarkan undang-undang yang berlaku
sekarang adalah desa dinas, sedangkan desa pakraman juga tetap eksis seperti
sedia kala. Eksistensi masing-masing bentuk desa tersebut secara yuridis maupun
sosiologis tetap dipertahankan. Dengan demikian, sampai saat ini di Bali masih
terjadi dualisme desa[2] yang oleh Tjok Raka Dherana disebut
”keduaragaman pemerintahan desa”(juga menyebut dualisme desa)[3]
atau oleh I Gde Parimartha disebut sistem ganda dalam pemerintahan desa[4], yaitu adanya desa pakraman berdampingan
dengan desa dinas[5]
Terjadinya dualisme
pemerintahan desa yang diwarisi hingga sekarang tidak lepas dari sejarah
panjang adanya desa di Bali. Dalam
kajian sejarah dapat diketahui bahwa desa di Bali diperkirakan sudah ada sejak
berabad-abad yang lalu, yaitu sekitar abad 9 Masehi. Pada masa kerajaan Bali
Kuno (abad 9 – 10 Masehi), desa merupakan kelompok cikal bakal atau keturunan
pendiri pemukiman yang sejak awal telah mendiami daerah tertentu. Meskipun pada
waktu itu ada yang disebut raja, namun kekuasaannya tidak mencampuri keadaan di
desa, sehingga desa kedudukannya benar-benar mandiri dengan sistem dan struktur
pemerintahan sendiri. Bahkan menurut Liefrienck (1986-1987), seperti dikutip
oleh Parimartha, pada waktu itu desa merupakan “republik kecil” yang memiliki
hukum atau aturan adatnya sendiri. Kemudian dengan munculnya pengaruh kekuasaan
Hindu (Jawa-Majapahit) abad ke-14 Masehi), desa mulai mendapat pengaruh kekuasaan
supra desa, dalam hal ini kerajaan. Paling tidak pengawasan atas desa-desa di
Bali dimulai sejak abad ke-15 setelah raja Bali (Keturunan Majapahit) lebih
mantap berkedudukan di Gelgel.
Akibat pengaruh kerajaan,
desa-desa di Bali kemudian menunjukkan fungsi ganda yaitu di satu pihak fungsi
desa sebagai kelompok cikal bakal, atau penghuni yang lekat dengan perilaku
kepercayaan pada leluhur atau religius, di lain pihak fungsi desa sebagai
kelompok sosial politik yang dibina oleh kekuasaan luar (raja). Pada waktu ini
raja menunjuk seorang Perbakal
(sekarang Perbekel) sebagai wakil raja
yang bertugas mengawasi keadaan di desa sekaligus sebagai agen perubahan.
Dengan adanya Perbekel ini dapat
dikatakan bahwa desa telah menerima kehadiran faktor luar (raja) dan lama
kelamaan terjadi pembauran yang luluh antara desa dengan unsur-unsur kerajaan
tersebut. Hubungan ini semakin mantap, sehingga timbulah semacam pola hubungan patron-client atau model hubungan “jumbuhing kawula gusti” (Jawa) yang
mengandung makna adanya kesatuan antara rakyat dengan raja, yang pada akhirnya
membawa satu pola hubungan sedemikian rupa dalam pelaksanaan adat di desa. Dari
sini mulai kelihatan adanya keterikatan desa dengan unsur kerajaan, khususnya Perbekel, sehingga dalam hal desa tidak
dapat menyelesaikan persoalannya sendiri sering mendapat masukan atau penyelesaian
dari Perbekel. Liefrinck (1927)
menyebutkan adanya Perbekel yang
merupakan wakil raja di desa, memberikan petunjuk bahwa desa-desa di Bali
meskipun tetap berada di bawah pimpinannya (tetua
atau bendesanya) sendiri, telah
mendapat pengaruh dan mungkin perubahan akibat hubungannya dengan kekuatan
luar. Akan tetapi tampak bahwa perubahan yang terjadi pada waktu itu tidak
mengganggu sistem kepemimpinan desa berdasarkan musyawarah anggotanya[6].
Masuknya kekuasaan Pemerintah
Hindia Belanda ke Bali Selatan sekitar 1906-1908 menimbulkan perubahan mendasar
dalam kehidupan masyarakat desa. Untuk lebih menguatkan posisi pemerintah di
desa, Pemerintah Belanda membangun satu lembaga administrasi ditingkat desa,
dan membuat desa baru (bentukan pemerintah kolonial) dengan batas-batas yang
jelas dan dukungan jumlah penduduk sekitar 200 orang dewasa yang siap untuk
menjalankan tugas-tugas rodi pemerintah kolonial. Dengan demikian telah muncul dua
kategori desa, yakni desa lama dan desa baru. Kedua wujud desa ini kemudian
dikenal sebagai “desa adat” (adatdesa)
dan “desa dinas” (Gouvernementsdesa).
Pemerintah Belanda melihat kedua bentuk desa ini sebagai dua dunia yang
terpisah sama sekali (dualisme desa), seolah-olah desa yang pertama (desa adat
atau desa pakraman) tidak ingin disentuh atau dipengaruhi oleh pemerintah
kolonial, melainkan mandiri dengan hukum-hukumnya yang otonom[7]. Mengenai pembentukan desa dinas ini
Hunger dalam karangannya berjudul “Adatdesa’s
en gouvernementsdesa’s in Zuid Bali” yang kemudian diterjemahkan oleh I
Wayan Dangin[8] mengatakan sebagai berikut:
...pemerintah
membentuk wilayah-wilayah pemerintahan dan memberi nama “desa” dengan tidak
mengindahkan adat dan kebale-agungan, hanya eficiency. Apa yang terletak
berdekatan digabungkan, apa yang berjauhan dipisahkan dan dengan demikian
membentuk “desa”, yang bagi orang Bali hanya hidup di atas kertas. Mulai saat
itu artinya “desa” dalam surat-surat resmi tidak lagi bale-agung, tetapi
wilayah pemerintahan, penguasa gupermen.
Selanjutnya Hunger
mengatakan bahwa wilayah desa pakraman dan desa dinas kemungkinan sebagai
berikut:
(1)
Wilayah desa dinas sama dengan wilayah desa
pakraman;
(2)
Wilayah desa dinas tidak sama dengan wilayah
desa pakraman, bisa lebih luas bisa lebih sempit;
(3)
Wilayah desa dinas terdiri dari bagian-bagian
dari berbagai desa pakraman, banjar-banjar yang ada tidak mempunyai bale agung (Pura Desa) diwilayahnya;
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda,
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa adalah Staatsblad 1906
Nomor 83 tentang Inlandsche Gemeente
Ordonnantie (IGO) dan Staatblad 1938 No.490 tentang Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (IGOB). Berdasarkan IGO dan IGOB tersebut, dinyatakan bahwa di samping desa sebagai daerah
otonom asli (zelfbestuurder) juga
sebagai wilayah administratif yang diserahi tugas pembantuan (medebewinds)[9].
Pada masa kemerdekaan (sesudah 1945) desa
baru bentukan Pemerintah India Belanda yang berfungsi administrasi tetap hidup[10].
Setelah Indonesia
merdeka, Undang-undang pertama yang mengatur tentang desa adalah Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini membagi
daerah otonom menjadi tiga tingkatan, yaitu Propinsi, Kabupaten dan Desa.
Menurut Undang-undang ini, Desa merupakan daerah otonom terbawah yang menerima
penyerahan urusan (kewenangan) dari pusat. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, daerah otonom dibagi
menjadi Swatantra Tingkat I, Swatantra Tingkat II, dan Swatantra Tingkat III, dengan
suatu kelonggaran mengenai keberadaan desa sebagai daerah Swatantra III.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tidak menginginkan persekutuan hukum adat
(desa pakraman) otomatis menjadi Daerah Swatantra III atas dasar pertimbangan
faktor luas wilayah, potensi wilayah dan luasnya penduduk. Pembentuk
undang-undang cendrung membikin sendiri satu wilayah otonom terbawah (Swatantra
III) dengan menggabungkan beberapa kesatuan masyarakat hukum adat (desa
pakraman). Sementara itu, karena terjadi pergantian konstitusi, Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini membagi wilayah Indonesia
menjadi tiga tingkatan daerah otonom, yaitu Propinsi, Kabupaten dan Kecamatan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) undang-undang ini Kecamatan terdiri dari satu atau
lebih Desa. Desa menurut Pasal 1 ayat (4) undang-undang ini adalah kesatuan
masyarakat hukum adat (desa pakraman) sesuai penjelasan UUD 1945. Khusus tentang Desa, dikeluarkan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Dengan demikian,
berdasarkan undang-undang ini desa pakraman mempunyai hubungan struktural
dengan pemerintah atasan (Kecamatan, Kabupaten, Propinsi). Tetapi sebelum Undang-undang
ini sempat berlaku, terlebih dahulu telah ditunda pelaksanaannya dengan
Instruksi Mendagri Nomor 29 Tahun 1966 dan akhirnya dicabut berdasarkan
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 dengan dalih undang-undang tersebut produk
legislatif orde lama. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 juga mengalami nasib
yang sama yakni dinyatakan tidak berlaku pada saat telah ada Undang-undang yang
baru menggantikannya (Pasal 2 UU Nomor 6 Tahun 1969). Undang-undang baru yang
menggantikannya adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah. Dalam undang-undang yang baru ini keberadaan
Pemerintahan Desa diatur secara sumir yakni: “Pengaturan tentang Pemerintahan
Desa diatur dengan Undang-undang”. Undang-undang yang dimaksud adalah
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Berdasarkan
undang-undang ini, desa bukanlah kesatuan masyarakat hukum adat (desa pakraman)
melainkan Desa sebagai wilayah administrasi di bawah Kecamatan dengan bentuk
dan susunan yang seragam diseluruh Indonesia. Namun masyarakat hukum adat tetap
masih diakui keberadaannya (tidak dihapuskan). Dengan demikian, Undang-undang
ini menganut stelsel ganda yakni: menetapkan adanya Desa Administrasi (Desa dan
Kelurahan), disisi lain tetap mengakui adanya desa pakraman[11]. Dalam masa berlakunya Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1979 ini, Pemerintah Propinsi Bali mengeluarkan Peraturan Daerah
Nomor 06 Tahun 1986 yang mengukuhkan secara formal keberadaan Desa pakraman
sebagai masyarakat hukum adat di Bali. Dalam Peraturan Daerah itu, ditegaskan
bahwa hubungan antara desa pakraman dengan pemerintah adalah kordinatif dan
konsultatif.
Perkembangan selanjutnya, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya
juga mengatur tentang Desa. Berdasarkan Pasal 1 huruf o undang-undang ini, Desa
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah
Kabupaten.
Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menimbulkan wacana yang sangat
intensif dikalangan masyarakat Bali mengenai kedudukan desa pakraman dalam
kerangka undang-undang yang baru ini[12]. Inti dari wacana yang berkembang adalah
munculnya tiga alternatif mengenai model desa di Bali setelah berlakunya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, yaitu: pertama, dilakukan penyatuan dua
bentuk desa di Bali (desa pakraman dan desa dinas) dengan menetapkan desa pakraman
sebagai desa menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Alasannya, desa yang
dimaksud oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kesatuan masyarakat
hukum adat, dalam hal ini desa pakraman.
Model kedua yang ditawarkan adalah desa dinas yang ditetapkan sebagai desa menurut
undang-undang yang keberadaannya tetap berdampingan dengan desa pakraman.
Dengan demikian, kondisi yang telah ada (dualisme desa) tetap dipertahankan.
Alternatif ketiga yang ditawarkan adalah dikembalikannya keperbekelan sebagai model desa yang melaksanakan fungsi
administratif disamping desa pakraman yang tetap melaksanakan fungsi-fungsi
adat dan agama. Dalam perkembangan selanjutnya, Pemerintah Propinsi Bali
mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman menggantikan Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 1986. Peraturan Daerah
Nomor 3 Tahun 2001 ini sendiri telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2003, tetapi perubahannya tidak begitu berarti karena hanya menghapuskan
satu ayat dalam pasal yang berkaitan dengan pembebasan pajak tanah desa
pakraman. Dengan pengertian yang tetap sama, berdasarkan peraturan daerah yang
baru ini istilah desa adat diganti dengan istilah desa pakraman. Dalam realita,
pergantian Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 dan pergantian Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 1986 dengan Peraturan
Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tidak membawa perubahan mengenai posisi desa pakraman
dalam hubungannya dengan pemerintah (Pemerintahan Desa ataupun Pemerintah
Daerah). Dualisme desa tetap dipertahankan. Saat ini pun, setelah Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 digantikan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, tidak ada perubahan substansial terhadap kondisi desa di
Bali. Dualisme pemerintahan desa tetap berlaku, desa dinas dan desa
pakraman tetap eksis dengan fungsinya masing-masing.
[1] Ayu
Putu Nantri dan I Ketut Sudantra, 1991, “Struktur Organisasi dan Hubungan Antar
Lemabaga dalam Desa Adat Gianyar”, Laporan
Penelitian, Universitas Udayana, Denpasar, hal.1.
[2] Istilah
“dualisme” dalam pemerintahan desa dipergunakan oleh Gubernur Bali dan DPRD
Bali ketika diadakan pembahasan Ranperda Desa Pakraman tahun 2001. Lihat
Gubernur Bali, 2001,”Pandangan Umum
Gubernur Bali atas Ranperda Desa Pakraman Inisiatif Dewan Pada Rapat Paripurna
ke 2 Masa Persidangan Pertama Tahun Sidang 2001 Tanggal 23 Februari 2001” , h.8.
Lihat pula DPRD Bali, tanpa tahun, ”Jawaban Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Propinsi Bali Terhadap Pandangan Umum Eksekutif tentang Ranperda Desa Pakraman”
, hal. 5.
[3]
Tjokorda Raka Dherana, 1995, Desa Adat
dan Awig-awig dalam Struktur Pemerintahan Bali,
Upada sastra, Denpasar, hal. 147.
[4] Istilah
”sistem ganda dalam pemerintahan desa” digunakan oleh I Gde Parimartha dalam pidato
pengukuhannya dalam jabatan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Sejarah
Pada Fakultas Sastra Univ Udayana tanggal 6 Desember 2003. Lihat I Gde
Parimartha, 2003, ”Memahami Desa Adat, Desa Dinas dan Desa Pakraman (Suatu
Tinjauan Historis Kritis)”, orasi ilmiah, Universitas Udayana, Kampus Bukit
Jimbaran, hal.18.
[5] Mengenai
polemik format desa yang cocok diberlakukan di Bali,
lihat: Tim Peneliti Pusat Studi Hukum Adat Unud., op.cit., hal. 50-51.
[6] I Gde
Parimartha , op.cit. , hal. 3-4.
[7] I
Gde Parimartha , op.cit., hal. 6.
[8] F.W.F, Hunger,
1982, Desa Adat dan Desa Pemerintahan.
(terjemahan I Wayan Dangin),tanpa penerbit., hal. 67.
[9] I Made Pasek Diantha, 2001,
“Eksistensi Desa Menurut UU No. 22 Tahun 1999” Makalah dalam Seminar Pemerintahan Desa yang diselenggarakan oleh
FISIP Warmadewa, hal. 15. (Selanjutnya disebut I
Made Pasek Diantha I)
[10] I Gde Parimartha, op.cit., hal. 6.
[11] I Made Pasek Diantha I, op.cit., hal. 5-6.
[12] Mengenai hal ini lihat lebih
lanjut: Tim Peneliti Pusat Studi Hukum Adat Unud, 2001, “Kedudukan Desa Adat dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Setelah berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 di
Kabupaten Gianyar”, Laporan Penelitian, Kerjasamab Antara Bappeda Kabupaten
Gianyar dan Lembaga Penelitian Universitas Udayana, Denpasar, hal. 50-51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar