Laman

Rabu, 05 Oktober 2011

Peradilan Desa (Adat) di Bali (5-Pelaksanaan)

Perkara-Perkara Yang Ditangani 
Hakim Perdamaian Desa
 (Cuplikan Tesis I Ketut Sudantra, 2007, "Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa di Bali”, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, hlm. 121-144) 

DARI hasil penelitian di Desa Keramas dapat diketahui bahwa perkara-perkara yang ditangani ditingkat desa oleh kelembnagaan yang melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa, yaitu Kelihan Banjar, Bendesa, dan Perbekel (selanjutnya disebut: hakim perdamaian desa) cukup beragam, mulai perkara-perkara yang ringan sampai perkara-perkara yang tergolong berat. Secara umum, perkara-perkara atau wicara yang terjadi dalam masyarakat di desa dapat dikwalifikasikan dalam dua  bentuk, yaitu: pertama, yang perkara berupa pelanggaran hukum; dan kedua, perkara yang berupa sengketa. Dalam dua wilayah wicara tersebut masih dapat dibedakan antara wicara yang berlatar belakang adat dan agama (adat murni), wicara non-adat, dan wicara campuran. Penggolongan perkara (wicara) ini mengacu pada pendapat I Wayan Koti Çantika yang membedakan perkara yang terjadi dalam wilayah desa pakraman itu atas tiga golongan, yaitu a) perkara adat murni adalah perkara-perkara yang semata-mata melanggar norma-norma adat dan agama; (b) perkara-perkara yang tidak bersangkut paut dengan adat dan agama; (c) perkara campuran, yaitu disamping melanggar nora-norma adat dan agama juga melanggar norma-norma hukum lain (hukum negara) [1].   Walaupun Soepomo menyatakan bahwa dalam hukum adat tidak ada pemisahan antara pelanggaran-pelanggaran di bidang hukum pidana dan dan pelanggaran-pelanggaran di bidang hukum perdata[2], tetapi untuk kepentingan pembahasan selanjutnya akan dibedakan antara pelanggaran hukum dengan sengketa mengingat di dalam awig-awig desa pakraman pada umumnya terdapat pemilahan antara penyelesaian wicara yang disebabkan oleh pelanggaran hukum dan wicara yang disebabkan oleh sengketa[3].

Pelanggaran hukum
Pelanggaran hukum yang terjadi dapat berupa pelanggaran terhadap hukum adat (awig-awig, pararem, kebiasaan-kebiasaan, dresta) maupun pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum negara. Pelanggaran terhadap norma-norma hukum adat secara teoritis dapat disebut sebagai pelanggaran adat atau yang oleh sarjana-sarjana hukum adat seperti R. Soepomo, Hilman Hadikusuma[4], Bushhar Muhamad[5], dan sarjana-sarjana lain disebut sebagai delik adat. Mengenai delik adat ini,  B. Ter Haar menulis sebagai berikut:
di masyarakat-masyarakat hukum kecil rupa-rupanya yang dianggap suatu pelanggaran (delict) ialah setiap gangguan segi satu (eenzijdig) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupan materiil dan imatereel orang seorang, atau dari pada orang-orang banyak yang merupakan satu kesatuan (segerombolan); tindakan itu menimbulkan suatu reaksi –yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat – ialah reaksi adat (adatreactie), karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan jalan pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang)[6]

            Menurut R. Soepomo, dalam sistem hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal dan hukum adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum, jika hukum itu diperkosa[7]. Senada dengan uraian Ter Haar dan Soepomo di atas,  Bushar Muhamad, seperti dikutip oleh I Made Widnyana[8],  memberikan difinisi tentang delik adat sebagai perbuatan sepihak dari seseorang atau kumpulan perseorangan, mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dan kehidupan persekutuan bersifat material atau imaterial, terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian akan mengakibatkan suatu reaksi adat.
            Pengertian delik adat di atas menekankan kepada adanya perbuatan sepihak dari orang perseorangan atau kelompok yang menimbulkan gangguan kesimbangan dan kehidupan dalam masyarakat, baik material maupun imaterial. Agak berbeda dengan pengertian para sarjana di atas, Hilman Hadikusuma  melihat “kejadian” dapat juga menimbulkan delik adat, disamping perbuatan orang perorangan atau kelompok.  Dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Adat, Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa yang dimaksud delik adat itu adalah semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kepatutan, kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat  bersangkutan[9].
            Satu hal yang penting dicatat dari rumusan-rumusan di atas adalah adanya unsur terganggunya keseimbangan dalam kehidupan masyarakat sebagai unsur delik. Dalam masyarakat Bali keseimbangan yang senantiasa dipelihara adalah keseimbangan atau suasana harmonis antara unsur-unsur Tri Hita Karana[10], yaitu: kesimbangan hubungan manusia dengan sesamanya (pawongan), keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya (palemahan), dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan Sang Maha Pencipta (parhyangan). Demikianlah pola hubungan yang dikehendaki mengenai hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan menurut alam pikiran masyarakat Bali. Semua itu ditujukan agar dapat dicapainya tujuan bersama, yaitu kesejahteraan lahir bathin (sukerta sekala-niskala). Dengan demikian, dalam konsep hukum  adat Bali, pelanggaran  adat menyangkut setiap gangguan keseimbangan hubungan antara unsur-unsur tri hita karama di atas.
            Mengenai jenis-jenis delik adat yang masih hidup dalam hukum adat Bali, I Made Widnyana mengklasifikasikan jenis-jenisnya sebagai berikut:
a.       Delik  adat yang menyangkut kesususilaan, contohnya: lokika sangraha (persetubuhan atas dasar cinta antara laki-laki dan perempuan yang sama-sama masih bujang), drati krama (berzina), , gamia gamana (hubungan seksual antara orang-orang yang berhubungan darah sangat dekat); dan salah krama (berhubungan kelamin dengan binatang)
b.      Delik  adat yang menyangkut harta benda, contohnya: pencurian, pencurian benda suci, merusak benda-benda suci, dan lain-lain;
c.       Delik adat yang melanggar kepentingan pribadi, seperti mamisuh (mencaci), mapisuna (memfitnah), dan lain-lain
d.      Delik adat karena kelalaian atau tidak menjalankan kewajiban, seperti: tidak melaksanakan kewajiban sebagai kerama desa, yang berupa ayahan (kewajiban melakukan pekerjaan untuk desa)  ataupun papeson (urunan berupa barang ataupun barang)[11]
 Di dalam Awig-awig Desa Pakraman Keramas, beberapa bentuk-pelanggaran  adat ditemukan secara ekplisit maupun implisit sebagai sesuatu yang tidak dibenarkan atau tidak dibolehkan (tan kapatutang, tan wenang, tan kalugra) atau pun pelanggaran terhadap perintah (kepatutang). Bentuk-bentuk pelanggaran  adat tersebut tersebar dalam pawos-pawos pada setiap bab dalam awig-awig, yaitu bab (sarga) mengenai sukerta tata pakraman/pawongan, palemahan, dan parhyangan. Dalam Awig-awig Desa Pakraman Keramas yang terdiri atas 8 bab 88 pawos (pasal) beserta pararem-pararem (keputusan-keputusan sangkepan) yang melengkapinya dapat diidentifikasi bentuk-bentuk pelanggaran  adat sebagai berikut:
1)        Krama nenten nyarengin mekarya (krama tidak mengikuti kewajiban melakukan pekerjaan);
2)        Krama nenten nyarengin sangkep/samua (krama tidak mengikuti rapat);
3)        Ngewetuang swara gora utawi byuta ring paruman (menimbulkan suara ribut atau rusuh dalam rapat)
4)        Nepak kulkul tan sangkaning pituduh prajuru (memukul kentongan milik desa tanpa perintah prajuru) ;
5)        Linyok ring swadharman prajuru (prajuru tidak melaksanakan tugas);
6)        Ngangonan wewalungan ring palemahan sane kasusciang, margi palemahan desa, carik miwah tegal sane medaging tetanduran, pekarangan krama tiosan sedereng kalugra antuk sang madruwe karang , setra (menggembalakan ternak pada tempat-tempat yang disucikan, jalan diwilayah desa, sawah dan tegalan yang berisi tanaman dan halaman milik orang lain tanpa ijin, dan dikuburan milik desa)
7)        Mamisuh atawi nguman-uman krama tiyos (mencaci orang lain);
8)        Memaling (mencuri), mapailon ring dusta (membela, menyembunyikan penjahat);
9)        Ngewangun nyayubin pisaga (membangun nyayubin tetangga)
10)    Ngelalah wates tanah karang, pelaba pura, margi, tegal miwah carik druwen krama tiyosan utawi druwern desa (merubah batas-batas tanah perumahan, tanah milik pura, jalan, tanah milik tetangga atau milik desa); ngelalah tegak kahyangan, setra miwah tiyosan (merubah batas tanah bangunan pura, kuburan, dan lain-lain);
11)    Ngembahang toyo mawit kandang wewalungan, kakus, pasiraman, pewaregan, ka paumahan krama tiyosanweiyadin ka margine, ka kahyangan, lan ka genahe siosan sane mapuara wawidangane kaon (mengalirkan air dari kandang, WC/kamar mandi, dapur, ke halaman tetangga, ke jalan, kea real pura,  atau ketempat lain yang menyebabkan rusaknya lingkungan)
12)    Ngentungang wangken miwah bacin wewalungan, luhu, tur sakaluwire ka pakarangan krama tiyosan, ka tukade, ka margine, kagenahe sane suciang, lan gena siosan mapuara wawidangane kaon (membuang bangkai dan kotoran khewan, sampah, dan lain-lain ke halanman orang lain, ke sungai, ke jalan, ke tempat yang disucikan, dan tempat lain yang menyebabkan rusaknya lingkungan)
13)    Ngemademang wewalungan,paksi miwah mina sane mapuara wawidangane kaon (membunuh binatang, burung dan ikan yang menyebabkan rusaknya lingkungan);
14)    Ngeranjing ke pura rikala kacuntakan; makta sahanan barang sane ngeletehin (memasuki arela pura dalam keadaan tidak suci, membawa barang yang menyebabkan kesucian terganggu);
15)    Melakukan perbuatan terlarang di areal pura seperti: masumpah tan sangkaning pituduh prajuru (bersumpah tanpa perintah prajuru), masanggama (bersetubuh), munggah-tedun palinggih tan sangkaning pituduh prajuru (naik turun bangunan pura tanpa perintah prajuru), mojar ala, memisuh, majajal, mayuda, napi malih mapuwara ngawetuang rah utawi padem  (berkata-kata kasar, mencaci, bertengkar, berkelahi, apalagi sampai menyebabkan keluar darah atau menyebabkan mati), menehin busana, papusungan (memperbaiki pakaian, gelungan rambut);
16)    Mendem sawa ring karang paumahan, tegalan, carik sane nenten kasinanggeh setra (mengubur jenazah di pekarangan, tegalan, sawah yang bukan kuburan);
17)    Salah krama atau salah timpal  (bersetubuh dengan binatang);
18)    Gamia gamana (mengadakan hubungan seksual dengan orang yang berhubungan darah sangat dekat)
19)    Drati krama, mamitra, marikosa (berzinah, memperkosa);
20)    Tan tinut ring daging awig (melanggar atau tidak mengikuti isi  awig-awig)
Di luar pelanggaran-pelanggaran adat yang dimaksudkan di atas, dalam wailayah Desa sangat mungkin saja terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum negara yang sama sekali tidak berhubungan dengan aspek adat dan agama, yang dapat disebut pelanggaran hukum non adat, seperti pelanggaran peraturan tentang judi, lalu-lintas,  pajak, pemilihan umum, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan lain-lain. Tidak juga dapat dihindari terjadinya perkara-perkara yang berupa pelanggaran hukum yang merupakan persentuhan antara pelanggaran adat dan pelanggaran hukum negara, disatu sisi perkara tersebut merupakan pelanggaran terhadap norma hukum negara dan disisi lain juga merupakan pelanggaran terhadap norma hukum adat. Seperti misalnya perzinahan. Disatu sisi perbuatan tersebut dilarang oleh hukum adat (memitra) disisi lain perbuatan tersebut juga dilarang oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Contoh-contoh lain adalah pencurian benda-benda suci, penganiayaan di areal pura, dan lain-lain. Masih banyak lagi contoh bentuk-bentuk pelanggaran hukum yang dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran hukum campuran, yaitu campuran antara pelanggaran norma-norma hukum adat dan norma non adat.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, ke tiga bentuk pelanggaran hukum tersebut ditemukan di Desa Keramas dan ditangani oleh hakim perdamaian desa. Pelanggaran hukum yang paling banyak ditemukan adalah pelanggaran hukum adat murni, khususnya yang menyangkut kelalaian terhadap tetegenan (kewajiban) krama berupa tidak mengikuti kegiatan ngayah mekarya atau pun tidak hadir dalam sangkep banjar/desa. Tetegenan krama yaitu kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan oleh krama sesuai kedudukannya diatur dalam Pawos 9 Awig-awig Desa Pakraman Keramas, yaitu kerama desa wajib dikenakan ayahan dan mengeluarkan iuran (peturunan/papeson) disesuikan dengan kedudukannya dalam pakraman, yaitu sebagai krama ngarep, krama padunungan, krama balu, dan sebaginya. Kasus yang terjadi berkaitan dengan tetegenan krama ini umumnya berupa kerama tidak hadir tanpa alasan atau tanpa pemberitahuan (tan pasadok) tatkala dilakukan patedunan krama untuk melakukan suatu pekerjaan bersama (tan nyarengin mekarya) ataupun sangkep (rapat banjar/desa). Pelanggaran terhadap tetegenan krama ini disebut nosa yang diancam pamidanda (sanksi) berupa dadosan, yang dalam Pararem Awig-awig Keramas Pawos 11 kaping 3 e disebutkan sebagai berikut: ”Tan nyarengin sangkep, samua, makarya, lan selantur ipun kakenenin dadosan mapangarga beras ½ kg.”  Kasus-kasus yang berkaitan dengan tetegenan krama ini  ini paling banyak[12] terjadi di Desa Keramas dan bahkan dapat dikatakan terjadi secara rutin, sehingga krama maupun prajuru merasakan hal itu sebagai hal yang biasa dan bukan sebagai suatu perkara. Kasus-kasus ini umumnya segera dapat diselesaikan oleh Kelian Banjar pada saat sangkepan krama banjar yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali, bertepatan dengan hari Umanis Galungan (sehari setelah hari raya Galungan). Dalam paruman/sangkepan rutin ini Kelihan mengumumkan krama-krama yang nosa dan besaran dedosan masing-masing yang harus dibayar. Pada saat itulah pamidanda di jatuhkan, yaitu krama yang nosa diwajibkan membayar sejumlah uang sebagai bentuk dedosan. Dengan dibayarnya dedosan ini maka masalah dianggap telah selesai (puput). Tetapi apabila dedosan tidak dibayar dalam tempo yang sudah ditentukan, awig-awig Desa Pakraman Keramas menentukan pamidanda yang lebih berat lagi secara berjenjang, yaitu katikelang (utangnya dilipatgandakan) dan kerampang (hartanya disita untuk melunasi utangnya kepada desa). Dalam Hukum Adat Bali bentuk sanksi demikian dikwalifikasikan sebagai artha danda[13].
               Bentuk pelanggaran hukum yang dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran non-adat yang sempat ditangani oleh hakim perdamaian desa di Desa Keramas adalah perkara penganiayaan dan pengancaman yang dilakukan oleh IBPN (32 tahun) terhadap IBNM (50 tahun) di Banjar M. Kasus ini terjadi pada awal Februari  2006. Karena kasus ini dianggap sebagai masalah kriminal yang tidak bisa diselesaikan ditingkat banjar, Kelihan Banjar Maspait membawa masalah ini kepada Perbekel untuk memperoleh penyelesaian. Walaupun kasus penganiayaan ini adalah murni  kriminal biasa yang diatur dalam Pasal 351 KUHP[14] tetapi karena dilatar belakangi oleh  sengketa antara pelaku dengan korban yang menyangkut tanah pekarangan desa, Perbekel mengikutsertakan Bendesa Keramas dalam proses penyelesaiannya agar penyelesaian dapat lebih tuntas kepada akar permasalahannya. Di samping itu, karena masalah ini adalah masalah kriminal, Perbekel juga mengikut sertakan petugas Bimas dari Kepolisian untuk didengar pertimbangan-pertimbangannya terutama yang berkaitan dengan masalah kriminalnya. Kasus ini akhirnya berhasil diselesaikan secara perdamaian yang dituangkan dalam secarik surat pernyataan. Dalam surat pernyataan perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak, Perbekel dan Kelihan  Banjar M sebagai saksi, IBPN berjanji tidak akan melakukan penganiayaan dan pengancaman kepada IBNM dan jika perbuatan itu diulangi maka ia bersedia dituntut secara hukum.
               Contoh perkara pelanggaran hukum campuran yang pernah ditangani oleh hakim perdamaian desa di Desa Keramas adalah kasus memitra (perzinahan) yang terjadi di Banjar Bia antara  Ni WL (48 tahun), seorang PNS yang telah bersuami dari Banjar B Desa Keramas, dengan seniman MJ (60 tahun) yang berasal dari Desa B Sukawati. Kasus ini terjadi sekitar pada bulan Mei 2005 dan diselesaikan dalam Paruman Alit Prajuru Desa Pakraman, yang terdiri dari Bendesa Keramas, Kelihan Banjar, dan Perbekel. Paruman Alit yang dipimpin oleh Bendesa Keramas ini kemudian memutuskan bahwa Ni WL dan MJ dinyatakan terbukti bersalah (sisip) sehingga katiwakan pamidanda (dijatuhi sanksi) berupa: (1) hubungan perzinahan mereka dihentikan; (2) kedua pihak wajib melaksanakan prayascita desa dan prayascita raga[15].  Danda prayascita desa kemudian dilaksanakan oleh Ni WL pada bulan Juli 2005 pada catus pata (perempatan jalan) Desa Keramas. Perkara ini dapat dikwalifikasikan sebagai pelanggaran hukum campuran, karena disatu sisi merupakan pelanggaran terhadap Awig-awig Desa Pakraman Keramas (Pawos 64)[16] dan disisi lain juga melanggar hukum negara, yaitu Pasal 284 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang perzinahan[17]

Sengketa
               Disamping perkara-perkara yang berupa pelanggaran hukum, hakim perdamaian desa di Desa Keramas juga menangani perkara yang berupa sengketa. Sengketa dapat terjadi karena adanya konflik antara dua atau lebih pihak akibat perbedaan nilai-nilai, perbedaan pendapat ataupun perbedaan kepentingan. Dua orang ahli antropolgi hukum yang terkenal, Nader dan Todd, seperti dikutip oleh T.O. Ihromi[18], mengidentifikasi adanya tiga fase dalam proses bersengketa (disputing process), yaitu tahap para-konflik, tahap konflik, dan tahap sengketa. Tahap pra-konflik atau tahap keluhan, mengacu lepada keadaan atau kondisi yang oleh seseorang atau satu kelompok dipersepsikan sebagai hal yang tidak adil dan alasan-alasan atau dasar-dasar adanya perasaan itu. Pelanggaran terhadap rasa keadilannya itu dapat bersifat nyata atau imajinasi saja, tergantung pada persepsi dari pihak yang merasakan ketidak adilan yang bersangkutan. Dalam hal ini, yang penting adalah pihak itu merasakan bahwa haknya dilanggar atau merasa diperlakukan dengan salah. Situasi keluhan ini mengandung statu potensi untuk meletus menjadi konflik atau justru mengendor. Perasaan diperlakukan tidak adil dapat lebih memuncak dikarenakan oleh suatu konfrontasi, atau eskalasi justru terelakkan karena secara sengaja kontak dengan lawan dihindari atau karena pihak kedua tidak memberikan reaksi terhadap tantangan yang diajukan. Itu sebabnya tahapan ini disebut mempunyai ciri yang monadik (satu pihak). Bila pihak yang merasa haknya dilanggar memilih jalan konfrontasi, melemparkan tuduhan kepada pihak pelanggar haknya, atau memberitahukan kepada pihak lawannya tentang keluhannya, maka keluhan tersebut telah memasuki tahap konflik. Kedua belah pihak sadar mengenai adanya suatu perselisihan pendapat diantara mereka. Tahap ini mempunyai ciri diadik (dua orang berhadapan). Akhirnya tahap sengketa dapat terjadi karena konflik mengalami eskalasi berhubung sebab adanya konflik itu dikemukakan secara umum, orang yang semula mempunyai keluhan telah meningkatkan perselisihan pendapat yang semula dari perdebatan diadik menjadi hal yang masuk bidang publik. Ini dilakukan dengan sengaja dan aktif dengan maksud supaya ada sesuatu tindakan mengenai tuntutan yang diinginkannya. Dengan begitu, sengketa paling tidak melibatkan tiga pihak atau mempunyai ciri triadik, dan sesuatu pihak ketiga menjadi terlibat atas inisiatif sendiri atau atas prakarsa salah satu atau kedua pihak. Diakui oleh Nader dan Todd, ketiga tahap tadi tidak selalu rapi terjadi secara berurutan. Bisa saja seseorang yang merasa terhina langsung mengajukan perkaranya kepada pihak ketiga (pengadilan) tanpa mengkomunikasikan kepada pihak yang dianggap merugikannya (jadi tahap konflik tidak terjadi) atau tiba-tiba saja salah satu pihak menundurkan diri, atau tahap-tahap itu bisa saja terjadi melompat-lompat.
               Kalau dilihat dari obyek sengketa, tampak juga bahwa sengketa yang terjadi di Desa Keramas cukup beragam. Keragaman obyek yang menjadi sumber sengketa yang terjadi di Desa Keramas dapat dikwalifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu sengketa yang berlatar belakang masalah adat dan sengketa yang berlatar belakang masalah non adat. Sengketa yang berlatar belakang masalah adat inilah yang dapat dikwalifikasikan sebagai sengketa adat dan agama yang dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 dikatakan menjadi kewenangan desa pakraman (prajuru desa pakraman) untuk menyelesaikannya. Tidak ada penjelasan otentik terhadap istilah ”sengketa adat” dalam Peraturan Daerah tersebut sehingga ketentuan tersebut tampaknya masih merupakan norma kabur yang masih memerlukan penafsiran hukum lebih lanjut. Apabila digunakan penafsiran gramatikal[19], maka istilah ”adat” dapat mempunyai makna yang luas, karena meliputi aturan atau perbuatan yang lazim dituruti sejak dulu kala, meliputi cara (kelakuan) yang sudah menjadi kebiasaan, ataupun meliputi wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai  budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi satu sistem[20]. Untuk mengatasi kegamangan yang terjadi mengenai batasan pengertian sengketa adat itu, walaupun belum begitu memuaskan, untuk sementara dapat dirujuk pandangan I Ketut Wirta Griadhi yang menyebutkan bahwa ciri sengketa adat ini adalah adanya satu obyek sengketa yang menyangkut kepentingan adat, terutama yang berhubungan dengan kehidupan kelompok, baik itu dalam bentuk banjar maupun desa pakraman[21].
               Dilihat dari para pihak yang bersengketa, Valerine J.L. Kriekhoff menyatakan bahwa sengketa dapat timbul diantara:
a.       Individu melawan individu dari kelompok sama atau dari kelompok yang berbeda;
b.      Kelompok melawan kelompok, yaitu sengketa antar sub-sub kelompok yang otonom dalam satu kelompok (intra group) atau antar kelompok besar yang otonom dalam masyarakat[22].
Di Desa Keramas, sengketa yang paling banyak terjadi dan dapat diselesaikan di tingkat desa oleh hakim perdamaian desa adalah sengketa antara individu melawan individu dari banjar yang sama. Disamping sengketa antara individu dari banjar yang sama, ditemukan juga sengketa antara individu dengan individu dari banjar yang berbeda tetapi masih berasal dari desa yang sama, seperti misalnya sengketa yang terjadi bulan April 2006 antara I KC (60 tahun) dari Banjar Lodpeken Desa Keramas melawan I NR (40 tahun) dari Banjar G Desa Keramas. Bahkan tercatat pula adanya sengketa antara individu dari Desa Keramas melawan individu dari desa lain yang  ditangani di Keramas pada bulan Juni 2006 yaitu sengketa antara I MP dari Banjar P Desa Keramas, melawan Ni MW dari Banjar TP Desa Pering. Dalam dua tahun terakhir (2005-2006) di Desa Keramas ditemukan satu sengketa individu melawan kelompok dan satu sengketa kelompok melawan kelompok. Sengketa inividu melawan kelompok yang terjadi adalah sengketa antara  tetapi individu melawan kelompok sekeha Pura Panti tetapi individu tersebut bukan anggota kelompok sekeha tersebut, yaitu sengketa antara I GNT (67 tahun) dari Banjar M melawan Sekeha Pura Panti keluarga besar Wayan K di Banjar G. Sengketa antara kelompok melawan kelompok yang sempat ditangani oleh kelembagaan desa di Keramas adalah sengekata antara sub kelompok melawan sub kelompok dalam lingkungan Desa Pakraman Keramas, yaitu antara kelompok Pemaksan Dalem Geria melawan kelompok Pemaksan Dalem Agung. Sengketa berobyek pura yang sudah ditangani oleh Bendesa Keramas sejak tahun 2002 ini hingga tahun 2006 –ketika penelitian ini dilakukan (September-Novenmber 2006) belum dapat diselesaikan secara tuntas.
               Dilihat dari permasalahan yang menjadi obyek sengketa, sengketa yang paling banyak ditangani oleh kelembagaan yang melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa di Keramas adalah sengketa yang menyangkut tanah pekarangan desa, seperti batas-batas pekarangan, batas-batas bangunan keluarga dalam satu pekarangan, bangunan atau tanaman yang nyayubin bangunan tetangga, pembuangan limbah rumah tangga yang merugikan pihak lain, dan sebagainya. Banyaknya kasus-kasus sengketa yang berkaitan dengan pekarangan ini disebabkan padatnya rata-rata hunian  dalam satu pekarangan desa yang mencapai antara 3-4 kepala keluarga, bahkan ada yang mencapai 10 kepala keluarga. Di luar sengketa pekarangan, sengketa yang pernah terjadi dalam dua tahun terakhir ini (2005-2006) adalah perceraian, pengangkatan anak, waris, tukar menukar tanah, utang piutang, sengketa pura, dan lain-lain.
               Sengketa yang terjadi di Desa Keramas umumnya diupayakan diselesaikan di tingkat banjar oleh Kelihan Banjar. Hanya sengketa yang tidak bisa diselesaikan di tingkat banjar yang dibawa ke tingkat desa. Dalam hal sengketa tersebut berlatar belakang masalah pribadi yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan masalah adat dan agama umumnya di bawa oleh Kelihan Banjar kepada Perbekel untuk memperoleh penyelesaian. Itulah yang terjadi dalam kasus utang piutang antara I MP (56 tahun), pedagang dari Banjar Palak Desa Keramas, dengan Ni MW pedagang dari Banjar TP Desa Pering. Kasus yang dilihat dari subyeknya ini merupakan sengketa individu melawan individu ini dilatar belakangi oleh bisnis beras yang dilakukan oleh para pihak sejak tahun 2005.  Intinya, I MP berutang 4.000 kg beras dari Ni MW yang kemudian memperkarakannya dihadapan Kelihan Banjar P pada awal Juni 2006. Dengan alasan para pihak berlainan banjar, bahkan berlainan desa, Kelihan Banjar P tidak mau menyelesaikan perkara ini sendirian, melainkan membawa masalah ini kepada Perbekel Keramas. Akhirnya, perkara ini berhasil diselesaikan secara perdamaian dituangkan dalam surat pernyataan perdamaian tertanggal 7 Juni 2006 yang ditandatangai oleh para pihak yang bersengketa dan Perbekel Keramas dan Kelihan Banjar P sebagai saksi.
               Di pihak lain, kasus-kasus sengketa yang jelas berlatar belakang adat dan agama diusahakan diselesaikan melalui kelembagaan adat. Tetapi apabila kasus tersebut tidak bisa diselesaikan pada tingkat prajuru adat, ternyata Perbekel juga diikut sertakan dalam proses penyelesaian. Contoh sengketa adat yang cukup berat tetapi berhasil diselesaikan ditingkat desa pakraman tanpa campur tangan Perbekel antara lain adalah kasus sengketa pembagian warisan yang dilatar belakangi kasus pengangkatan anak yang belum sah. Kasus individu melawan individu ini terjadi di Banjar Bia tahun 2005 antara I NS (35 tahun) disatu pihak dengan WS (32 tahun) dan MS (30 tahun). Tiga laki-laki bersaudara kandung ini adalah anak kandung dari pasangan KS (purusa) dan Ni R (pradana). I KS sendiri mempunyai seorang kakak laki-laki bernama NT (68 tahun) yang beristrikan I T (almarhum). Sudah sejak lama (tidak jelas angka tahunnya) I NS diajak oleh keluarga I NT, diasuh dan dididik seperti anak sendiri. Keberadaan I NS dalam keluarga NT sudah dianggap sebagai anak angkat walaupun belum pernah diadakan upacara pengangkatan anak secara sah menurut agama (meperas) melainkan hanya diangkat berdasarkan kesepakatan belaka (idih munyi) antara I NT dan I KS. Karena merasa sudah tua dan sakit-sakitan, tahun 2004 I NT menyampaikan keinginannya kepada I KS untuk mengadakan upacara pengesahan pengangkatan anak (meperas) terhadap I NS, tetapi pada waktu itu I KS tidak menanggapinya, bahkan I KS menunjukkan sikap tidak setuju terhadap rencana tersebut karena menganggap tindakan NT pilih kasih terhadap anak-anaknya. Karena tidak ada tanggapan dari I KS, upacara meperas itu akhirnya tak pernah terjadi, sampai kasus ini menjadi sengketa pada awal tahun 2006 ketika tiga orang bersaudara ini ingin membagi waris. Dalam proses pembagian warisan itu, I NS bersikeras untuk memperoleh semua bagian warisan yang seharusnya diperoleh I NT karena ia merasa sebagai anak angkatnya. Dua saudaranya yang lain berpendapat sebaliknya, menginginkan keseluruhan harta warisan di bagi tiga secara merata karena menurut mereka I NS bukan anak angkat NT sehingga sesungguhnya NT tidak mempunyai ahli waris. Kasus ini mula-mula diperkarakan ditingkat banjar dengan fasilitasi Kelihan Banjar B sebagai mediator. Perkara ini ternyata tidak berhasil diselesaikan oleh Kelian Banjar B sehingga kemudian dibawa kepada Bendesa Adat untuk penyelesaiannya. Bertempat di rumah Jero Bendesa, sengketa waris tiga bersaudara ini akhirnya dapat diselesaikan secara perdamaian yang dilakukan secara lisan.
               Sengketa berlatar belakang adat tidak semuanya berhasil diselesaikan oleh prajuru adat secara otonom. Dalam beberapa kasus, Perbekel dilibatkan dalam penyelesaiannya bahkan ada kasus sengketa yang berobyek tanah adat diselesaikan oleh Perbekel tanpa peran serta Bendesa Adat. Contohnya adalah kasus pembagian tanah pekarangan desa[23] yang terjadi di Banjar L. Kasus-kasus yang berkaitan dengan tanah pekarangan desa memang cukup banyak terjadi di Desa Keramas karena tingkat kepadatan penduduk yang menempati tanah karang desa cukup tinggi. Rata-rata secutak tanah pekarangan di Keramas ditempati oleh 3 - 4 kepala keluarga, bahkan ada yang sampai 10 kepala keluarga. Akibatnya banyak kasus yang muncul karena penduduk tinggal berhimpitan dalam satu tanah pekarangan yang sempit. Kasus yang sering terjadi misalnya adalah masalah pembangunan rumah oleh salah seorang penghuni yang ngalah-alah wates (melanggar batas), song sombah (aliran limbah rumah tangga) yang merugikan penghuni lain, tanggung jawab pemeliharaan bangunan-bangunan yang ada dilingkungan pekarangan seperti tembok penyengker, angkul-angkul, dan lain-lain. Umumnya kasus-kasus tersebut berhasil didamaikan oleh Kelihan Banjar di tingkat banjar, tatapi kasus pembagian pekarangan desa yang terjadi di Banjar Lebah ini akhirnya sampai kepada Perbekel Keramas karena tidak bisa diselesaikan oleh Kelihan Banjar Lebah. Kasus ini adalah sengketa pembagian ruang dalam lingkungan tanah pekarangan, antara tiga orang bersaudara yang masing-masing sudah berumah tangga dan tinggal dalam satu pekarangan (tanah pekarangan desa). Mereka adalah I KP (46 tahun), I KN (40 tahun), dan I WA. Sengketa ini sebenarnya sudah lama di dengar oleh Kelihan Banjar L, tetapi karena tidak ada pesadok (laporan) dari para pihak maka Kelihan Banjar L mendiamkannya saja, tanpa mengambil tindakan apa-apa. Sekitar bulan Maret 2006, terjadi keributan antara mereka bertiga dan saling melapor kepada Kelihan Banjar. Akhirnya dengan perantaraan Kelian Banjar mereka sepakat menyelesaikan sengketa mereka secara baik-baik. Kesepakatan mengenai bagian dan tanggung jawab masing-masing sebenarnya sudah berhasil dicapai ditingkat Kelihan Banjar, tetapi karena mereka menginginkan dibuatkan surat perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum yang lebih pasti sekaligus dengan gambar denah bagian masing-masing, akhirnya Kelihan Banjar Lebah membawa kasus ini kepada Perbekel untuk dibuatkan surat perjanjian. Surat perjanjian tersebut kemudian ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa dan ditandatangani oleh Perbekel Keramas dan Kelihan Banjar Lebah sebagai saksi.
        Contoh kasus di atas menunjukkan keterlibatan Perbekel dalam penyelesaian kasus sengketa di Keramas cukup menonjol, tanpa dibatasi pada kwalifikasi obyek sngketa. Perbekel sering terlibat atau dilibatkan dalam penyelesaian kasus-kasus sengketa non adat, sengketa yang tidak jelas kwalifikasinya apakah sengketa adat atau non adat,  bahkan kasus sengketa yang jelas latar belakangnya adalah masalah-masalah yang semestinya tunduk kepada hukum adat, seperti perceraian dan waris. Contoh kasus sengketa yang tidak jelas kwalifikasinya apakah termasuk kasus adat murni , campuran ataukah non adat yang ditangani oleh Perbekel Keramas tanpa melibatkan Bendesa adalah kasus sengketa tukar menukar tanah sawah antara I GNT (67 tahun), petani dari Banjar Maspait dengan Sekeha Pura Panti di Banjar Gelgel Desa Keramas yang diwakili oleh Drs. I WK, seorang pegawai negeri sipil dari Banjar G. Sengketa antara individu melawan kelompok sekeha pura ini dilatar belakangi oleh perjanjian tukar menukar tanah yang sudah lama terjadi, yaitu sekitar tahun 1966 antara I GKS (almarhum), orang tua I GNT dengan Seka Pura Panti di Banjar Gelgel. Duduk perkaranya adalah sebagai berikut. Pura Panti milik keluarga besar WK  mempunyai dua cutak tanah sawah berupa laba pura[24] yang terletak di Subak Amping dengan luas sekitar 60 are dan di Subak Abang sekitar 40 are.  Dilain pihak I GKS juga mempunyai  dua cutak tanah sawah  di Subak Abang masing-masing dengan luas 30 are dan 40 are. Letak ke dua cutak tanah sawah milik I GKS tersebut mengapit tanah sawah milik Pura Panti keluarga WK.  Sekitar tahun 1966 –setelah Gestok[25],  terjadi tukar garap antara I GKS dengan Mangku Pura Panti dan sekitar tahun 1970-an tukar garapan tersebut disepakati menjadi tukar menukar tanah secara tetap. Tukar menukar tanah antara Seka Panti dengan I GKS tersebut dilakukan secara lisan berdasarkan kepercayaan sehingga tidak diperlukan bukti-bukti tertulis. Isi kesepakatan adalah, tanah seluas 60 are di Subak Amping menjadi milik I GKS sedangkan dua cutak sawah masing-masing dengan luas 40 are dan 30 are di Subak Abang menjadi milik Pura Panti. Selisih luas sekitar 10 are tidak dipersoalkan oleh I GKS karena hasil sawah di subak Amping lebih bagus dan penggarapannya lebih praktis karena hamparan sawah di Subak Amping dalam satu areal, tidak terpisah seperti kondisi tanah sawah di Subak Abang. Sejak tahun 1985 terjadi perubahan yang drastis terhadap nilai tanah sawah yang terletak di Subak Amping karena sudah dibangun jalan, harga tanah menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga tanah di Subak Abang. Sejak itu, Seka Pura Panti menginginkan tukar menukar tanah yang sudah terjadi supaya dibatalkan dan mulailah terjadi sengketa antara Seka Pura Panti dengan I GNT ahli waris almarhun I GKS. Untuk menyelesaikan sengketa itu beberapa kali telah dilakukan perundingan antara para pihak tetapi masing-masing pihak tetap bersikukuh dengan pendirian masing-masing. Pada tahun 2005, Seka Pura Panti mendaftarkan tanah sawah di Subak Amping ke Kantor Badan Pertanahan Gianyar dengan tujuan untuk memperoleh sertifikat atas nama Pura Panti, tetapi ketika dilakukan pengukuran dihalangi oleh I GNT, yang selanjutnya melaporkan kasus tersebut kepada Kelihan Banjar M. Karena kasus ini cukup berat yang melibatkan individu krama banjar M dengan kelompok Seka Panti dari banjar lain, akhirnya Kelihan Banjar Maspait membawa masalah ini kepada Perbekel Keramas agar diselesaikan di tingkat Desa. Setelah beberapa kali diadakan ”sidang” di Kantor Perbekel yang melibatkan para pihak, Kelihan masing-masing Banjar (Maspait dan Gelgel) akhirnya pada 8 Juni 2006 perkara ini berhasil diselesaikan secara perdamaian. Kasus tukar menukar tanah di atas cukup sulit dikwalifikasikan apakah termasuk sengketa perdata murni ataukah sengketa adat, karena subyek sengketa menyangkut pribadi melawan kelompok sekeha, dan obyeknya menyangkut tanah milik pribadi dan tanah milik adat (laba pura). Pengajuan sengketa ini kepada lembaga dinas (Perbekel) dan penyelesaiannya tanpa melibatkan kelembagaan adat (Bendesa) menunjukkan bahwa menurut penilaian Kelihan Banjar dan Perbekel, sengketa ini adalah sengketa perdata biasa (non adat).  
               Keseluruhan uraian mengenai penyelesaian sengketa di atas sekaligus menunjukkan beragamnya kasus-kasus sengketa yang ditangani oleh hakim perdamaian desa di Desa Keramas, mulai dari perkara-perkara ringan yang dapat diselesaikan pada tingkat banjar sampai sengketa-sengketa yang cukup berat yang memerlukan penyelesaian ditingkat desa. Seperti yang terjadi pada penanganan perkara yang berupa pelanggaran hukum, peranan Kelihan Banjar dalam penyelesaian sengketa sangat menonjol karena Kelihan Banjarlah instansi pertama tempat para pihak yang bersengketa menyelesaikan masalahnya. Hanya perkara-perkara yang tidak bisa diselesaikan di tingkat banjar yang diajukan ke tingkat desa. Kalau dilihat dari aspek dualisme pemerintahan desa, peranan Perbekel tampak lebih menonjol dibandingkan dengan peranan Bendesa karena peranan Bendesa dibatasi pada sengketa-sengketa adat sedangkan Perbekel dapat menangani semua perkara yang terjadi di Desa Keramas tanpa dibatasi pada obyek perkara tertentu saja.


[1] Lihat: I Wayan Koti Çantika, 2005, “Upaya Pemulihan Keseimbangan (Sanksi Adat) dalam Desa Pakraman”, makalah dalam Seminar Membangun Kepercayaan Terhadap Masyarakat, Fakultas Hukum Unud., Denpasar, hal. 8.
[2] R. Soepomo II, op.cit., hal. 110.
[3] I Ketut Sudantra dan Ayu Putu Nantri, op.cit., hal 31.
[4] Hilman Hadikusuma, 1978, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, hal 20.
[5]Bushar Muhammad, 2000, Pokok-pokok Hukum Adat, Cetakan ketujuh, Pradnya Paramita, Jakarta, hal 61.

                [6] B Ter Haar I, op.cit,  hal. 226.

                [7] R. Soepomo II, op.cit.,  hal. 110.

                [8] I Made Widnyana, op.cit., hal. 5.

                [9] Hilman Hadikusuma, op.cit., hal..20

                [10] Mengenai konsepsi Tri Hita Karana telah dijelaskan dalam Bab II tesis ini.
[11] I Made Widnyana, op. cit., hal. 10.
[12] Kasus-kasus mmengenai pelanggaran terhadap tetegenan krama, yang berupa tidak hadir dalam melakukan pekerjaan bersama, sangkep dan lain-lain, dianggap sebagai pelanggaran ringan dan tidak dicatat secara khusus dalam notulen sangkep. Intensitas kasus demikian dapat dilihat dalam cacakan krama (buku absensi) yang dipegang oleh kelihan.
[13] Arta danda adalah sanksi dalam wujud materi, berupa uang atau benda yang mempunyai nilai ekonomi,seperti beras atau benda lainnya. Lihat: Wayan P. Windia , 2004,  Danda Pecamil Catatan Populer Istilah Hukum Adat Bali. Upada Sastra, Denpasar, hal. 29.
[14] Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian penganiayan, tetapi menurut yurisprudensi pengertian penganiayan adalah sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Lihat R Soesilo, 1990, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, hal 244-245.
[15] Prayascita desa (mengembalikan kesucian desa) dan prayascita raga (mengembalikan kesucian diri) adalah bentuk pamidanda (sanksi adat) yang dapat dikwalifikasikan sebagai panyangaskara danda yang disebutkan dalam Pawos 85 Awig-awig Desa Pakraman Keramas. Panyangaskara atau sangaskara danda adalah sanksi adat berupa melaksanakan upacara tertentu dengan tujuan untuk mengembalikan keseimbangan batin, dikenakan kepada warga yang melakukan perbuatan yang menyebabkan leteh (keadaan tidak suci secara gaib). Lihat Wayan P. Windia I, op.cit., hal. 30.
[16] Pawos 64 Awig-awig Desa Pakraman Keramas menegaskan bahwa “Yening wenten pasadok sane medasar antuk saksi lan bukti wenten wong salah kerama, gamia gamana, drati krama, mamitra, mamarikosa, patut kasisipang lan tan katutugang tur katiwakin pamidanda manut pararem, saha mrayascita desa...”. Berdasarkan pararem desa yang dibuat tahun 1994, sanksi bagi yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut di atas ditambah dengan danda mrayascita raga.
[17] Pasal 284 ayat (1) menyatakan bahwa “Dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan: a. laki-laki yang bersuami, berbuat zina...;b. Perempuan bersuami, berbuat zina” Lihat R. Soesilo, op.cit. hal. 208.
[18] T.O. Ihromi, 1993, “Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa Yang Digunakan dalam Antropologi Hukum”, dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 209-210.
[19] Penafsiran gramatikal adalah cara menafsirkan undang-undang menurut arti perkataan (istilah). Lihat: Yuda Bhakti Ardhiwisastra, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung,  hal. 9.
[20] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, hal. 7.
[21]. Lihat I Ketut Wirta Griadhi, 1990, “Beberapa Catatan tentang Sengketa Adat di Bali, Kertha Patrika, Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana, No. 50 Tahun XVI. Maret 1990, hal 26.
[22] Valerine J.L. Kriekkhoff, 1993, ”Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum)”, dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal.225.
[23] Mengenai kwalifikasi tanah pekarangan desa (PKD) lihat M. Suasthawa D, 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah Berlakunya UUPA, CV Kayumas Agung, Denpasar, hal. 41.
[24] Tanah laba pura adalah tanah adat milik (duwe) pura, umumnya berupa tanah pertanian (tegalan atau sawah) yang dimanfaatkan untuk kepentingan pura. Lihat I Ketut Sudantra, 1992, “Status Hak Atas Tanah Pura Setelah Berlakunya SK. Mendagri Nomor SK. 556/DJA/1986, Kertha Patrika, Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana, No.61 Tahun XVIII Desember 1992, hal.42 (Selanjutnya bdisebut I Ketut Sudantra IV).
[25] Gestok adalah istilah lain yang digunakan untuk menyebut peristiwa berdarah tahun 1965 yang dikenal dengan sebutan G 30 S/PKI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar