Perkara-Perkara Yang Ditangani
Hakim Perdamaian Desa
(Cuplikan Tesis I Ketut Sudantra, 2007, "Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi Dualisme
Pemerintahan Desa di Bali”, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, hlm.
121-144)
DARI hasil penelitian
di Desa Keramas dapat diketahui bahwa perkara-perkara yang ditangani ditingkat
desa oleh kelembnagaan yang melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa,
yaitu Kelihan Banjar, Bendesa, dan Perbekel (selanjutnya disebut: hakim
perdamaian desa) cukup beragam, mulai perkara-perkara yang ringan sampai
perkara-perkara yang tergolong berat. Secara umum, perkara-perkara atau wicara yang terjadi dalam masyarakat di
desa dapat dikwalifikasikan dalam dua
bentuk, yaitu: pertama, yang perkara berupa pelanggaran hukum; dan
kedua, perkara yang berupa sengketa. Dalam dua wilayah wicara tersebut masih dapat dibedakan antara wicara yang berlatar
belakang adat dan agama (adat murni), wicara
non-adat, dan wicara campuran.
Penggolongan perkara (wicara) ini
mengacu pada pendapat I Wayan Koti Çantika yang membedakan perkara yang terjadi
dalam wilayah desa pakraman itu atas tiga golongan, yaitu a) perkara adat murni
adalah perkara-perkara yang semata-mata melanggar norma-norma adat dan agama;
(b) perkara-perkara yang tidak bersangkut paut dengan adat dan agama; (c)
perkara campuran, yaitu disamping melanggar nora-norma adat dan agama juga
melanggar norma-norma hukum lain (hukum negara) [1]. Walaupun Soepomo menyatakan bahwa dalam
hukum adat tidak ada pemisahan antara pelanggaran-pelanggaran di bidang hukum
pidana dan dan pelanggaran-pelanggaran di bidang hukum perdata[2], tetapi untuk
kepentingan pembahasan selanjutnya akan dibedakan antara pelanggaran hukum
dengan sengketa mengingat di dalam awig-awig desa pakraman pada umumnya
terdapat pemilahan antara penyelesaian wicara
yang disebabkan oleh pelanggaran hukum dan wicara
yang disebabkan oleh sengketa[3].
Pelanggaran hukum
Pelanggaran hukum yang
terjadi dapat berupa pelanggaran terhadap hukum adat (awig-awig, pararem, kebiasaan-kebiasaan, dresta) maupun
pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum negara. Pelanggaran terhadap norma-norma
hukum adat secara teoritis dapat disebut sebagai pelanggaran adat atau yang
oleh sarjana-sarjana hukum adat seperti R. Soepomo, Hilman Hadikusuma[4], Bushhar Muhamad[5], dan sarjana-sarjana lain
disebut sebagai delik adat. Mengenai delik adat ini, B. Ter Haar menulis sebagai berikut:
di
masyarakat-masyarakat hukum kecil rupa-rupanya yang dianggap suatu pelanggaran
(delict) ialah setiap gangguan segi
satu (eenzijdig) terhadap
keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupan
materiil dan imatereel orang seorang, atau dari pada orang-orang banyak yang
merupakan satu kesatuan (segerombolan); tindakan itu menimbulkan suatu reaksi
–yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat – ialah reaksi
adat (adatreactie), karena reaksi
mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan jalan
pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang)[6]
Menurut
R. Soepomo, dalam sistem hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal dan hukum adat mengenal pula
ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum, jika hukum itu diperkosa[7]. Senada dengan
uraian Ter Haar dan Soepomo di atas,
Bushar Muhamad, seperti dikutip oleh I Made Widnyana[8], memberikan difinisi tentang delik adat
sebagai perbuatan sepihak dari seseorang atau kumpulan perseorangan, mengancam
atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dan kehidupan persekutuan
bersifat material atau imaterial, terhadap orang seorang atau terhadap
masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian akan
mengakibatkan suatu reaksi adat.
Pengertian
delik adat di atas menekankan kepada adanya perbuatan sepihak dari orang
perseorangan atau kelompok yang menimbulkan gangguan kesimbangan dan kehidupan
dalam masyarakat, baik material maupun imaterial. Agak berbeda dengan
pengertian para sarjana di atas, Hilman Hadikusuma melihat “kejadian” dapat juga menimbulkan
delik adat, disamping perbuatan orang perorangan atau kelompok. Dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana
Adat, Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa yang dimaksud delik adat itu adalah
semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kepatutan, kerukunan,
ketertiban, keamanan, rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat bersangkutan[9].
Satu
hal yang penting dicatat dari rumusan-rumusan di atas adalah adanya unsur
terganggunya keseimbangan dalam kehidupan masyarakat sebagai unsur delik. Dalam
masyarakat Bali keseimbangan yang senantiasa dipelihara adalah keseimbangan
atau suasana harmonis antara unsur-unsur Tri
Hita Karana[10], yaitu:
kesimbangan hubungan manusia dengan sesamanya (pawongan), keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam
lingkungannya (palemahan), dan
keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan Sang Maha Pencipta (parhyangan). Demikianlah pola hubungan
yang dikehendaki mengenai hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan menurut alam
pikiran masyarakat Bali. Semua itu ditujukan agar dapat dicapainya tujuan
bersama, yaitu kesejahteraan lahir bathin (sukerta
sekala-niskala). Dengan demikian, dalam konsep hukum adat Bali, pelanggaran adat menyangkut setiap gangguan keseimbangan
hubungan antara unsur-unsur tri hita
karama di atas.
Mengenai
jenis-jenis delik adat yang masih hidup dalam hukum adat Bali, I Made Widnyana
mengklasifikasikan jenis-jenisnya sebagai berikut:
a. Delik adat yang menyangkut kesususilaan, contohnya:
lokika sangraha (persetubuhan atas
dasar cinta antara laki-laki dan perempuan yang sama-sama masih bujang), drati krama (berzina), , gamia gamana (hubungan seksual
antara orang-orang yang berhubungan darah sangat dekat); dan salah krama
(berhubungan kelamin dengan binatang)
b. Delik adat yang menyangkut harta benda, contohnya:
pencurian, pencurian benda suci, merusak benda-benda suci, dan lain-lain;
c. Delik adat yang
melanggar kepentingan pribadi, seperti mamisuh
(mencaci), mapisuna (memfitnah), dan
lain-lain
d. Delik adat
karena kelalaian atau tidak menjalankan kewajiban, seperti: tidak melaksanakan
kewajiban sebagai kerama desa, yang berupa ayahan
(kewajiban melakukan pekerjaan untuk desa)
ataupun papeson (urunan berupa
barang ataupun barang)[11]
Di dalam Awig-awig Desa Pakraman Keramas,
beberapa bentuk-pelanggaran adat
ditemukan secara ekplisit maupun implisit sebagai sesuatu yang tidak dibenarkan
atau tidak dibolehkan (tan kapatutang,
tan wenang, tan kalugra) atau pun pelanggaran terhadap perintah (kepatutang). Bentuk-bentuk
pelanggaran adat tersebut tersebar dalam
pawos-pawos pada setiap bab dalam awig-awig, yaitu bab (sarga) mengenai sukerta tata
pakraman/pawongan, palemahan, dan
parhyangan. Dalam Awig-awig Desa Pakraman Keramas yang terdiri atas 8 bab
88 pawos (pasal) beserta pararem-pararem
(keputusan-keputusan sangkepan) yang
melengkapinya dapat diidentifikasi bentuk-bentuk pelanggaran adat sebagai berikut:
1)
Krama nenten
nyarengin mekarya (krama tidak
mengikuti kewajiban melakukan pekerjaan);
2)
Krama nenten
nyarengin sangkep/samua (krama tidak mengikuti rapat);
3)
Ngewetuang swara gora utawi byuta ring
paruman (menimbulkan suara
ribut atau rusuh dalam rapat)
4)
Nepak kulkul tan sangkaning pituduh prajuru (memukul kentongan milik desa tanpa
perintah prajuru) ;
5)
Linyok ring swadharman prajuru (prajuru tidak melaksanakan tugas);
6)
Ngangonan wewalungan ring palemahan sane
kasusciang, margi palemahan desa, carik miwah tegal sane medaging tetanduran,
pekarangan krama tiosan sedereng kalugra antuk sang madruwe karang , setra (menggembalakan ternak pada tempat-tempat
yang disucikan, jalan diwilayah desa, sawah dan tegalan yang berisi tanaman dan
halaman milik orang lain tanpa ijin, dan dikuburan milik desa)
7)
Mamisuh atawi nguman-uman krama tiyos (mencaci orang lain);
8)
Memaling (mencuri), mapailon ring
dusta (membela, menyembunyikan penjahat);
9)
Ngewangun nyayubin pisaga (membangun nyayubin tetangga)
10)
Ngelalah wates tanah
karang, pelaba pura, margi, tegal
miwah carik druwen krama tiyosan utawi druwern desa (merubah batas-batas
tanah perumahan, tanah milik pura, jalan, tanah milik tetangga atau milik
desa); ngelalah tegak kahyangan, setra miwah tiyosan (merubah
batas tanah bangunan pura, kuburan, dan lain-lain);
11)
Ngembahang toyo mawit kandang wewalungan,
kakus, pasiraman, pewaregan, ka paumahan krama tiyosanweiyadin ka margine, ka
kahyangan, lan ka genahe siosan sane mapuara wawidangane kaon (mengalirkan air dari kandang, WC/kamar
mandi, dapur, ke halaman tetangga, ke jalan, kea real pura, atau ketempat lain yang menyebabkan rusaknya
lingkungan)
12)
Ngentungang wangken miwah bacin wewalungan,
luhu, tur sakaluwire ka pakarangan krama tiyosan, ka tukade, ka margine,
kagenahe sane suciang, lan gena siosan mapuara wawidangane kaon (membuang bangkai dan kotoran khewan,
sampah, dan lain-lain ke halanman orang lain, ke sungai, ke jalan, ke tempat yang
disucikan, dan tempat lain yang menyebabkan rusaknya lingkungan)
13)
Ngemademang wewalungan,paksi miwah mina sane
mapuara wawidangane kaon
(membunuh binatang, burung dan ikan yang menyebabkan rusaknya lingkungan);
14)
Ngeranjing ke pura rikala kacuntakan; makta
sahanan barang sane ngeletehin
(memasuki arela pura dalam keadaan tidak suci, membawa barang yang menyebabkan
kesucian terganggu);
15)
Melakukan
perbuatan terlarang di areal pura seperti:
masumpah tan sangkaning pituduh prajuru (bersumpah tanpa perintah prajuru),
masanggama (bersetubuh), munggah-tedun palinggih tan sangkaning
pituduh prajuru (naik turun bangunan pura tanpa perintah prajuru), mojar ala, memisuh, majajal, mayuda, napi
malih mapuwara ngawetuang rah utawi padem (berkata-kata kasar, mencaci, bertengkar,
berkelahi, apalagi sampai menyebabkan keluar darah atau menyebabkan mati), menehin busana, papusungan (memperbaiki
pakaian, gelungan rambut);
16)
Mendem sawa ring karang paumahan, tegalan,
carik sane nenten kasinanggeh setra
(mengubur jenazah di pekarangan, tegalan, sawah yang bukan kuburan);
17)
Salah krama atau salah
timpal (bersetubuh dengan binatang);
18)
Gamia gamana (mengadakan
hubungan seksual dengan orang yang berhubungan darah sangat dekat)
19)
Drati krama,
mamitra, marikosa (berzinah, memperkosa);
20)
Tan tinut ring
daging awig (melanggar atau tidak mengikuti isi awig-awig)
Di luar
pelanggaran-pelanggaran adat yang dimaksudkan di atas, dalam wailayah Desa
sangat mungkin saja terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum negara yang sama
sekali tidak berhubungan dengan aspek adat dan agama, yang dapat disebut
pelanggaran hukum non adat, seperti pelanggaran peraturan tentang judi,
lalu-lintas, pajak, pemilihan umum,
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan lain-lain. Tidak juga dapat dihindari
terjadinya perkara-perkara yang berupa pelanggaran hukum yang merupakan
persentuhan antara pelanggaran adat dan pelanggaran hukum negara, disatu sisi
perkara tersebut merupakan pelanggaran terhadap norma hukum negara dan disisi
lain juga merupakan pelanggaran terhadap norma hukum adat. Seperti misalnya
perzinahan. Disatu sisi perbuatan tersebut dilarang oleh hukum adat (memitra) disisi lain perbuatan tersebut
juga dilarang oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Contoh-contoh lain adalah
pencurian benda-benda suci, penganiayaan di areal pura, dan lain-lain. Masih
banyak lagi contoh bentuk-bentuk pelanggaran hukum yang dapat dikatagorikan
sebagai pelanggaran hukum campuran, yaitu campuran antara pelanggaran
norma-norma hukum adat dan norma non adat.
Berdasarkan
hasil penelitian lapangan, ke tiga bentuk pelanggaran hukum tersebut ditemukan
di Desa Keramas dan ditangani oleh hakim perdamaian desa. Pelanggaran hukum
yang paling banyak ditemukan adalah pelanggaran hukum adat murni, khususnya
yang menyangkut kelalaian terhadap tetegenan
(kewajiban) krama berupa tidak
mengikuti kegiatan ngayah mekarya
atau pun tidak hadir dalam sangkep
banjar/desa. Tetegenan krama yaitu kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan
oleh krama sesuai kedudukannya diatur dalam Pawos 9 Awig-awig Desa Pakraman
Keramas, yaitu kerama desa wajib dikenakan ayahan
dan mengeluarkan iuran (peturunan/papeson)
disesuikan dengan kedudukannya dalam pakraman, yaitu sebagai krama ngarep, krama padunungan, krama balu,
dan sebaginya. Kasus yang terjadi berkaitan dengan tetegenan krama ini umumnya berupa kerama tidak hadir tanpa alasan
atau tanpa pemberitahuan (tan pasadok)
tatkala dilakukan patedunan krama untuk melakukan suatu pekerjaan
bersama (tan nyarengin mekarya)
ataupun sangkep (rapat banjar/desa).
Pelanggaran terhadap tetegenan krama
ini disebut nosa yang diancam pamidanda (sanksi) berupa dadosan, yang dalam Pararem Awig-awig
Keramas Pawos 11 kaping 3 e disebutkan sebagai berikut: ”Tan nyarengin sangkep, samua, makarya, lan selantur ipun kakenenin
dadosan mapangarga beras ½ kg.” Kasus-kasus
yang berkaitan dengan tetegenan krama
ini ini paling banyak[12] terjadi di Desa Keramas
dan bahkan dapat dikatakan terjadi secara rutin, sehingga krama maupun prajuru
merasakan hal itu sebagai hal yang biasa dan bukan sebagai suatu perkara. Kasus-kasus
ini umumnya segera dapat diselesaikan oleh Kelian
Banjar pada saat sangkepan krama
banjar yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali, bertepatan dengan hari Umanis Galungan (sehari setelah hari
raya Galungan). Dalam paruman/sangkepan rutin ini Kelihan mengumumkan krama-krama yang nosa dan besaran dedosan masing-masing yang harus dibayar. Pada saat itulah pamidanda di jatuhkan, yaitu krama yang nosa diwajibkan membayar sejumlah uang
sebagai bentuk dedosan. Dengan
dibayarnya dedosan ini maka masalah
dianggap telah selesai (puput). Tetapi apabila dedosan tidak dibayar dalam tempo yang
sudah ditentukan, awig-awig Desa Pakraman Keramas menentukan pamidanda yang lebih berat lagi secara
berjenjang, yaitu katikelang (utangnya
dilipatgandakan) dan kerampang (hartanya
disita untuk melunasi utangnya kepada desa).
Dalam Hukum Adat Bali bentuk sanksi demikian dikwalifikasikan sebagai artha danda[13].
Bentuk pelanggaran hukum yang
dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran non-adat yang sempat ditangani oleh
hakim perdamaian desa di Desa Keramas adalah perkara penganiayaan dan
pengancaman yang dilakukan oleh IBPN (32 tahun) terhadap IBNM (50 tahun) di
Banjar M. Kasus ini terjadi pada awal Februari
2006. Karena kasus ini dianggap sebagai masalah kriminal yang tidak bisa
diselesaikan ditingkat banjar, Kelihan Banjar Maspait membawa masalah ini
kepada Perbekel untuk memperoleh penyelesaian. Walaupun kasus penganiayaan ini
adalah murni kriminal biasa yang diatur
dalam Pasal 351 KUHP[14] tetapi karena dilatar
belakangi oleh sengketa antara pelaku
dengan korban yang menyangkut tanah
pekarangan desa, Perbekel mengikutsertakan Bendesa Keramas dalam proses
penyelesaiannya agar penyelesaian dapat lebih tuntas kepada akar
permasalahannya. Di samping itu, karena masalah ini adalah masalah kriminal,
Perbekel juga mengikut sertakan petugas Bimas dari Kepolisian untuk didengar
pertimbangan-pertimbangannya terutama yang berkaitan dengan masalah
kriminalnya. Kasus ini akhirnya berhasil diselesaikan secara perdamaian yang
dituangkan dalam secarik surat pernyataan. Dalam surat pernyataan perdamaian
yang ditandatangani oleh para pihak, Perbekel dan Kelihan Banjar M sebagai saksi, IBPN berjanji tidak
akan melakukan penganiayaan dan pengancaman kepada IBNM dan jika perbuatan itu
diulangi maka ia bersedia dituntut secara hukum.
Contoh perkara pelanggaran hukum
campuran yang pernah ditangani oleh hakim perdamaian desa di Desa Keramas
adalah kasus memitra (perzinahan)
yang terjadi di Banjar Bia antara Ni WL
(48 tahun), seorang PNS yang telah bersuami dari Banjar B Desa Keramas, dengan
seniman MJ (60 tahun) yang berasal dari Desa B Sukawati. Kasus ini terjadi
sekitar pada bulan Mei 2005 dan diselesaikan dalam Paruman Alit Prajuru Desa Pakraman, yang terdiri dari Bendesa
Keramas, Kelihan Banjar, dan Perbekel. Paruman Alit yang dipimpin oleh Bendesa
Keramas ini kemudian memutuskan bahwa Ni WL dan MJ dinyatakan terbukti bersalah
(sisip) sehingga katiwakan pamidanda (dijatuhi sanksi) berupa: (1) hubungan
perzinahan mereka dihentikan; (2) kedua pihak wajib melaksanakan prayascita desa dan prayascita raga[15]. Danda
prayascita desa kemudian dilaksanakan oleh Ni WL pada bulan Juli 2005 pada catus pata (perempatan jalan) Desa
Keramas. Perkara ini dapat dikwalifikasikan sebagai pelanggaran hukum campuran,
karena disatu sisi merupakan pelanggaran terhadap Awig-awig Desa Pakraman
Keramas (Pawos 64)[16] dan disisi lain juga
melanggar hukum negara, yaitu Pasal 284 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
tentang perzinahan[17]
Sengketa
Disamping perkara-perkara yang
berupa pelanggaran hukum, hakim perdamaian desa di Desa Keramas juga menangani
perkara yang berupa sengketa. Sengketa dapat terjadi karena adanya konflik
antara dua atau lebih pihak akibat perbedaan nilai-nilai, perbedaan pendapat
ataupun perbedaan kepentingan. Dua orang ahli antropolgi hukum yang terkenal,
Nader dan Todd, seperti dikutip oleh T.O. Ihromi[18], mengidentifikasi
adanya tiga fase dalam proses bersengketa (disputing
process), yaitu tahap para-konflik, tahap konflik, dan tahap sengketa.
Tahap pra-konflik atau tahap keluhan, mengacu lepada keadaan atau kondisi yang
oleh seseorang atau satu kelompok dipersepsikan sebagai hal yang tidak adil dan
alasan-alasan atau dasar-dasar adanya perasaan itu. Pelanggaran terhadap rasa
keadilannya itu dapat bersifat nyata atau imajinasi saja, tergantung pada
persepsi dari pihak yang merasakan ketidak adilan yang bersangkutan. Dalam hal
ini, yang penting adalah pihak itu merasakan bahwa haknya dilanggar atau merasa
diperlakukan dengan salah. Situasi keluhan ini mengandung statu potensi untuk
meletus menjadi konflik atau justru mengendor. Perasaan diperlakukan tidak adil
dapat lebih memuncak dikarenakan oleh suatu konfrontasi, atau eskalasi justru
terelakkan karena secara sengaja kontak dengan lawan dihindari atau karena
pihak kedua tidak memberikan reaksi terhadap tantangan yang diajukan. Itu
sebabnya tahapan ini disebut mempunyai ciri yang monadik (satu pihak). Bila pihak yang merasa haknya dilanggar
memilih jalan konfrontasi, melemparkan tuduhan kepada pihak pelanggar haknya,
atau memberitahukan kepada pihak lawannya tentang keluhannya, maka keluhan
tersebut telah memasuki tahap konflik. Kedua belah pihak sadar mengenai adanya
suatu perselisihan pendapat diantara mereka. Tahap ini mempunyai ciri diadik (dua orang berhadapan). Akhirnya
tahap sengketa dapat terjadi karena konflik mengalami eskalasi berhubung sebab
adanya konflik itu dikemukakan secara umum, orang yang semula mempunyai keluhan
telah meningkatkan perselisihan pendapat yang semula dari perdebatan diadik menjadi hal yang masuk bidang
publik. Ini dilakukan dengan sengaja dan aktif dengan maksud supaya ada sesuatu
tindakan mengenai tuntutan yang diinginkannya. Dengan begitu, sengketa paling
tidak melibatkan tiga pihak atau mempunyai ciri triadik, dan sesuatu pihak ketiga menjadi terlibat atas inisiatif
sendiri atau atas prakarsa salah satu atau kedua pihak. Diakui oleh Nader dan
Todd, ketiga tahap tadi tidak selalu rapi terjadi secara berurutan. Bisa saja
seseorang yang merasa terhina langsung mengajukan perkaranya kepada pihak
ketiga (pengadilan) tanpa mengkomunikasikan kepada pihak yang dianggap
merugikannya (jadi tahap konflik tidak terjadi) atau tiba-tiba saja salah satu
pihak menundurkan diri, atau tahap-tahap itu bisa saja terjadi melompat-lompat.
Kalau dilihat dari obyek
sengketa, tampak juga bahwa sengketa yang terjadi di Desa Keramas cukup
beragam. Keragaman obyek yang menjadi sumber sengketa yang terjadi di Desa
Keramas dapat dikwalifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu sengketa yang
berlatar belakang masalah adat dan sengketa yang berlatar belakang masalah non
adat. Sengketa yang berlatar belakang masalah adat inilah yang dapat
dikwalifikasikan sebagai sengketa adat dan agama yang dalam Peraturan Daerah
Nomor 3 Tahun 2001 dikatakan menjadi kewenangan desa pakraman (prajuru desa pakraman) untuk
menyelesaikannya. Tidak ada penjelasan otentik terhadap istilah ”sengketa adat”
dalam Peraturan Daerah tersebut sehingga ketentuan tersebut tampaknya masih
merupakan norma kabur yang masih memerlukan penafsiran hukum lebih lanjut.
Apabila digunakan penafsiran gramatikal[19], maka istilah ”adat”
dapat mempunyai makna yang luas, karena meliputi aturan atau perbuatan yang
lazim dituruti sejak dulu kala, meliputi cara (kelakuan) yang sudah menjadi
kebiasaan, ataupun meliputi wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas
nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan
aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi satu sistem[20]. Untuk mengatasi
kegamangan yang terjadi mengenai batasan pengertian sengketa adat itu, walaupun
belum begitu memuaskan, untuk sementara dapat dirujuk pandangan I Ketut Wirta
Griadhi yang menyebutkan bahwa ciri sengketa adat ini adalah adanya satu obyek
sengketa yang menyangkut kepentingan adat, terutama yang berhubungan dengan
kehidupan kelompok, baik itu dalam bentuk banjar maupun desa pakraman[21].
Dilihat dari para pihak yang
bersengketa, Valerine J.L. Kriekhoff menyatakan bahwa sengketa dapat timbul
diantara:
a. Individu
melawan individu dari kelompok sama atau dari kelompok yang berbeda;
b. Kelompok
melawan kelompok, yaitu sengketa antar sub-sub kelompok yang otonom dalam satu
kelompok (intra group) atau antar
kelompok besar yang otonom dalam masyarakat[22].
Di Desa
Keramas, sengketa yang paling banyak terjadi dan dapat diselesaikan di tingkat
desa oleh hakim perdamaian desa adalah sengketa antara individu melawan
individu dari banjar yang sama. Disamping sengketa antara individu dari banjar
yang sama, ditemukan juga sengketa antara individu dengan individu dari banjar
yang berbeda tetapi masih berasal dari desa yang sama, seperti misalnya
sengketa yang terjadi bulan April 2006 antara I KC (60 tahun) dari Banjar
Lodpeken Desa Keramas melawan I NR (40 tahun) dari Banjar G Desa Keramas.
Bahkan tercatat pula adanya sengketa antara individu dari Desa Keramas melawan
individu dari desa lain yang ditangani
di Keramas pada bulan Juni 2006 yaitu sengketa antara I MP dari Banjar P Desa
Keramas, melawan Ni MW dari Banjar TP Desa Pering. Dalam dua tahun terakhir
(2005-2006) di Desa Keramas ditemukan satu sengketa individu melawan kelompok
dan satu sengketa kelompok melawan kelompok. Sengketa inividu melawan kelompok
yang terjadi adalah sengketa antara
tetapi individu melawan kelompok sekeha Pura Panti tetapi individu
tersebut bukan anggota kelompok sekeha tersebut, yaitu sengketa antara I GNT
(67 tahun) dari Banjar M melawan Sekeha Pura Panti keluarga besar Wayan K di
Banjar G. Sengketa antara kelompok melawan kelompok yang sempat ditangani oleh
kelembagaan desa di Keramas adalah sengekata antara sub kelompok melawan sub
kelompok dalam lingkungan Desa Pakraman Keramas, yaitu antara kelompok Pemaksan
Dalem Geria melawan kelompok Pemaksan Dalem Agung. Sengketa berobyek pura yang sudah ditangani oleh Bendesa
Keramas sejak tahun 2002 ini hingga tahun 2006 –ketika penelitian ini dilakukan
(September-Novenmber 2006)— belum dapat
diselesaikan secara tuntas.
Dilihat dari permasalahan yang
menjadi obyek sengketa, sengketa yang paling banyak ditangani oleh kelembagaan
yang melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa di Keramas adalah
sengketa yang menyangkut tanah pekarangan
desa, seperti batas-batas pekarangan, batas-batas bangunan keluarga dalam
satu pekarangan, bangunan atau tanaman yang nyayubin
bangunan tetangga, pembuangan limbah rumah tangga yang merugikan pihak lain,
dan sebagainya. Banyaknya kasus-kasus sengketa yang berkaitan dengan pekarangan
ini disebabkan padatnya rata-rata hunian
dalam satu pekarangan desa
yang mencapai antara 3-4 kepala keluarga, bahkan ada yang mencapai 10 kepala
keluarga. Di luar sengketa pekarangan, sengketa yang pernah terjadi dalam dua
tahun terakhir ini (2005-2006) adalah perceraian, pengangkatan anak, waris,
tukar menukar tanah, utang piutang, sengketa pura, dan lain-lain.
Sengketa yang terjadi di Desa
Keramas umumnya diupayakan diselesaikan di tingkat banjar oleh Kelihan Banjar.
Hanya sengketa yang tidak bisa diselesaikan di tingkat banjar yang dibawa ke
tingkat desa. Dalam hal sengketa tersebut berlatar belakang masalah pribadi
yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan masalah adat dan agama umumnya di
bawa oleh Kelihan Banjar kepada Perbekel untuk memperoleh penyelesaian. Itulah
yang terjadi dalam kasus utang piutang antara I MP (56 tahun), pedagang dari
Banjar Palak Desa Keramas, dengan Ni MW pedagang dari Banjar TP Desa Pering.
Kasus yang dilihat dari subyeknya ini merupakan sengketa individu melawan
individu ini dilatar belakangi oleh bisnis beras yang dilakukan oleh para pihak
sejak tahun 2005. Intinya, I MP berutang
4.000 kg beras dari Ni MW yang kemudian memperkarakannya dihadapan Kelihan
Banjar P pada awal Juni 2006. Dengan alasan para pihak berlainan banjar, bahkan
berlainan desa, Kelihan Banjar P tidak mau menyelesaikan perkara ini sendirian,
melainkan membawa masalah ini kepada Perbekel Keramas. Akhirnya, perkara ini
berhasil diselesaikan secara perdamaian dituangkan dalam surat pernyataan
perdamaian tertanggal 7 Juni 2006 yang ditandatangai oleh para pihak yang
bersengketa dan Perbekel Keramas dan Kelihan Banjar P sebagai saksi.
Di pihak lain, kasus-kasus
sengketa yang jelas berlatar belakang adat dan agama diusahakan diselesaikan
melalui kelembagaan adat. Tetapi apabila kasus tersebut tidak bisa diselesaikan
pada tingkat prajuru adat, ternyata Perbekel juga diikut sertakan dalam proses
penyelesaian. Contoh sengketa adat yang cukup berat tetapi berhasil
diselesaikan ditingkat desa pakraman tanpa campur tangan Perbekel antara lain
adalah kasus sengketa pembagian warisan yang dilatar belakangi kasus
pengangkatan anak yang belum sah. Kasus individu melawan individu ini terjadi
di Banjar Bia tahun 2005 antara I NS (35 tahun) disatu pihak dengan WS (32
tahun) dan MS (30 tahun). Tiga laki-laki bersaudara kandung ini adalah anak
kandung dari pasangan KS (purusa) dan
Ni R (pradana). I KS sendiri
mempunyai seorang kakak laki-laki bernama NT (68 tahun) yang beristrikan I T
(almarhum). Sudah sejak lama (tidak jelas angka tahunnya) I NS diajak oleh
keluarga I NT, diasuh dan dididik seperti anak sendiri. Keberadaan I NS dalam
keluarga NT sudah dianggap sebagai anak angkat walaupun belum pernah diadakan
upacara pengangkatan anak secara sah menurut agama (meperas) melainkan hanya diangkat berdasarkan kesepakatan belaka (idih munyi) antara I NT dan I KS. Karena
merasa sudah tua dan sakit-sakitan, tahun 2004 I NT menyampaikan keinginannya
kepada I KS untuk mengadakan upacara pengesahan pengangkatan anak (meperas) terhadap I NS, tetapi pada
waktu itu I KS tidak menanggapinya, bahkan I KS menunjukkan sikap tidak setuju
terhadap rencana tersebut karena menganggap tindakan NT pilih kasih terhadap
anak-anaknya. Karena tidak ada tanggapan dari I KS, upacara meperas itu akhirnya tak pernah terjadi,
sampai kasus ini menjadi sengketa pada awal tahun 2006 ketika tiga orang
bersaudara ini ingin membagi waris. Dalam proses pembagian warisan itu, I NS
bersikeras untuk memperoleh semua bagian warisan yang seharusnya diperoleh I NT
karena ia merasa sebagai anak angkatnya. Dua saudaranya yang lain berpendapat
sebaliknya, menginginkan keseluruhan harta warisan di bagi tiga secara merata
karena menurut mereka I NS bukan anak angkat NT sehingga sesungguhnya NT tidak
mempunyai ahli waris. Kasus ini mula-mula diperkarakan ditingkat banjar dengan
fasilitasi Kelihan Banjar B sebagai mediator. Perkara ini ternyata tidak
berhasil diselesaikan oleh Kelian Banjar B sehingga kemudian dibawa kepada
Bendesa Adat untuk penyelesaiannya. Bertempat di rumah Jero Bendesa, sengketa
waris tiga bersaudara ini akhirnya dapat diselesaikan secara perdamaian yang
dilakukan secara lisan.
Sengketa berlatar belakang adat
tidak semuanya berhasil diselesaikan oleh prajuru adat secara otonom. Dalam
beberapa kasus, Perbekel dilibatkan dalam penyelesaiannya bahkan ada kasus
sengketa yang berobyek tanah adat diselesaikan oleh Perbekel tanpa peran serta
Bendesa Adat. Contohnya adalah kasus pembagian tanah pekarangan desa[23]
yang terjadi di Banjar L. Kasus-kasus yang berkaitan dengan tanah pekarangan desa memang cukup
banyak terjadi di Desa Keramas karena tingkat kepadatan penduduk yang menempati
tanah karang desa cukup tinggi. Rata-rata secutak tanah pekarangan di Keramas
ditempati oleh 3 - 4 kepala keluarga, bahkan ada yang sampai 10 kepala
keluarga. Akibatnya banyak kasus yang muncul karena penduduk tinggal
berhimpitan dalam satu tanah pekarangan yang sempit. Kasus yang sering terjadi
misalnya adalah masalah pembangunan rumah oleh salah seorang penghuni yang ngalah-alah wates (melanggar batas), song
sombah (aliran limbah rumah tangga) yang merugikan penghuni lain, tanggung
jawab pemeliharaan bangunan-bangunan yang ada dilingkungan pekarangan seperti tembok penyengker, angkul-angkul, dan lain-lain. Umumnya kasus-kasus tersebut berhasil
didamaikan oleh Kelihan Banjar di tingkat banjar, tatapi kasus pembagian pekarangan desa yang terjadi di Banjar
Lebah ini akhirnya sampai kepada Perbekel Keramas karena tidak bisa diselesaikan
oleh Kelihan Banjar Lebah. Kasus ini adalah sengketa pembagian ruang dalam
lingkungan tanah pekarangan, antara tiga orang bersaudara yang masing-masing
sudah berumah tangga dan tinggal dalam satu pekarangan (tanah pekarangan desa). Mereka adalah I KP (46 tahun), I KN (40
tahun), dan I WA. Sengketa ini sebenarnya sudah lama di dengar oleh Kelihan
Banjar L, tetapi karena tidak ada pesadok
(laporan) dari para pihak maka Kelihan Banjar L mendiamkannya saja, tanpa
mengambil tindakan apa-apa. Sekitar bulan Maret 2006, terjadi keributan antara
mereka bertiga dan saling melapor kepada Kelihan Banjar. Akhirnya dengan
perantaraan Kelian Banjar mereka sepakat menyelesaikan sengketa mereka secara
baik-baik. Kesepakatan mengenai bagian dan tanggung jawab masing-masing
sebenarnya sudah berhasil dicapai ditingkat Kelihan Banjar, tetapi karena
mereka menginginkan dibuatkan surat perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum
yang lebih pasti sekaligus dengan gambar denah bagian masing-masing, akhirnya
Kelihan Banjar Lebah membawa kasus ini kepada Perbekel untuk dibuatkan surat
perjanjian. Surat perjanjian tersebut kemudian ditandatangani oleh para pihak
yang bersengketa dan ditandatangani oleh Perbekel Keramas dan Kelihan Banjar
Lebah sebagai saksi.
Contoh kasus di atas menunjukkan
keterlibatan Perbekel dalam penyelesaian kasus sengketa di Keramas cukup
menonjol, tanpa dibatasi pada kwalifikasi obyek sngketa. Perbekel sering
terlibat atau dilibatkan dalam penyelesaian kasus-kasus sengketa non adat,
sengketa yang tidak jelas kwalifikasinya apakah sengketa adat atau non
adat, bahkan kasus sengketa yang jelas
latar belakangnya adalah masalah-masalah yang semestinya tunduk kepada hukum
adat, seperti perceraian dan waris. Contoh kasus sengketa yang tidak jelas
kwalifikasinya apakah termasuk kasus adat murni , campuran ataukah non adat
yang ditangani oleh Perbekel Keramas tanpa melibatkan Bendesa adalah kasus
sengketa tukar menukar tanah sawah antara I GNT (67 tahun), petani dari Banjar
Maspait dengan Sekeha Pura Panti di Banjar Gelgel Desa Keramas yang diwakili
oleh Drs. I WK, seorang pegawai negeri sipil dari Banjar G. Sengketa antara
individu melawan kelompok sekeha pura
ini dilatar belakangi oleh perjanjian tukar menukar tanah yang sudah lama
terjadi, yaitu sekitar tahun 1966 antara I GKS (almarhum), orang tua I GNT
dengan Seka Pura Panti di Banjar Gelgel. Duduk perkaranya adalah sebagai
berikut. Pura Panti milik keluarga besar WK
mempunyai dua cutak tanah sawah berupa laba pura[24]
yang terletak di Subak Amping dengan luas sekitar 60 are dan di Subak Abang
sekitar 40 are. Dilain pihak I GKS juga
mempunyai dua cutak tanah sawah di Subak Abang masing-masing dengan luas 30
are dan 40 are. Letak ke dua cutak tanah sawah milik I GKS tersebut mengapit
tanah sawah milik Pura Panti keluarga WK.
Sekitar tahun 1966 –setelah Gestok[25], terjadi tukar garap antara I GKS dengan
Mangku Pura Panti dan sekitar tahun 1970-an tukar garapan tersebut disepakati
menjadi tukar menukar tanah secara tetap. Tukar menukar tanah antara Seka Panti
dengan I GKS tersebut dilakukan secara lisan berdasarkan kepercayaan sehingga
tidak diperlukan bukti-bukti tertulis. Isi kesepakatan adalah, tanah seluas 60
are di Subak Amping menjadi milik I GKS sedangkan dua cutak sawah masing-masing
dengan luas 40 are dan 30 are di Subak Abang menjadi milik Pura Panti. Selisih
luas sekitar 10 are tidak dipersoalkan oleh I GKS karena hasil sawah di subak
Amping lebih bagus dan penggarapannya lebih praktis karena hamparan sawah di
Subak Amping dalam satu areal, tidak terpisah seperti kondisi tanah sawah di
Subak Abang. Sejak tahun 1985 terjadi perubahan yang drastis terhadap nilai
tanah sawah yang terletak di Subak Amping karena sudah dibangun jalan, harga
tanah menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga tanah di Subak Abang. Sejak
itu, Seka Pura Panti menginginkan tukar menukar tanah yang sudah terjadi supaya
dibatalkan dan mulailah terjadi sengketa antara Seka Pura Panti dengan I GNT
ahli waris almarhun I GKS. Untuk menyelesaikan sengketa itu beberapa kali telah
dilakukan perundingan antara para pihak tetapi masing-masing pihak tetap
bersikukuh dengan pendirian masing-masing. Pada tahun 2005, Seka Pura Panti
mendaftarkan tanah sawah di Subak Amping ke Kantor Badan Pertanahan Gianyar
dengan tujuan untuk memperoleh sertifikat atas nama Pura Panti, tetapi ketika
dilakukan pengukuran dihalangi oleh I GNT, yang selanjutnya melaporkan kasus
tersebut kepada Kelihan Banjar M. Karena kasus ini cukup berat yang melibatkan
individu krama banjar M dengan kelompok Seka Panti dari banjar lain, akhirnya
Kelihan Banjar Maspait membawa masalah ini kepada Perbekel Keramas agar
diselesaikan di tingkat Desa. Setelah beberapa kali diadakan ”sidang” di Kantor
Perbekel yang melibatkan para pihak, Kelihan masing-masing Banjar (Maspait dan
Gelgel) akhirnya pada 8 Juni 2006 perkara ini berhasil diselesaikan secara
perdamaian. Kasus tukar menukar tanah di atas cukup sulit dikwalifikasikan
apakah termasuk sengketa perdata murni ataukah sengketa adat, karena subyek
sengketa menyangkut pribadi melawan kelompok sekeha, dan obyeknya menyangkut tanah milik pribadi dan tanah milik
adat (laba pura). Pengajuan sengketa
ini kepada lembaga dinas (Perbekel) dan penyelesaiannya tanpa melibatkan
kelembagaan adat (Bendesa) menunjukkan bahwa menurut penilaian Kelihan Banjar
dan Perbekel, sengketa ini adalah sengketa perdata biasa (non adat).
Keseluruhan uraian mengenai
penyelesaian sengketa di atas sekaligus menunjukkan beragamnya kasus-kasus
sengketa yang ditangani oleh hakim perdamaian desa di Desa Keramas, mulai dari
perkara-perkara ringan yang dapat diselesaikan pada tingkat banjar sampai
sengketa-sengketa yang cukup berat yang memerlukan penyelesaian ditingkat desa.
Seperti yang terjadi pada penanganan perkara yang berupa pelanggaran hukum,
peranan Kelihan Banjar dalam penyelesaian sengketa sangat menonjol karena
Kelihan Banjarlah instansi pertama tempat para pihak yang bersengketa
menyelesaikan masalahnya. Hanya perkara-perkara yang tidak bisa diselesaikan di
tingkat banjar yang diajukan ke tingkat desa. Kalau dilihat dari aspek dualisme
pemerintahan desa, peranan Perbekel tampak lebih menonjol dibandingkan dengan
peranan Bendesa karena peranan Bendesa dibatasi pada sengketa-sengketa adat
sedangkan Perbekel dapat menangani semua perkara yang terjadi di Desa Keramas
tanpa dibatasi pada obyek perkara tertentu saja.
[1] Lihat: I Wayan Koti Çantika, 2005, “Upaya
Pemulihan Keseimbangan (Sanksi Adat) dalam Desa Pakraman”, makalah dalam
Seminar Membangun Kepercayaan Terhadap Masyarakat, Fakultas Hukum Unud.,
Denpasar, hal. 8.
[2] R. Soepomo II, op.cit., hal. 110.
[3] I Ketut Sudantra dan Ayu Putu Nantri, op.cit., hal 31.
[4] Hilman Hadikusuma, 1978, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, hal
20.
[5]Bushar Muhammad, 2000, Pokok-pokok Hukum Adat, Cetakan ketujuh,
Pradnya Paramita, Jakarta, hal 61.
[6] B Ter Haar I, op.cit, hal. 226.
[7] R. Soepomo II, op.cit., hal. 110.
[8] I Made Widnyana, op.cit., hal. 5.
[9] Hilman Hadikusuma, op.cit., hal..20
[10] Mengenai konsepsi Tri Hita Karana telah dijelaskan dalam Bab II tesis ini.
[11] I
Made Widnyana, op. cit., hal. 10.
[12]
Kasus-kasus mmengenai pelanggaran terhadap tetegenan
krama, yang berupa tidak hadir dalam melakukan pekerjaan bersama, sangkep
dan lain-lain, dianggap sebagai pelanggaran ringan dan tidak dicatat secara
khusus dalam notulen sangkep. Intensitas
kasus demikian dapat dilihat dalam cacakan
krama (buku absensi) yang dipegang oleh kelihan.
[13] Arta danda adalah sanksi dalam wujud
materi, berupa uang atau benda yang mempunyai nilai ekonomi,seperti beras atau
benda lainnya. Lihat: Wayan P. Windia , 2004,
Danda Pecamil Catatan Populer
Istilah Hukum Adat Bali. Upada Sastra,
Denpasar, hal. 29.
[14]
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan penjelasan mengenai
pengertian penganiayan, tetapi menurut yurisprudensi pengertian penganiayan adalah
sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka.
Lihat R Soesilo, 1990, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, hal 244-245.
[15] Prayascita desa (mengembalikan kesucian
desa) dan prayascita raga
(mengembalikan kesucian diri) adalah bentuk pamidanda (sanksi adat) yang dapat
dikwalifikasikan sebagai panyangaskara danda yang disebutkan dalam Pawos 85
Awig-awig Desa Pakraman Keramas. Panyangaskara
atau sangaskara danda adalah sanksi
adat berupa melaksanakan upacara tertentu dengan tujuan untuk mengembalikan
keseimbangan batin, dikenakan kepada warga yang melakukan perbuatan yang
menyebabkan leteh (keadaan tidak suci
secara gaib). Lihat Wayan P. Windia I, op.cit.,
hal. 30.
[16]
Pawos 64 Awig-awig Desa Pakraman Keramas menegaskan bahwa “Yening wenten pasadok sane medasar antuk saksi lan bukti wenten wong
salah kerama, gamia gamana, drati krama, mamitra, mamarikosa, patut kasisipang
lan tan katutugang tur katiwakin pamidanda manut pararem, saha mrayascita
desa...”. Berdasarkan pararem desa yang dibuat tahun 1994, sanksi bagi yang
melakukan perbuatan-perbuatan tersebut di atas ditambah dengan danda mrayascita raga.
[17]
Pasal 284 ayat (1) menyatakan bahwa “Dihukum penjara selama-lamanya sembilan
bulan: a. laki-laki yang bersuami, berbuat zina...;b. Perempuan bersuami,
berbuat zina” Lihat R. Soesilo, op.cit. hal. 208.
[18]
T.O. Ihromi, 1993, “Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa Yang
Digunakan dalam Antropologi Hukum”, dalam T.O. Ihromi (ed), Antropologi Hukum
Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 209-210.
[19] Penafsiran gramatikal adalah cara
menafsirkan undang-undang menurut arti perkataan (istilah). Lihat: Yuda Bhakti
Ardhiwisastra, 2000, Penafsiran dan
Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung,
hal. 9.
[20] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, op.cit, hal. 7.
[21]. Lihat I Ketut Wirta Griadhi, 1990,
“Beberapa Catatan tentang Sengketa Adat di Bali, Kertha Patrika, Majalah Ilmiah
Fakultas Hukum Universitas Udayana, No. 50 Tahun XVI. Maret 1990, hal 26.
[22] Valerine J.L. Kriekkhoff, 1993,
”Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum)”, dalam T.O. Ihromi (ed),
Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
hal.225.
[23] Mengenai kwalifikasi tanah pekarangan desa (PKD) lihat M.
Suasthawa D, 1987, Status dan Fungsi
Tanah Adat Bali Setelah Berlakunya UUPA, CV Kayumas Agung, Denpasar, hal.
41.
[24] Tanah laba
pura adalah tanah adat milik (duwe)
pura, umumnya berupa tanah pertanian (tegalan atau sawah) yang dimanfaatkan
untuk kepentingan pura. Lihat I Ketut Sudantra, 1992, “Status Hak Atas Tanah
Pura Setelah Berlakunya SK. Mendagri Nomor SK. 556/DJA/1986, Kertha Patrika, Majalah Ilmiah Fakultas
Hukum Universitas Udayana, No.61 Tahun XVIII Desember 1992, hal.42 (Selanjutnya
bdisebut I Ketut Sudantra IV).
[25] Gestok adalah istilah lain yang digunakan
untuk menyebut peristiwa berdarah tahun 1965 yang dikenal dengan sebutan G 30
S/PKI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar