Laman

Rabu, 21 September 2011

Desa Dinas-Desa Pakraman (4)

HUBUNGAN DESA PAKRAMAN 
DENGAN DESA DINAS
(Cuplikan Tesis I Ketut Sudantra, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa di Bali”, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hlm.86-92)


Aspek Hubungan Kewilayahan

Hubungan desa pakraman dengan desa dinas atau sebaliknya dapat dilihat dari dua aspek, yaitu dari aspek kewilayahan (teritorial) dan aspek kelembagaan. Hubungan dari aspek kewilayahan maksudnya adalah berkaitan dengan wilayah desa pakraman dihubungkan dengan wilayah desa dinas atau sebaliknya, apakah dua bentuk desa tersebut mempunyai wilayah yang sama atau berbeda. Seperti ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, suatu desa (dinas) mempunyai batas-batas wilayah yang jelas. Batas-batas wilayah desa dinas di kaitkan dengan wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang besarannya telah ditentukan oleh paraturan perundang-undangan. Demikian pula Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 yang mengatur desa pakraman dengan jelas dinyatakan bahwa desa pakraman mempunyai wilayah tertentu. Walaupun tidak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan kreteria yang digunakan untuk menentukan batas-batas wilayah desa pakraman, tetapi secara umum kreteria yang digunakan adalah “awewengkon bale agung[1], artinya meliputi suatu wilayah yang penduduknya menyembah satu Pura Bale Agung yang sekarang lebih lazim disebut Pura Desa. Dengan demikian, luas wilayah dan jumlah krama desa pakraman sangat relatif. Karena dasar pembentukan dan kreteria yang digunakan untuk menentukan wilayah masing-masing bentuk desa di atas berbeda, maka hubungan kewilayahan desa dinas dan desa pakraman menjadi berbeda-beda. Kondisi seperti ini telah terjadi sejak jaman kolonial sejak dibentuknya pemerintahan desa dinas oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Seperti dinyatakan oleh Hunger yang telah dikutip di depan, masuknya kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda ke Bali Selatan sekitar 1906-1908 menimbulkan perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat desa. Pemerintah Belanda membangun satu lembaga administrasi ditingkat desa dan membuat desa baru (bentukan pemerintah kolonial) dengan batas-batas yang jelas dan dukungan jumlah penduduk sekitar 200 orang dewasa yang siap untuk menjalankan tugas-tugas rodi pemerintah kolonial. Batas-batas wilayah desa baru tersebut sama sekali tidak memperhatikan batas-batas wilayah desa yang telah ada sebelumnya yang didasarkan kepada batas-batas adat kebaleagungan. Karena dasarnya adalah efisiensi maka pemukiman-pemukiman penduduk (banjar) yang kelihatan dekat digabungkan sedangkan yang berjauhan dipisahkan[2]. Itu sebabnya Hunger kemudian menyatakan bahwa kemungkinan yang terjadi pada waktu itu adalah wilayah desa pakraman dan desa dinas adalah kemungkinan sama atau tidak, bisa lebih luas bisa lebih sempit.
Temuan Hunger pada awal pembentukan desa dinas oleh Pemerintah Hindia Belanda mengenai hubungan kewilayahan desa pakaraman dan desa dinas tersebut masih terjadi sampai sekarang. Karena dasar pembentukannya berbeda, desa dinas dan desa pakraman yang ada sekarang tidak selalu mempunyai wilayah yang sama, walaupun hampir bisa dipastikan bahwa setiap orang Bali Hindu yang tinggal disatu wilayah tertentu di Pulau Bali mempunyai keanggotaan ganda, satu pihak orang tersebut adalah anggota desa pakraman, dipihak lain ia juga adalah warga desa dinas tertentu.
Dewasa ini dasar hukum pembentukan desa dinas adalah Pasal 200 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 selengkapnya menyatakan sebagai berikut:
(1)      Desa dibentuk atas praklarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
(2)      Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada atay (1) harus memenuhi syarat:
a.       Jumlah penduduk;
b.      Luas wilayah;
c.       Bagian wilayah kerja;
d.      Perangkat;
e.       Sarana dan prasarana pemerintahan

Selanjutnya, dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan desa diatur dengan Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dewasa ini, di Kabupaten Gianyar pembentukan desa diatur berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 13 Tahun 2002. Berdasatkan Pasal 4 Peraturan Daerah tersebut, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk pembentukan desa adalah sebagai berikut:
  1. Jumlah penduduk minimal 1.500 jiwa atau 300 kepala keluarga dan atau mempertimbangkan faktor perkembangan geografis;
  2. Luas wilayah yang terjangkau secara berdaya guna dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat;
  3. Tersedia jaringan perhubungan atau komunikasi antar Banjar yang letaknya memungkinkan terpenuhinya faktor luas wilayah;
  4. Tersedianya atau kemungkinan tersedianya sarana dan prasarana perhubungan, pemasaran, sosial, produksi dan Pemerintahan Desa;
  5. Terciptanya suasanayang memberikan kemungkinan adanya kerukunan hidup masyarakat dalam hubungannya dengan adat istiadat;
  6. Tersedianya tempat untuk mata pencaharian masyarakat;
  7. Memungkinkan kelancaran perkembangan desa yang selaras dan sesuai dengan tata pemerintahan Desa, tata masyarakat dan tata ruang Desa untuk mempertahankan keseimbangan lingkungan yang lestari.

Uraian di atas menunjukkan bahwa kreteria efisiensi dan jumlah penduduk yang dahulu digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menentukan batas-batas wilayah desa masih tetap digunakan sampai saat ini. Dengan demikian hubungan kewilayahan desa pakraman dan desa dinas yang terjadi pada pada saat ini adalah tetap seperti yang dikemukakan oleh Hunger di atas, yaitu kemungkinan wilayah desa pakraman dan desa dinas adalah sama atau wilayah desa dinas tidak sama dengan wilayah desa pakraman, bisa lebih luas bisa lebih sempit. Hubungan ini bisa dinamis, artinya bisa berubah akibat pemecahan desa dinas ataupun pemecahan desa pakraman. Seperti misalnya yang terjadi di Desa Keramas, sebelum tahun 1980 desa dinas Keramas meliputi dua wilayah desa pakraman (dulu disebut desa adat), yaitu Desa Adat Keramas dan Desa Adat Medahan. Pada tahun 1980, sebagai konskwensi perkembangan jumlah penduduk, Desa Keramas dipecah menjadi dua desa dinas, yaitu Desa Keramas dan Desa Medahan. Saat ini luas wilayah Desa Keramas sama dengan luas wilayah Desa Pakraman Keramas, masing-masing mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:
a.       Sebelah utara          : Desa Belega;
b.      Sebelah timur          : Desa Medahan;
c.       Sebelah selatan       : Selat Badung;
d.      Sebelah barat         : Desa Pering.
Desa Keramas terletak di Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar, letaknya sekitar 7 km dari Kota Kecamatan Blahbatuh. Desa yang terletak daerah dataran ini mempunyai luas wilayah sekitar 1453 km2 dengan jumlah penduduk 6860 jiwa. Secara adat, wilayah desa ini terdiri dari 6 banjar, yaitu Banjar Maspait, Banjar Lebah, Banjar Lodpeken, Banjar Palak, Banjar Gelgel dan Banjar Bia. Masing-masing banjar ini dibagi lagi dalam tempekan-tempekan, yang di Keramas disebut Subak Banjar. Ke enam banjar ini sekaligus merupakan banjar dinas dalam desa dinas Keramas[3].

Aspek Hubungan Kelembagaan
Secara struktural tidak ada hubungan kelembagaan antara desa dinas dengan desa pakraman. Tinjauan historis hubungan dua bentuk desa ini telah diuraikan di atas dalam pembahasan tinjauan mengenai sejarah dualisme desa di Bali. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa secara kelembagaan hubungan desa dinas dan desa pakraman adalah hubungan yang bersifat kordinatif dan konsultatif. Sifat hubungan demikian pernah ditegaskan dalam Pasal Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 06 Tahun 1986. Dalam bentuk hubungan demikian terkandung makna bahwa dua bentuk desa tersebut melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing secara otonom, tetapi baik desa dinas maupun desa pakraman akan selalu berkordinasi dan berkonsultasi jika dalam pelaksanaan tugas dan kewewenangan masing-masing terdapat hal-hal yang perlu dikoordinasikan dan dikonsultasikan.
Dalam Paraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 yang menggantikan Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 1986 bentuk hubungan kordinatif dan konsultatif tidak disebutkan lagi. Secara implisit, hubungan desa pakraman dengan pemerintah (termasuk pemerintahan desa) kemudian dapat dilihat dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001. Dalam pasal-pasal yang mengatur tugas dan wewenang desa pakraman ini disebutkan adanya suatu hubungan dengan pemerintah yang dapat disebut sebagai hubungan yang bersifat kemitraan dan partisipatif. Pasal 5 huruf d menyatakan bahwa desa pakraman mempunyai tugas “…bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan”. Istilah “bersama-sama pemerintah” menunjukkan bahwa desa pakraman adalah mitra pemerintahan desa dalam pelaksanaan pembangunan. Selanjutnya, dalam Pasal 6 huruf b dinyatakan bahwa desa pakraman mempunyai wewenang “…turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada dilingkungan wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana”. Ketentuan demikian dapat diterjemahkan bahwa desa pakraman mempunyai hubungan dengan pemerintah yang bersifat partisipatif. Hubungan partisipasi demikian oleh Talziduhu Ndraha disebut sebagai partisipasi vertikal[4], yaitu partisipasi (pengambilan bagian dalam kegiatan bersama) masyarakat desa secara keseluruhan dengan pemerintah.
Dalam praktek, walaupun secara kelembagan desa dinas dan desa pakraman mempunyai struktur kelembagaan masing-masing, tetapi hubungan yang bersifat kordinatif dan konsultatif dalam pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing tetap dipelihara dan dikembangkan. Di Desa Keramas, hubungan antara pemerintahan desa dinas dan desa pakraman menjadi lebih harmonis karena jabatan Kelian Banjar Adat dan jabatan Kelian Banjar Dinas dirangkap oleh satu orang. Perangkapan jabatan tersebut dilakukan secara bertahap pada masing-masing banjar sejak tahun 2001 ketika terjadi pergantian Kelian Banjar Adat Maspait dan tuntas pada tahun 2005, ditandai dengan pasikian (perangkapan) jabatan adat dan dinas Banjar Bia. Dengan pesikian klian banjar adat lan dinas (perangkapan jabatan adat dan dinas) maka dualisme pemerintahan desa pada tingkat banjar di Keramas tidak dirasakan lagi oleh masyarakat, walaupun kadang-kadang masih ada kebingungan para klihan banjar mengenai kapan mereka berposisi sebagai klian banjar dinas dan kapan dalam posisi sebagai klihan banjar adat. Kebingungan itu terjadi dalam melakukan hubungan dengan atasan, yaitu Bendesa sebagai atasan dalam aktivitas adat dan Perbekel sebagai atasan dalam aktivitas kedinasan.


[1] Lihat F.W.F, Hunger, op.cit.,  hal. 6
[2] F.W.F, Hunger, op.cit.,  hal. 6.

[3] Desa Keramas, 2004-2005, Profil Pembangunan Desa Keramas, hal. 1-5. Lihat pula Desa Adat Keramas, tanpa tahun,  Awig-awig Miwah Pararem-Pararaem, hal. 1.
[4] Secara teoritis, partisipasi masyarakat desa dalam kegiatan pembangunan dapat berupa partisipasi horozontal, yaitu partisipasi antara sesama warga, dan dapat berupa partisipasi vertikal, yaitu partisipasi masyarakat secara keseluruhan dengan pemerintah. Tingkatan partisipasi tersebut dapat berupa: partisipasi dalam perencanaanb pembangunan, partisipasi dalam operasional pembangunan, partisipasi dalam menerima hasil pembangunan, dan partisipasi dalam menilai pembangunan. Lihat Taliziduhu Ndraha, 1986, Materi Pokok Pembangunan Masyarakat, Departemen endidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka, Jakarta, hal. 4 dan 27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar