HUBUNGAN DESA PAKRAMAN
DENGAN DESA DINAS
DENGAN DESA DINAS
(Cuplikan Tesis I Ketut Sudantra, 2007, “Pelaksanaan Fungsi
Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa di Bali”, Program
Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hlm.86-92)
Aspek Hubungan Kewilayahan
Hubungan desa pakraman dengan desa dinas
atau sebaliknya dapat dilihat dari dua aspek, yaitu dari aspek kewilayahan
(teritorial) dan aspek kelembagaan. Hubungan dari aspek kewilayahan maksudnya
adalah berkaitan dengan wilayah desa pakraman dihubungkan dengan wilayah desa
dinas atau sebaliknya, apakah dua bentuk desa tersebut mempunyai wilayah yang
sama atau berbeda. Seperti ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004,
suatu desa (dinas) mempunyai batas-batas wilayah yang jelas. Batas-batas
wilayah desa dinas di kaitkan dengan wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk yang besarannya telah ditentukan oleh paraturan perundang-undangan.
Demikian pula Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 yang mengatur desa pakraman
dengan jelas dinyatakan bahwa desa pakraman mempunyai wilayah tertentu.
Walaupun tidak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan kreteria yang
digunakan untuk menentukan batas-batas wilayah desa pakraman, tetapi secara
umum kreteria yang digunakan adalah “awewengkon
bale agung”[1],
artinya meliputi suatu wilayah yang penduduknya menyembah satu Pura Bale Agung
yang sekarang lebih lazim disebut Pura Desa. Dengan demikian, luas wilayah dan
jumlah krama desa pakraman sangat relatif. Karena dasar pembentukan dan kreteria
yang digunakan untuk menentukan wilayah masing-masing bentuk desa di atas
berbeda, maka hubungan kewilayahan desa dinas dan desa pakraman menjadi
berbeda-beda. Kondisi seperti ini telah terjadi sejak jaman kolonial sejak
dibentuknya pemerintahan desa dinas oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Seperti
dinyatakan oleh Hunger yang telah dikutip di depan, masuknya kekuasaan
Pemerintah Hindia Belanda ke Bali Selatan sekitar 1906-1908 menimbulkan
perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat desa. Pemerintah Belanda
membangun satu lembaga administrasi ditingkat desa dan membuat desa baru
(bentukan pemerintah kolonial) dengan batas-batas yang jelas dan dukungan
jumlah penduduk sekitar 200 orang dewasa yang siap untuk menjalankan
tugas-tugas rodi pemerintah kolonial. Batas-batas wilayah desa baru tersebut
sama sekali tidak memperhatikan batas-batas wilayah desa yang telah ada
sebelumnya yang didasarkan kepada batas-batas adat kebaleagungan. Karena dasarnya adalah efisiensi maka
pemukiman-pemukiman penduduk (banjar) yang kelihatan dekat digabungkan
sedangkan yang berjauhan dipisahkan[2].
Itu sebabnya Hunger kemudian menyatakan bahwa kemungkinan yang terjadi pada
waktu itu adalah wilayah desa pakraman dan desa dinas adalah kemungkinan sama
atau tidak, bisa lebih luas bisa lebih sempit.
Temuan Hunger pada awal pembentukan desa dinas oleh Pemerintah Hindia
Belanda mengenai hubungan kewilayahan desa pakaraman dan desa dinas tersebut
masih terjadi sampai sekarang. Karena dasar pembentukannya berbeda, desa dinas
dan desa pakraman yang ada sekarang tidak selalu mempunyai wilayah yang sama,
walaupun hampir bisa dipastikan bahwa setiap orang Bali Hindu yang tinggal
disatu wilayah tertentu di Pulau Bali mempunyai keanggotaan ganda, satu pihak
orang tersebut adalah anggota desa pakraman, dipihak lain ia juga adalah warga
desa dinas tertentu.
Dewasa ini dasar hukum pembentukan desa dinas adalah Pasal 200 ayat (2)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2005. Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 selengkapnya menyatakan sebagai berikut:
(1) Desa dibentuk atas praklarsa
masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya
masyarakat setempat.
(2) Pembentukan desa sebagaimana
dimaksud pada atay (1) harus memenuhi syarat:
a. Jumlah penduduk;
b. Luas wilayah;
c. Bagian wilayah kerja;
d. Perangkat;
e. Sarana dan prasarana pemerintahan
Selanjutnya, dalam Pasal 4 Peraturan
Pemerintah tersebut dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai
pembentukan desa diatur dengan Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Dewasa ini, di Kabupaten Gianyar pembentukan desa diatur berdasarkan Peraturan
Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 13 Tahun 2002. Berdasatkan Pasal 4 Peraturan
Daerah tersebut, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk pembentukan desa adalah
sebagai berikut:
- Jumlah penduduk minimal 1.500 jiwa atau 300 kepala keluarga dan atau mempertimbangkan faktor perkembangan geografis;
- Luas wilayah yang terjangkau secara berdaya guna dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat;
- Tersedia jaringan perhubungan atau komunikasi antar Banjar yang letaknya memungkinkan terpenuhinya faktor luas wilayah;
- Tersedianya atau kemungkinan tersedianya sarana dan prasarana perhubungan, pemasaran, sosial, produksi dan Pemerintahan Desa;
- Terciptanya suasanayang memberikan kemungkinan adanya kerukunan hidup masyarakat dalam hubungannya dengan adat istiadat;
- Tersedianya tempat untuk mata pencaharian masyarakat;
- Memungkinkan kelancaran perkembangan desa yang selaras dan sesuai dengan tata pemerintahan Desa, tata masyarakat dan tata ruang Desa untuk mempertahankan keseimbangan lingkungan yang lestari.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kreteria efisiensi dan jumlah penduduk
yang dahulu digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menentukan
batas-batas wilayah desa masih tetap digunakan sampai saat ini. Dengan demikian
hubungan kewilayahan desa pakraman dan desa dinas yang terjadi pada pada saat
ini adalah tetap seperti yang dikemukakan oleh Hunger di atas, yaitu
kemungkinan wilayah desa pakraman dan desa dinas adalah sama atau wilayah desa
dinas tidak sama dengan wilayah desa pakraman, bisa lebih luas bisa lebih
sempit. Hubungan ini bisa dinamis, artinya bisa berubah akibat pemecahan desa
dinas ataupun pemecahan desa pakraman. Seperti misalnya yang terjadi di Desa
Keramas, sebelum tahun 1980 desa dinas Keramas meliputi dua wilayah desa
pakraman (dulu disebut desa adat), yaitu Desa Adat Keramas dan Desa Adat
Medahan. Pada tahun 1980, sebagai konskwensi perkembangan jumlah penduduk, Desa
Keramas dipecah menjadi dua desa dinas, yaitu Desa Keramas dan Desa Medahan.
Saat ini luas wilayah Desa Keramas sama dengan luas wilayah Desa Pakraman
Keramas, masing-masing mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:
a.
Sebelah
utara : Desa Belega;
b.
Sebelah
timur : Desa Medahan;
c.
Sebelah
selatan : Selat Badung;
d.
Sebelah
barat : Desa Pering.
Desa Keramas terletak
di Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar, letaknya sekitar 7 km dari Kota
Kecamatan Blahbatuh. Desa yang terletak daerah dataran ini mempunyai luas
wilayah sekitar 1453 km2 dengan jumlah penduduk 6860 jiwa. Secara adat, wilayah
desa ini terdiri dari 6 banjar, yaitu Banjar Maspait, Banjar Lebah, Banjar
Lodpeken, Banjar Palak, Banjar Gelgel dan Banjar Bia. Masing-masing banjar ini
dibagi lagi dalam tempekan-tempekan, yang di Keramas disebut Subak Banjar. Ke enam banjar ini sekaligus
merupakan banjar dinas dalam desa dinas Keramas[3].
Aspek Hubungan Kelembagaan
Secara struktural tidak
ada hubungan kelembagaan antara desa dinas dengan desa pakraman. Tinjauan
historis hubungan dua bentuk desa ini telah diuraikan di atas dalam pembahasan
tinjauan mengenai sejarah dualisme desa di Bali. Dari uraian tersebut dapat
diketahui bahwa secara kelembagaan hubungan desa dinas dan desa pakraman adalah
hubungan yang bersifat kordinatif dan konsultatif. Sifat hubungan demikian pernah ditegaskan dalam
Pasal Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 06 Tahun 1986. Dalam bentuk hubungan
demikian terkandung makna bahwa dua bentuk desa tersebut melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya masing-masing secara otonom, tetapi baik desa dinas maupun
desa pakraman akan selalu berkordinasi dan berkonsultasi jika dalam pelaksanaan
tugas dan kewewenangan masing-masing terdapat hal-hal yang perlu
dikoordinasikan dan dikonsultasikan.
Dalam Paraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 yang menggantikan Peraturan Daerah Nomor 06
Tahun 1986 bentuk hubungan kordinatif dan konsultatif tidak disebutkan lagi. Secara
implisit, hubungan desa pakraman dengan pemerintah (termasuk pemerintahan desa)
kemudian dapat dilihat dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
2001. Dalam pasal-pasal yang mengatur tugas dan wewenang desa pakraman ini
disebutkan adanya suatu hubungan dengan pemerintah yang dapat disebut sebagai
hubungan yang bersifat kemitraan dan partisipatif. Pasal 5 huruf d menyatakan
bahwa desa pakraman mempunyai tugas “…bersama-sama pemerintah melaksanakan
pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan
kemasyarakatan”. Istilah “bersama-sama pemerintah” menunjukkan bahwa desa
pakraman adalah mitra pemerintahan desa dalam pelaksanaan pembangunan.
Selanjutnya, dalam Pasal 6 huruf b dinyatakan bahwa desa pakraman mempunyai
wewenang “…turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan
pembangunan yang ada dilingkungan wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri
Hita Karana”. Ketentuan demikian dapat diterjemahkan bahwa desa pakraman
mempunyai hubungan dengan pemerintah yang bersifat partisipatif. Hubungan
partisipasi demikian oleh Talziduhu Ndraha disebut sebagai partisipasi vertikal[4], yaitu partisipasi (pengambilan bagian
dalam kegiatan bersama) masyarakat desa secara keseluruhan dengan pemerintah.
Dalam praktek, walaupun secara
kelembagan desa dinas dan desa pakraman mempunyai struktur kelembagaan
masing-masing, tetapi hubungan yang bersifat kordinatif dan konsultatif dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing tetap dipelihara dan dikembangkan.
Di Desa Keramas, hubungan antara pemerintahan desa dinas dan desa pakraman
menjadi lebih harmonis karena jabatan Kelian Banjar Adat dan jabatan Kelian
Banjar Dinas dirangkap oleh satu orang. Perangkapan jabatan tersebut dilakukan
secara bertahap pada masing-masing banjar sejak tahun 2001 ketika terjadi
pergantian Kelian Banjar Adat Maspait dan tuntas pada tahun 2005, ditandai
dengan pasikian (perangkapan) jabatan
adat dan dinas Banjar Bia. Dengan pesikian
klian banjar adat lan dinas (perangkapan jabatan adat dan dinas) maka
dualisme pemerintahan desa pada tingkat banjar di Keramas tidak dirasakan lagi
oleh masyarakat, walaupun kadang-kadang masih ada kebingungan para klihan banjar mengenai kapan mereka
berposisi sebagai klian banjar dinas
dan kapan dalam posisi sebagai klihan
banjar adat. Kebingungan itu terjadi dalam melakukan hubungan dengan
atasan, yaitu Bendesa sebagai atasan dalam aktivitas adat dan Perbekel sebagai
atasan dalam aktivitas kedinasan.
[1] Lihat F.W.F, Hunger, op.cit., hal. 6
[2] F.W.F, Hunger, op.cit., hal. 6.
[3] Desa Keramas, 2004-2005, Profil Pembangunan Desa Keramas, hal.
1-5. Lihat pula Desa Adat Keramas, tanpa tahun, Awig-awig
Miwah Pararem-Pararaem, hal. 1.
[4] Secara teoritis, partisipasi masyarakat
desa dalam kegiatan pembangunan dapat berupa partisipasi horozontal, yaitu
partisipasi antara sesama warga, dan dapat berupa partisipasi vertikal, yaitu
partisipasi masyarakat secara keseluruhan dengan pemerintah. Tingkatan
partisipasi tersebut dapat berupa: partisipasi dalam perencanaanb pembangunan,
partisipasi dalam operasional pembangunan, partisipasi dalam menerima hasil
pembangunan, dan partisipasi dalam menilai pembangunan. Lihat Taliziduhu Ndraha, 1986, Materi Pokok Pembangunan Masyarakat,
Departemen endidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka, Jakarta, hal. 4 dan 27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar