Laman

Senin, 05 September 2011

Kertas Kerja



BEBERAPA PEMIKIRAN KEARAH PEMBARUAN HUKUM ADAT BALI
UNTUK PEREMPUAN DAN ANAK*)

Oleh: I Ketut Sudantra


1.            PERKAWINAN
1.1.    Bentuk perkawinan
Selama ini dalam hukum adat (dresta) Bali,  bentuk perkawinan yang dikenal adalah:
a.   Perkawinan Biasa, yaitu: dalam perkawinan pihak laki-laki berstatus purusa, dan pihak perempuan berstatus pradana. Purusa dalam pengertian ini adalah: sebagai pelanjut keturunan dalam keluarga.
b.   Perkawinan Nyeburin atau Nyentana: dalam perkawinan ini pihak perempuan sebagai purusa, sedangkan mempelai laki-laki yang berstatus pradana. Pada awalnya, perkawinan nyebutrin dilakukan dalam upaya untuk mencegah putusnya garis keturunan dalam keluarga, tetapi perkembangan selanjutnya adalah untuk tetap mempertahankan anak perempuan tersebut dalam keluarga.

Masalah:
(1)       Dibeberapa daerah, tidak dikenal (tidak diakui) perkawinan nyeburin, sehingga menimbulkan permasalahan tersendiri bagi keluarga yang tidak mempunyai anak laki-laki. Karena semua anak kandung (perempuan) sudah kawin keluar, sehingga warisan dan pemeliharaan pewaris dimasa tua menjadi tanggungjawab ahli waris terdekat (keponakan). Dalam situasi demikian, tidak selalu ada hububungan batin antara pewaris dengan ahli waris, sehingga beberapa orang tua (pewaris) memilih jalan: “mekidihang raga (mekidihang dewek)” kepada menantunya. Hal ini perlu mendapat perhatian Pesamuan MUDP-Bali
(2)       Suksesnya keluarga berencana di Bali, memungkinnya hubungan cinta antara sesama putra  tunggal dengan putri tunggal, sehingga menjadi dilema bagi keluarga tersebut untuk memilih bentuk perkawinan biasa atau nyeburin. Saat ini, dalam masyarakat tumbuh dan berkembang bentuk perkawinan baru, yaitu perkawinan “pada gelahang”. MUDP perlu menyikapi bentuk perkawinan feniomena baru ini dalam Pesamuan Agung.

1.2.    Perkawinan beda wangsa
Meskipun sejak tahun 1951, secara yuridis formal perkawinan beda wangsa (asupundung dan alangkahi karanghulu) tidak dilarang lagi, dalam artian tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran adat, tetapi secara sosiologis perkawinan beda wangsa masih menyisakan persoalanpersoalan krusial dalam masyarakat, menyangkut tatacaranya, serta akibatnya bila terjadi perceraian. Paruman MUDP perlu mengambil sikap mengenai hal ini dengan menegaskan bahwa: tatacara perkawinan beda wangsa (laki-laki atau perempuan dalam derajat wangsa yang “lebih tinggi”) adalah sama dengan tatacara perkawinan “pepadan” (sederajat), sehingga hal itu akan membawa imlpikasi yang sama apabila terjadi perceraian. Dengan begitu, upacara Patiwangi dan menek wangi tidak diperlukan lagi.

1.3.    Perkawinan antar adat, antar agama, dan antar bangsa
Dalam jaman global (”aor tanpa wates/aor tanpa tepi””) sekarang ini, akan semakin sering terjadi perkawinan antara mempelai orang Bali Hindu dengan orang dari luar Bali, baik karena perbedan adat, agama, maupun bangsa. Paruman MUDP perlu mecermati hal ini untuk dapat memberikan sulusi terbaik.


2.           PERCERAIAN

Bebarapa permasalahan dalam perceraian yang perlu mendapat perhatian Pesamuan MUDP-Bali adalah hal-hal berikut:

(1)       Tatacara Perceraian
Menurut hukum nasional (UU No 1 Tahun 1974) perkawinan sah secara agama, sedangkan perceraian baru dianggap terjadi (sah) apabila telah diputus oleh Pengadilan. Secara tyuridis formal, upacara adat dan agama tidak mempunyai nilai hukum dalam perceraian. Hal ini perlu mendapat perhatian dalam Pesamuan MUDP mengenai pentingnya acara perceraian menurut adat dan atau agama.

(2)       Akibat Hukum Perceraian
a.     Akibat hukum terhadap status suami-istri setelah perceraian
Tidak menjadi masalah terhadap kedudukan pihak yang berstatus purusa (suami dalam perkawinan biasa/istri dalam perkawinan nyeburin). Masalah terjadi terhadap pihak yang berstatus pradana dalam perkawinan terutama dalam perkawinan” nyerod” (pihak perempuan dalam perkawinan biasa atau laki-laki dalam perkawinan nyeburin, turun wangsa). Dalam perkawinan “papadan” (wangsa sederajat), setelah perceraian  pihak yang berstatus pradana dapat diterima kembali di keluarga asal dengan status “mulih deha” (dalam perkawinan biasa) atau “mulih teruna” (dalam perkawinan nyeburin), sehingga hak dan kewajibannya kembali seperti sebelum kawin.
Pesamuan Agung MUDP perlu memberi perhatian terhadap kedudukan  hukum pihak yang berstatus pradana ini setelah perceraian dalam hal perkawinannya “nyerod”

b.     Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan anak
Sesuai dengan prinsip hukum kekeluargaan purusa, anak yang lahir dalam perkawinan menjadi “milik” keluarga purusa, dengan demikian maka perceraian memutuskan hubungan hukum (hak dan kewajiban, tanggungjawab) antara anak dengan ibu (dalam perkawinan biasa) atau bapak (dalam perkawinan nyeburin). Hal ini perlu mendapat perhatian Pesamuan Agung MUDP-Bali, terutama dalam pengasuhan anak di bawah umur. Perlu dipertimbangkan format hukum adat yang memihak “kepentingan terbaik bagi anak”, misalnya hak asuh dapat diberikan kepada ibu dengan catatan hak dan kewajiban anak dalam keluarga (purusa) tidak menjadi putus. Formatnya, misalnya: anak boleh ikut ibunya sampai umur tertentu (difinisi anak menurut undang-undang perlindungana anak: kurang dari 18 tahun), dengan catatan anak tersebut tetap mengikuti dan atau melakukan upacara agama dirumah keluarga kepurusal (ngodalin, meotonan, dll)

c.     Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan harta perkawinan
Harta perkawinan dapat berasal dari 3 (tiga) sumber, yaitu:
(a)  Harta bawaan : berasal dari warisan, pemberian orang tua (bekel, tetatadan), hibah, hadiah, hasil usaha sendiri (sekaya)
(b)  Harta bersama (pegunakaya): semua harta yang diperoleh selaam perkawinan berlangsung.
Menurut hukum yang berlaku (hukum nasional), dalam perceraian maka harta bawaan kembali masing-masing pihak sedangkan mengenai harta bersama (pegunakaya) oleh hukum nasional pengaturannya diserahkan kepada hukum adat. Dalam hukum adat Bali dimasa lalu atau dresta kuna(sebelum UU Nomor 1 Tahun 1974, terutama jaman Raad Kerta) kedudukan harta bersama setelah perceraian sangat tidak adil gender. Ketentuannya adalah: apabila pihak yang bersalah dalam perceraian adalah suami, harta dibagi tiga, dua bagian untuk suami dan satu bagian untuk istri. Dalam hal kesalahan dipihak istri, dalam hal ini istri tidak berhak menuntut harta.
Yuirisprudensi  sudah mengubah hukum adat ini dengan menyatakan: sepanjang dapat dibuktikan harta itu adalah harta bersama, maka harta bersama dibagi dua sama rata antara (bekas) suami-istri.
Paruman MUDP perlu menyikapi hal ini, karena:
(a)  Dalam beberapa awig-awig desa pakraman masih ada awig yang mengikuti dresta kuno di atas. Jadi ada konflik norma yurisprudensi vs awig-awig.
(b)  Masih perlu dipertimbangkan, pembagian untuk anak (dalam hal ada anak) demi kepentingan terbaik bagi anak. Misalnya dengan format: (1) harta dibagi tiga, masing-masing untuk suami, istri, dan anak; atau (2) harta dibagi tiga, 2 bagian untuk suami (yang bertanggungjawab terhadap anak), 1 bagian untuk istri.

3.           ANAK
Dilihat dari status/kedudukannya, anak dapat digolongkan dalam 2 golongan:
1.           anak sah (anak kandung yang lahir dari perkawinan yang sah, dan anak angkat). Mengenai kedudukan anak sah, tidak ada permasalahan krusial, kecuali dalam hal terjadi perceraian orang tuanya (sudah disebut di atas) dan anak di bawah umur yang  ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Dalam hal ditinggal mati oleh ayahnya, sedangkan ibunya kawin lagi, hukum adat memberi hak asuh (pemeliharaan) kepada keluarga purusa terdekat, tetapi dalam jaman dimana masyarakat semakin individualistis, kadang-kadang kondisi itu tidak nyaman bagi tumbuh kembang anak, sehingga perlu diberikan peluang kepada ibunya hak asuh terhadap anak .
2.           anak luar kawin: anak yang lahir dari hubungan seksual di luar perkawinan yang sah, meliputi bebinjat, dan astra. Terlepas dari pengertian astra yang masih beragam, kedudukan bebinjat dan astra dalam keluarga harus mendapat solusi. Paruman MUDP perlu megaskannya dalam bentuk keputusan, yang pada intinya mesti mengarah kepada ”kepentingan terbaik bagi anak”. Misalnya: anak bebinjat diangkat anak/cucu oleh paman/kakeknya. Sedang untuk astra, karena persoalannya bermula dari  perkawinan beda wangsa, sulusinya terletak pada pentingnya menghilangkan sekat-sekat wangsa dalam perkawinan.


4.           PEWARISAN
Sesuai system kekeluargaan kapurusa (patrilineal), keturunan laki-laki (purusa) mempunyai nilai yang lebih penting daripada keturunan perempuan (pradana), karena laki-laki yang dianggap mempunyai tanggungjawab (swadharma) dalam keluarga, seperti :  meneruskan keturunan dalam keluarga tersebut;  bertanggungjawab terhadap orang tua dimasa tua, setelah meninggal, diaben, sampai leluhurnya disemayamkan dan di-sungsung di sanggah/merajan kemulan Sedangkan keturunan yang berstatus pradana (anak perempuan, anak yang diangkat anak oleh orang lain, anak laki-laki yang kawin nyeburin) dianggap meninggalkan tanggungjawab keluarga (ninggal kedaton), sehingga kehilangan haknya (swadikara) sebagai ahli waris. Golongan orang yang termasuk ninggal kedaton adalah:
(1)       Perempuan yang melangsungkan perkawinan biasa;
(2)       Laki-laki yang kawin nyeburin (nyentana);
(3)       Anak yang diangkat anak oleh orang lain;
(4)       Anak yang dipecat sebagai anak oleh orang tuanya (pegat mepianak);
(5)       Meninggalkan keluarga (ngumbang) dalam waktu puluhan tahun dan tidak diketahui domisilinya;
(6)       Menyerahkan diri (mekidihang raga) kepada orang lain;
(7)       Tidak lagi memeluk agama Hindu.
Konsep kepurusa dan ninggal kedaton masih relevan dipertahankan, tetapi kedudukan perempuan perlu mendapat perhatian dalam pewarisan. Terhadap harta warisan yang mempunyai nilai magis (sanggah/merajan) dan tidak dapat dibagi, dan harta yang merupakan peninggalan leluhur (turun temurun), mesti tetap diwariskan kepada anak laki-laki sesuai dresta, tetapi Paruman Agung MUDP perlu mempertimbangkan untuk membuat keputusan, sebagai berikut:
(1)       Orang tua atau saudara (dalam hal orang tua sudah meninggal) berhak memberikan bekal harta kepada anak  yang ninggal kedaton di atas, yaitu harta yang berupa harta pegunakaya (harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung), dengan catatan pemberian tersebut tidak boleh merugikan ahli waris yang ada (Yurisprudensi menentukan maksimal 1/3 dari harta pegunakaya)
(2)       Semua anak sah (anak kandung/anak angkat), laki-laki maupun perempuan, mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta warisan, selama yang bersangkutan belum ninggal kedaton.


____________________


*) Kertas Kerja dalam Lokakarya Pra Pesamuan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar