TRI
SEMAYA HUKUM ADAT BALI:
POTRET PERKEMBANGAN
HAK PEREMPUAN BALI DALAM HUKUM KELUARGA[1]
Oleh: I Ketut
Sudantra[2]
1. Pendahuluan

Sebagaimana
kalimat orang bijak: ”tidak ada yang abadi di dunia ini, yang abadi justru
perubahan itu sendiri”, Bali pun tidak luput dari perubahan itu, bahkan
belakangan ini dirasakan semakin spektakuler sebagai akibat dari ”tsunami”
globalisasi. Dalam merespon perubahan, masyarakat Bali memang telah mempunyai
filter yang sudah terbukti kehandalannya dalam mengharmonikan nilai-nilai baru
yang dibawa perubahan tersebut dengan kondisi tempat, waktu dan keadaan (desa, kala, patra) namun perubahan
tersebut haruslah tetap dikawal dengan pemikiran-pemikiran kritis.
Pikiran-pikiran kritis tersebut bisa digunakan untuk mengawal perubahan
tersebut agar tidak kebablasan, bahkan adakalanya pikiran kritis tersebut dapat
digunakan untuk mengawali perubahan agar perubahan berjalan ke arah yang
diinginkan. Itulah sebabnya dalam seminar ini saya ingin mengajak para pakar
untuk mendiskusikan perkembangan Hukum Adat Bali dalam tiga dimensi waktu: masa
lalu (atita), masa sekarang (nagata), dan terutama arahnya di masa
depan (wartamana). Mau ke mana hukum adat
Bali di bawa di masa depan? Mari kita diskusikan bersama.
Sesuai tema
seminar: ”Perempuan dalam Budaya, Adat dan Teologi Hindu”, maka diskusi
difokuskan pada perkembangan hak-hak perempuan Bali dalam hukum keluarga. Sebagai
pengantar diskusi, berikut akan dicoba diberikan ilustrasi mengenai
perkembangan hak-hak perempuan Bali dalam hukum adat, dengan terlebih dahulu
menjelaskan pengertian dan lingkup hukum keluarga, serta pondasi hukum keluarga
menurut Hukum Adat Bali.
2. Pengertian dan Lingkup Hukum Keluarga
Dalam
pengertian luas, hukum keluarga tidak hanya meliputi hubungan antara anak orang
tua dan kerabat, melainkan meliputi lapangan hukum yang lebih luas, yaitu
perkawinan dan pewarisan. Dengan ruang lingkup seperti itu maka hukum keluarga
dapat didifinisikan sebagai keseluruhan norma-norma hukum, tertulis maupun
tidak tertulis, yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan
hubungan kekeluargaan, baik yang diakibatkan oleh hubungan darah maupun yang
diakibatkan oleh suatu perbuatan hukum tertentu.
Hubungan hukum
adalah hubungan yang berisi hak dan kewajiban. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan hubungan hukum kekeluargaan adalah hubungan yang berisi hak dan
kewajiban antara orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga. Pada umumnya
hubungan hukum kekeluargaan ditimbulkan oleh adanya hubungan darah, seperti
yang terjadi antara anak kandung dengan orang tua kandungnya. Tetapi mesti
diingat, hubungan darah tidak selalu menimbulkan hubungan hukum kekeluargaan,
seperti yang terjadi antara anak luar kawin (Bali: bebinjat) yang tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan
ayah biologisnya. Sebaliknya, hubungan hukum kekeluargaan tidak selamanya hanya
terjadi karena adanya hubungan darah. Perbuatan-perbuatan hukum tertentu dapat
menimbulkan hubungan hukum kekeluargaan yang isinya sama dengan hubungan hukum
kekeluargaan yang diakibatkan oleh hubungan darah. Pengangkatan anak dan
perkawinan adalah contoh untuk hubungan kekeluargaan yang tidak diakibatkan
oleh hubungan darah. Dalam pengangkatan anak, seorang anak yang tidak mempunyai
hubungan darah dengan orang tua angkatnya dapat diikat dalam suatu hubungan
hukum kekeluargaan yang isinya sama dengan hubungan antara anak kandung sah dengan
orang tua kandungnya. Demikian juga dengan hubungan perkawinan. Dua orang yang
sebelumnya tidak berhubungan darah diikat dalam suatu ikatan perkawinan di mana
terbentuk hubungan kekeluragaan yang menimbulkan hak dan kewajiban di bidang
hukum keluarga.
3. Prinsip-prinsip Dasar dalam Hukum Keluarga
Sistem
kekeluargaan yang dianut oleh suatu masyarakat sangat berpengaruh dalam
menentukan hubungan-hubungan hukum kekeluargaan, perkawinan dan pewarisan. Yang
dimaksudkan dengan sistem kekeluargaan adalah sistem yang menyangkut cara
menarik garis keturunan dalam suatu keluarga. Derajat hubungan antara seorang
anak dengan orang tua serta kerabatnya sangat ditentukan oleh sistem
kekeluargaan ini. Pada masyarakat Jawa yang bersistem kekeluargaan parental,
hubungan antara anak dengan kedua orang tuanya beserta kerabatnya mempunyai
derajat yang sama. Hal itu berbeda dengan masyarakat Minangkabau yang
matrilineal atau masyarakat Bali yang patrilineal. Pada masyarakat Minangkabau,
keturunan dilacak dari garis ibu. Menurut hukum adat setempat, seorang anak
hanya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ibunya, sedangkan ayah tetap
berstatus dalam lingkungan keluarganya sendiri. Pada masyarakat Bali yang
bersistem patrilineal (Bali: purusa),
derajat hubungan antara seorang anak dengan orang tua memang sama, tetapi
derajat hubungan dengan kerabat dari pihak ayah dan pihak ibu berbeda. Seorang
anak hanya mempunyai hubungan hukum dengan kerabat (paman, bibi, kakek, nenek)
dari pihak ayah, sedangkan dengan kerabat dari pihak ibu sama sekali tidak
mempunyai hubungan hukum kekeluargaan. Hubungan-hubungan yang terjadi antara
seorang anak dengan kerabat dari pihak ibunya hanyalah hubungan-hubungan yang
bersifat sosial dan moral saja.
Paling tidak
terdapat tiga prinsip dasar dalam sistem kekeluargaan purusa[4]. Pertama, keturunan dilacak dari garis
laki-laki (ayah). Berdasarkan prinsip ini, seorang anak hanya meneruskan garis
keturunan dari pihak ayah, sehingga yang masuk dalam silsilah keluarga seorang
anak adalah individu-individu yang termasuk dalam keluarga pihak ayah saja. Prinsip kedua, dalam perkawinan biasa, seorang
istri dilepaskan hubungan hukum kekeluargaannya dengan keluarga asalnya untuk
selanjutnya masuk dalam lingkungan keluarga suaminya (istri ikut suami). Dengan
demikian, tanggungjawab hukum (hak dan kewajiban) seorang anak perempuan di keluarga
asalnya (orang tuanya dan kerabatnya) berakhir sejak dilaksanakannya upacara mepejati (banyak pihak menyebut: mepamit) di tempat persembahyangan
keluarga(sanggah/merajan) asalnya dan selanjutnya melaksanakan
tanggungjawabnya sekala niskala (lahir bathin) sebagai istri di lingkungan
keluarga suaminya. Dalam bentuk perkawinan biasa ini, si suami berstatus
sebagai purusa sedangkan istri
berstatus sebagai pradana. Kondisi
berbeda terjadi pada perkawinan nyeburin
di mana si istri yang sudah ditingkatkan statusnya sebagai sentana rajeg yang berstatus sebagai purusa, sedangkan si suami berstatus sebagai pradana yang dilepaskan hubungan hukum kekeluargaannya dengan
keluarga asalnya. Kondisi ”meninggalkan tanggungjawab dalam keluarga” inilah
yang lazim disebut sebagai ninggal
kedaton[5] yang berimplikasi
pada putusnya hak mewaris seorang anak yang kawin keluar atau diangkat anak
oleh orang lain, sebab dalam hukum adat Bali pewarisan pada prinsipnya berisi
hak dan kewajiban sekala niskala
(lahir bathin) dalam keluarga. Prinsip ketiga dalam sistem kekeluargaan purusa
adalah konskwensi dari dua prinsip di atas, yaitu anak yang lahir dari suatu
perkawinan yang sah menjadi ”milik” keluarga dari pihak purusa.
4. Hak-hak Perempuan Bali
Dari pemahaman
akan prinsip-prinsip sistem kekluargaan purusa
inilah dapat dilihat hak-hak perempuan Bali dalam hukum keluarga, di masa lalu,
sekarang, dan perspektif pada masa yang akan datang. Berbicara mengenai hak perempuan
dalam hukum keluarga, orang umumnya hanya terfokus pada hak waris, di mana tampak
hak antara laki-laki dan perempuan terbalik seratus depalan puluh derajat
derajat. Sesungguhnya, di luar hak waris terdapat hak-hak perempuan yang patut
mendapat perhatian, seperti: hak untuk memilih jodoh, hak-haknya dalam
perkawinan ataupun setelah setelah perceraian, terutama menyangkut anak dan
harta perkawinan.
4.1. Hak
Perempuan Bali Terhadap Harta Keluarga
Harta keluarga
dilihat dari asalnya dapat meliputi: harta yang bersumber dari warisan orang
tua (harta warisan; Bali: tetamian),
harta yang di bawa oleh masing-masing ke dalam perkawinan, baik karena hasil
usaha sendiri ataupun pemberian orang tua (harta bawaan, Bali: tetatadan), harta yang bersumber dari
hadiah perkawinan, dan harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung
(harta bersama; Bali: pagunakaya).
Hak-hak perempuan Bali terhadap masing-masing jenis harta itu dalam
perkembangannya mengalami perubahan-perubahan yang bervariasi.
a. Hak Perempuan Terhadap Harta
Ketika Masih Gadis
Di masa lalu,
hak perempuan Bali terhadap harta memang sangat lemah. Jangankan terhadap harta
warisan di mana sejak dulu hingga sekarang perempuan belum diakui sebagai ahli
waris terhadap harta peninggalan orang tuanya, bahkan terhadap harta yang
diperolehnya sendiri pun kedudukan perempuan di masa lalu sangatlah lemah.
Saking lemahnya kedudukan perempuan saat itu, terkesan bahwa sosok perempuan
bukanlah subyek hukum (pendukung hak dan kewajiban) melainkan hanyalah
dipandang sebagai obyek hukum di mana perempuan dianggap sebagai ”milik”.
Ketika masih gadis perempuan adalah milik ayahnya, ketika kawin ia adalah milik
suaminya. Ketika seseorang adalah milik pihak lainnya, maka apapun yang melekat
padanya (termasuk harta) adalah milik dari orang yang memiliki orang itu.
Dipikir dengan perspektif masa kini, nilai-nilai dan norma hukum seperti itu
sepertinya mustahil, tetapi itu adalah suatu kenyataan di masa lampau. Sebuah
keputusan pengadilan di Singaraja berangka tahun 1942 dalam pertimbangan
hukumnya menyebutkan bahwa seorang anak
perempuan berikut hartanya dikuasai oleh orang tuanya karena itu perhiasan
dirinya pun tidak boleh dibawa kawin[6].
Bahkan sebelumnya, di tahun 1932
tercatat sebuah keputusan pengadilan di Karangasem yang menghukum
seorang anak perempuan untuk mengembalikan sejumlah uang kepada ayahnya yang ia
bawa kawin[7].
Kini, nilai-nilai dan norma hukum demikian telah ditinggalkan. Tidak sedikit
perempuan yang di masa gadisnya bekerja di sektor nafkah mampu menabung dan membawa
hartanya ke dalam perkawinan sebagai harta bawaan (akaskaya).
b. Hak Perempuan Bali Terhadap
Harta Warisan
Mengenai
kedudukan perempuan terhadap harta warisan, sejak dulu sampai saat ini the facto perempuan bukanlah sebagai
ahli waris. Anak perempuan hanya berhak untuk memanfaatkan dan menikmati harta
orang tuanya untuk nafkah hidupnya selama ia belum kawin ke luar. Tetapi di akhir
tahun 2010 lalu Majelis Desa Pakraman Bali melakukan terobosan yang sangat progresif.
Melalui sebuah Keputusan Pesamuan Agung III Majelis Utama Desa (MDP) Pakraman
Bali Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010
tertanggal 15 Oktober 2010, telah diputuskan, antara lain:
(1) Anak
kandung (laki-laki dan perempuan) serta anak angkat (laki-laki dan perempuan)
berhak atas harta gunakaya orang
tuanya, sesudah dikurangi sepertiga sebagai druwe
tengah (harta bersama), yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh anak yang nguwubang (melanjutkan swadharma atau
tanggung jawab) orang tuanya.
(2)
Anak yang berstatus sebagai kapurusa berhak atas satu bagian dari
harta warisan, sedangkan yang berstatus pradana/ninggal
kedaton terbatas berhak atas sebagian atau setengah dari harta warisan yang
diterima oleh seorang anak yang berstatus kapurusa[8].
Terlepas dari masih adanya
penolakan beberapa kalangan terhadap putusan ini, banyak pihak (terutama dari
pegiat kesetaraan gender) berharap putusan ini membuka pintu bagi perubahan
kedudukan perempuan Bali terhadap harta warisan di dalam hukum adat Bali di
masa depan kearah kedudukan yang berkeadilan gender.
c. Hak Perempuan Bali Terhadap
Harta Selama Perkawinan Berlangsung
Belum
ditemukan cukup catatan yang memadai untuk menyimpulkan apa yang terjadi di masa
lampau mengenai kedudukan seorang perempuan terhadap harta selama perkawinan
berlangsung. Tetapi apabila dilihat kedudukan perempuan yang bukan sebagai ahli
waris, dapat diduga bahwa akses dan kontrol perempuan terhadap harta perkawinan
juga lemah. Dugaan itu didasarkan atas argumentasi berikut. Pertama, perempuan
bukan ahli waris. Perempuan juga tidak dapat membawa harta yang diperolehnya
selama masih gadis ke dalam perkawinan. Jika kontribusi perempuan tidak ada (nihil)
terhadap pembentukan harta perkawinan maka akses dan kontrol terhadap harta itu
pun akan menjadi lemah. Hal itu sekaligus membuat perempuan berada pada posisi
yang lemah untuk bisa mengambil manfaat yang maksimal terhadap harta tersebut.
Dewasa ini,
kondisinya sudah jauh lebih baik. Secara normatif kedudukan yang seimbang
antara suami dan istri terhadap harta selama perkawinan berlangsung telah
dijamin oleh hukum negara. Dalam Undang-undang Perkawinan terdapat pasal-pasal
yang menjamin hal itu, seperti Pasal 31 yang menyebutkan:
(1) Hak
dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2)
Masing-masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum.
Berkaitan dengan kedudukan
suami istri terhadap harta bersama, Undang-undang Perkawinan dengan tegas
menyebutkan bahwa mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak, sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing,
suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai harta bendanya (Pasal 36).
Asas hukum
yang termuat dalam Undang-undang Perkawinan di atas telah diadopsi dalam
Keputusan Pesamuan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali, dengan menyatakan
bahwa ”Selama dalam perkawinan, suami dan istrinya mempunyai kedudukan yang
sama terhadap harta gunakaya-nya
(harta yang diperoleh selama dalam status perkawinan)”[9].
d. Hak Perempuan Bali terhadap Harta dalam Hal Terjadi
Perceraian
Dengan
ditegaskannya kedudukan suami istri yang seimbang antara suami dan istri
terhadap harta gunakaya selama
perkawinan berlangsung, maka hal itu akan membawa pengaruh yang sigifikan
apabila terjadi perceraian. Di masa lalu, ketika Pengadilan Kerta (Raad Kertha)
masih berlaku, putusan hakim mengenai masalah harta setelah perceraian sangat
merugikan kaum perempuan (bekas istri). Ketika itu, hakim hanya memberi hak
atas harta benda perkawinan kepada bekas istri apabila nyata-nyata yang
bersalah sebagai penyebab perceraian itu adalah pihak suami, sedangkan apabila
yang bersalah adalah istri, maka ia sama sekali tidak berhak atas bagian harta[10].
Asas hukum yang dianut oleh Pengadilan Kerta sejak pra kemerdekaan itu masih
dianut oleh hakim beberapa lama setelah kemerdekaan bahkan setelah Pengadilan
Kertha dibubarkan (1951) dan digantikan oleh Pengadilan Negeri. Tahun 1960
sebuah Putusan Pengadilan Negeri Singaraja masih memutuskan bahwa istri diberi
bagian atas pagunakaya karena memang
terbukti si suami dianggap bersalah daslam perceraian itu[11].
Tampaknya asas
hukum yang dijadikan landasan oleh hakim dalam memutus kedudukan harta setelah
perceraian adalah asas yang dianut dalam Kitab Poerwa Agama yang dijadikan ”buku
saku” oleh hakim di jaman Raad Kertha. Pasal 101 Poerwa Agama menyebutkan
sebagai berikut:
”Janmane belas makoerenan
sapadroewenya jogja pah tiga; jan saking moeani mamelasin, polih kalih doeman,
iloeh polih adoeman. Jan saking iloeh mamelasin, tan wenang poelih doeman; maka
sami jogja kadroewe antoek sane moeani”
(terjemahan
bebas: Orang yang bercerai, hartanya dibagi tiga. Jika yang laki-laki yang
menyebabkan perceraian, ia dapat dua bagian, yang perempuan satu bagian. Jika yang
menyebabkan perceraian adalah pihak perempuan, ia tidak dapat bagian, semua
harta dimiliki oleh yang laki-laki)
Jaman berganti, nilai-nilai keadilan dalam
masyarakat pun berubah. Sejak 1969 tidak ditemukan lagi putusan-putusan
pengadilan yang menggunakan faktor (pihak) penyebab perceraian sebagai dasar untuk
menentukan hak bekas suami dan bekas istri dalam pembagian harta. Sepanjang
dapat dibuktikan bahwa harta yang dijadikan sengketa itu adalah harta bersama (pagunakaya) maka Pengadilan selalu
memutuskan bahwa bekas suami dan bekas istri masing-masing mendapat hak yang sama terhadap harta tersebut[12].
Tampaknya asas-asas yang terkandung dalam
Undang-undang Perkawinan (1974) terkait dengan kedudukan suami istri
terhadap harta benda perkawinan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap
hakim Pengadilan Negeri di Bali dalam hal memutus sengketa harta benda
perkawinan sebagai akibat terrjadinya perceraian.
Sikap
pengadilan yang progresif bagi keadilan gender tersebut telah diadopsi pula
oleh Pesamuan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali, dengan memutuskan bahwa:
”Masing-masing pihak (bekas suami dan bekas istri, tambahan dari penulis)
berhak atas pembagian harta gunakaya
(harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsip pedum pada (dibagi sama rata)”[13]
4.2. Hak Perempuan
Bali Yang Bercerai terhadap Anak
Di atas sudah
dijelaskan mengenai hak perempuan Bali yang bercerai terhadap harta benda
perkawinan. Belakangan ini, seiiring dengan semakin meningkatnya kasus-kasus
perceraian di Bali, semakin sering pula timbul sengekta mengenai hak asuh anak.
Bagaimanakah hukum adat Bali memandang hak perempuan yang bercerai terhadap
anak?
Konsisten
terhadap sistem kekeluargaan purusa,
anak adalah penerus keturunan garis ayah. Dengan demikian, anak adalah hak
keluarga purusa, di mana si anak
menunaikan hak dan kewajiban pada keluarga ayahnya. Sementara itu, seorang
perempuan bercerai tidak lagi menjadi anggota keluarga purusa si anak, karena sejak perceraian tersebut ia telah putus
hubungan hukum kekeluargaannya dengan keluarga bekas suaminya. Dengan begitu,
putus pula hubungan hukum kekeluargaannya dengan si anak. Itulah prinsip hukum
adat Bali yang dianut sejak dulu, walaupun atas dasar alasan kemanusiaaan demi
kepentingan si anak, sejak dulu pula terjadi bahwa anak yang masih bayi ketika orang
tuanya bercerai dapat saja diasuh oleh ibunya untuk sementara waktu[14].
Namun demikian, anak yang terlalu lama meninggalkan keluarga si ayah untuk
tinggal bersama ibunya dapat dijadikan alasan untuk menggugurkan statusnya
sebagai ahli waris dalam keluarga ayahnya.
Sebagian
masyasarakat Bali –terutama yang peduli terhadap nasib perempuan dan anak
merasa bahwa norma hukum adat seperti di atas tidak adil bagi si ibu dan anak.
Ketika tokoh-tokoh adat di Bali berkumpul dalam Pesamuan Agung III Majelis Desa
Pakraman di mana aktivis-aktivis perempuan dan perlindungan anak juga hadir
sebagai peninjau, persoalan ini menjadi topik pembahasan sehingga Pesamuan akhirnya
memutuskan sebagai berikut: ”Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat
diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan
keluarga purusa, dan oleh karena itu
anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa”[15]
4.3.
Hak Perempuan
Memilih Jodoh Secara Bebas
a. Terbelenggu karena menghindari
perkawinan nyerod
Hak perempuan
yang sering luput dari perhatian adalah hak yang sama dengan laki-laki dalam
memilih suami. Pasal 16 ayat (1) Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap perempuan yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI melalui
Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tanggal 24 Juli 1984. Pelaksanaan hak ini pada
masa lalu banyak mengalami kendala terutama ketika masih kuatnya adat
perkawinan perjodohan (kajangkepang)
ataupun kawin paksa (amelagandang, kaejuk).
Dewasa ini cara-cara perkawinan kajangkepang dan amelegandang bukanlah jamannya lagi karena di samping bertentangan
dengan hukum negara (KUHP) cara-cara perkawinan tersebut sudah lama
ditinggalkan oleh masyarakat bali karena memang tidak sesuai lagi dengan
nilai-nilai yang dianggap patut oleh masyarakat. Namun demikian, bukan berarti
lalu hak perempuan Bali memilih suami secara bebas sudah terimplemntasi dengan
baik tanpa kendala sama sekali.
Di kalangan
kebanyakan perempuan Bali tampaknya hak memilih suami secara bebas sudah
terpenuhi tanpa adanya kendala. Tetapi pada sebagian masyarakat terutama yang
masih fanatik terhadap masalah kasta kekebasan tersebut masih menemui kendala, karena
sangat dihindari terjadinya perkawinan nyerod,
yaitu perkawinan antara perempuan dengan kasta lebih tinggi dengan
laki-laki yang kastanya lebih rendah. Dalam kondisi demikian, semakin tinggi
kasta seorang perempuan Bali semakin sedikit ”habitat”nya dalam memilih suami.
Di masa lalu,
perkawinan nyerod tidak hanya dihindari, melainkan merupakan suatu
perkawinan terlarang. Sejak jaman kerajaan hingga tahun 1951 berlaku larangan
perkawinan yang lazim dikenal dengan istilah ”asu pundung” dan ”alangkahi
karang hulu” [16], suatu larangan
perkawinan antara perempuan yang berkasta lebih tinggi dengan laki-laki dengan
kasta yang lebih rendah. Awalnya hukuman bagi pasangan yang melanggar larangan
ini adalah hukuman mati dengan ditenggelamkan hidup-hidup di laut dengan memberi pemberat pada tubuh korban
(disebut hukuman lebok atau labuh batu). Pemerintahan kolonial Belandalah
yang kemudian berjasa mengubah sanksi yang tidak berperikemanusaiaan ini. Melalui Paswara Residen Bali dan Lombok Tahun
1910 hukuman lebok diganti dengan hukuman pembuangan seumur hidup (selong) di luar Bali, kemudian pada
tahun 1927 melalui Paswara Residen Bali dan Lombok Nomor 352 JI.C.2 tertanggal
11 April 1927 hukuman yang ditetapkan tahun 1910 diperingan lagi menjadi
hukuman buang selama 10 tahun di wilayah Bali[17].
Walaupun
secara yuridis formal larangan perkawinan asu
pundung dan alangkahi karang hulu
telah dihapus melalui Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951, namun nilai-nilai
yang mendasari larangan tersebut secara sosiologis masih membekas pada sikap sebagian
masyarakat Bali. Beberapa fakta sosial yang mencerminkan masih dianutnya nilai
dan sikap demikian antara lain tampak dari penolakan sebagian orang terhadap
konsep mepadik (meminang) bila laki-laki jaba mengambil istri seorang perempuan
triwangsa[18] dan masih
dilakukannya upacara patiwangi bagi
perempuan triwangsa yang kawin nyerod.
Upacara patiwangi yang secara harfiah berarti: ”menggugurkan
keharuman/kehormatan”, mempunyai makna simbolik untuk menurunkan kasta
perempuan yang kawin nyerod sehingga
menjadi sederajat dengan kasta suaminya, dengan begitu tidak sederajat lagi dengan
kasta keluarga asalnya. Penurunan derajat kewangsan (kasta) ini tidak terlalu
menjadi persoalan bagi si perempuan selama perkawinannya berlangsung kecuali
berkait dengan hubungannya dengan keluarga asalnya yang tidak sama seperti dulu
lagi, seperti soal: parid keparid, sumbah
kesumbah, sor singgih basa. Tetapi menjadi persoalan yang sangat berat jika
perempuan tersebut kemudian bercerai dengan suaminya. Kemana perempuan itu
pulang? Menyikapi persoalan psikologis dan sosiologis di atas, Pesamuan Agung
III Majelis Desa Pakraman Bali dengan tegas memutuskan bahwa ”Upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi
terkait dengan upacara perkawinan”. Dalam Lampiran Keputusan Pesamuan Agung III
tersebut dijelaskan latar belakang keputusan ini bahwa upacara patiwangi dalam perkawinan nyerod bertentangan dengan hak asasi manusia
dan menimbulkan dampak ketidaksetaraan kedudukan perempuan dalam keluarga, baik
selama perkawinan maupun sesudah perceraian[19].
b. Terbelenggu jika sentana rajeg yang sulit jodoh
Masalah hak
perempuan untuk memilih suami secara bebas bertalian pula dengan bentuk
perkawinan. Awalnya, dalam masyarakat adat Bali hanya dikenal satu bentuk
perkawinan yang sekarang lazim dikenal dengan ”perkawinan biasa” (istri ikut suami). Hal ini konsisten dengan sistem
kekeluargaan purusa. Dalam
perkembangannya kemudian dikenal bentuk perkawinan nyeburin di mana seorang anak perempuan kawin kaceburin oleh laki-laki yang kemudian masuk sebagai pradana di rumah perempuan yang
berstatus sentana rajeg. Awal dikenalnya sentana rajeg ini dapat dilacak ketika jaman Kerajaan Bali, raja
mewajibkan tiap-tiap anggota desa sebagai pemegang tanah pecatu menjadi pekerja
wajib ke Puri Raja (ayahan kedalem),
untuk menghindari ”hak camput raja”,
kemudian Raja membolehkan satu keluarga yang hanya mempunyai anak perempuan untuk
menjadikan anak perempuannya itu sebagai sentana
(penerus keturunan) untuk mempertahankan ayahan
kedalem-nya itu. Itu sebabnya, sampai sekarang bentuk perkawinan nyeburin itu hanya dikenal dan diterima
umum pada daerah-daerah di mana dahulu berlaku hak camput raja, yaitu Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, dan Klungkung[20].
Di Kerajaan Tabanan, misalnya, syarat-syarat menjadikan anak perempuan sebagai sentana (selanjutnya dienal dengan
istilah: sentana rajeg) tertuang dalam
Peswara Raja Tabanan bertahun Icaka 1807
atau 1885 Masehi[21].
Dikaitkan
dengan hak-hak perempuan, banyak orang sudah cukup puas dengan dimungkinkannya
anak perempuan ditetapkan sebagai sentana
rajeg, karena dengan itu kedudukan
anak perempuan ditingkatkan sama seperti kedudukan anak laki-laki: penerus
keturunan dan sebagai ahli waris. Tetapi orang lupa, adakalanya ”jabatannya”
sebagai sentana rajeg membuat anak
perempuan itu menjadi terbelenggu haknya karena tidak leluasa dalam memilih
calon suami karena di jaman kesuksesan program Keluarga Berencana di Bali
sekarang ini mulai susah menemukan laki-laki yang bersedia untuk kawin nyeburin.
Menjadi
persoalan kemudian, apabila dua insan manusia berlainan jenis saling jatuh
cinta sementara masing-masing adalah anak tunggal dikeluarganya. Mereka
dihadapkan pada dua pilihan (kawin biasa
atau nyeburin) yang sama-sama tidak
bisa dipilihnya. Menghadapi persoalan ini keluarga yang ”kebrebehan” seperti ini rupanya mencari dan memilih jalannya
sendiri tanpa mengacu kepada hukum adat
(dresta) yang sudah berlaku.
Penelitian Wayan P. Windia dan kawan-kawan di awal tahun 2008[22]–di
mana saya ikut dalam tim peneliti bersama-sama anggota Pershada (Perhimpunan
Dosen Hukum Adat) Bali lainnya, menemukan 28 pasangan yang memilih model
perkawinan yang kemudian lazim disebut perkawinan pada gelahang. Temuan perkawinan pada gelahang ini tersebar hampir di semua kabupaten/kota di Bali,
kecuali di Bangli.
Berdasarkan hasil penelitian di
atas, faktor utama yang melatarbelakangi pasangan pengantin dan keluarganya
melangsungkan perkawinan pada gelahang
adalah kekhawatiran warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya –baik yang
berwujud material maupun immaterial,
tidak ada yang mengurus dan meneruskannya. Dalam hukum adat Bali, warisan tidak
hanya menyangkut hak (swadikara)
terhadap harta, melainkan juga menyangkut kewajiban (swadharma), seperti kewajiban memelihara orang tua di masa tua;
kewajiban meneruskan generasi; kewajiban melaksanakan penguburan atau upacara ngaben terhadap jenasah orang tua yang
telah meninggal, kewajiban terhadap roh leluhur yang bersemayam di sanggah/merajan (tempat persembahyangan
keluarga), dan kewajiban-kewajiban kemasyarakatan, seperti melaksanakan
kewajiban kepada kesatuan masyarakat hukum adat (banjar/desa pakraman/subak) di mana keluarga itu menjadi
anggotanya. Menurut hukum adat Bali, pengabaian terhadap swadharma tersebut dapat dijadikan alasan untuk menggugurkan status
seseorang sebagai ahli waris. Dari hasil penelitian tersebut terungkap pula
bahwa pada dasarnya proses dilangsungkannya perkawinan pada gelahang hampir sama dengan perkawinan biasa atau nyeburin.
Perbedaannya terletak pada adanya kesepakatan kedua mempelai dan keluarganya
yang dibuat sebelum terjadinya perkawinan bahwa kedua pihak sepakat melaksanakan
perkawinan pada gelahang, yang
intinya menegaskan bahwa perkawinan dilangsungkan dengan maksud agar keluarga
kedua belah pihak sama-sama memiliki keturunan yang nantinya diharapkan dapat
mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, baik
yang berupa kewajiban (swadharma)maupun
yang berupa hak (swadikara). Bentuk dan isi kesepakatan tersebut
bervariasi, tetapi umumnya sudah dibicarakan dan disepakati ketika proses memadik (lamaran) dilakukan yang
disaksikan perwakilan keluarga besar masing-masing dan prajuru adat (kepala adat).
Hasil penelitian ini kemudian
menimbulkan sikap pro dan kontra dalam masyarakat, sementara bentuk perkawinan pada gelahang semakin banyak terjadi.
Akhirnya, menyikapi fenomena tersebut Majelis Desa Pakraman Bali mengakui
keberadaan perkawinan pada gelahang melalui Keputusan Majelis Utama Desa
Pakraman Bali Nomor 01/Kep/PSM-3/MDP Bali/X/2010 tentang Hasil-hasil Pesamuhan
Agung III MDP Bali, dengan menyatakan sebagai berikut: ”Bagi calon pengantin yang
karena keadaannya tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau
nyeburin (nyentana), dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada gelahang atas
dasar kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan”[23].
Secara legal formal, bentuk
perkawinan pada gelahang ini sudah
diakui sebagai bentuk perkawinan yang sah dalam masyarakat Bali oleh
Yurisprudensi Mahkamah Agung. Melalui Keputusan Mahkamah Agung Nomor 1331
K/Pdt./2010 tertanggal 30 September 2010, Mahkamah Agung menyatakan hukum bahwa
perkawinan dengan status sama-sama purusa adalah sah menurut hukum[24].
Keputusan Mahkamah Agung ini adalah putusan kasasi dari kasus perdata yang
sebelumnya diadili di Pengadilan Negeri Denpasar tahun 2008 mengenai gugatan
seorang ibu tiri terhadap pasangan suami-istri yang dalam akte perkawinannya dinyatakan
sama-sama berstatus sebagai purusa[25]
Apabila bentuk perkawinan pada gelahang ini benar-benar sudah
diterima oleh masyarakat, maka hak perempuan Bali untuk memilih suami secara
bebas benar-benar sudah tidak menemui kendala yuridis maupun sosiologis.
5. Penutup
Demikian potret hak-hak
perempuan Bali dalam perspektif hukum adat di masa lampau, kini dan prospeknya
di masa depan. Beberapa hal yang ingin ditegaskan kembali sebagai penutup
tulisan ini adalah sebagai berikut:
(1) hukum
adat Bali di mana hak-hak perempuan juga diatur adalah hukum yang dinamis,
selalu berubah mengikuti kebutuhan hukum dan rasa keadilan masyarakat sesuai
perkembangan jaman. Hukum adat dapat berubah secara alami melalui perubahan
tingkah laku hukum warga masyarakat, dan juga bisa diubah secara sengaja melalui peraturan-peraturan hukum (law is a tool of a social engineering), baik melalui hukum yang dibuat oleh
Negara (peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim) ataupun yang dibuat
oleh masyarakat hukum adat itu sendiri (awig-awig,
pararem);
(2) bebarapa
norma hukum adat Bali di bidang hukum keluarga yang mengatur hak-hak perempuan
telah mengalami perubahan ke arah kesetaraan dan keadilan gender;
(3) Keputusan
Pesamuan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali yang di dalamnya
mengubah norma-norma hukum adat Bali terkait hak-hak perempuan cukup progresif
memberi arah bagi perkembangan hukum adat Bali di masa depan, namun masih perlu
disosialisasikan dan dinternalisasikan di masyarakat, baik dilingkungan
praktisi hukum (hakim, notaris, pengacara), lingkungan tokoh-tokoh adat dan
agama, serta masyarakat luas. Masih panjang jalan menuju kondisi di mana jiwa
Keputusan Pesamuan tersebut benar-benar menjadi pola perilaku nyata masyarakat
Bali.
DAFTAR BACAAN
Dijk
R.van, 1979, Pengantar Hukum Adat
Indonesia (terjemahan A. Soehardi), Sumur Bandung.
Jiwa
Atmaja, 2008, Bias Gender Perkawinan
Terlarang Pada Masyarakat Bali, Udayana University Press, Denpasar.
Panetja
Gde, 1986, Aneka Catatan tentang Hukum Adat Bali, CV Kayumas, Denpasar.
Korn
VE, 1978, Hukum Adat Kekeluargaan di Bali, terjemahan dan catatan-catatan oleh
I Gede Wayan Pangkat, Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum Fakultas Hukum &
Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, Denpasar.
Mahkamah Agung, 2010, Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1331 K/Pdt./2010 tanggal 30 September 2010.
Majelis
Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, Himpunan Hasil-hasil Pesamuan Agung III MDP
Bali.
Pasek
Diantha, 2003, “Studi tentang Sinkronisasi Nilai Tradisional Bali dengan Nilai
Hukum Negara”, Majalah IlmuHukum Kertha Patrika, Vol. 28 No 2, Juli 2003.
Sudantra
I Ketut, 2006, “Isu Gender Pada Perceraian di dalam Hukum Adat Bali”, Jurnal
Studi Gender Srikandi, Vol VI No 1 Tahun 2006.
Sudantra
I Ketut, 2007, ”Asupundung dan Alangkahi Karang Hulu: Ketidakadilan Gender
dalam Sistem Wangsa”, Jurnal Studi Gender Srikandi, Vol. VII Nomor 2 Th 2007.
Windia
Wayan P dan I Ketut Sudantra, 2006, Pengantar
Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi FH Unud.
Windia
Wayan P,dkk., 2009, Perkawinan Pada
Gelahang di Bali, Udayana University Press, Denpasar.
[1]
Makalah disampaikan pada seminar dengan
tema: ”Perempuan dalam Budaya, Adat, dan Teologi Hindu”, yang diselenggarakan
oleh Program Studi Magister (S2) Brahma Widya Program Pascasarjana IHDN
Denapsar, di Denpasar, tanggal 21 Desember 2011.
[2]
Penulis adalah dosen pengajar mata kuliah Hukum Adat Bali dan mata kuliah Gender dalam Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Udayana. Kini menjabat sebagai Sekretaris Pusat
Studi Wanita dan Perlindungan Anak (PSW&PA) Unud; Pengurus Harian Majelis Utama Desa Pakraman Bali
[3]
Bandingkan dengan van Dijk, 1979, Pengantar
Hukum Adat Indonesia (terjemahan A. Soehardi), Sumur Bandung, h. 10
[4] Lihat
lebih lanjut dalam Wayan P Windia dan I Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi FH Unud, h.79.
[5] Dalam
Keputusan Pesamuan Agung Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor
01/Kep/PSM-3/MDP Bali/X/2010 dijelaskan makna ningal kedaton, yaitu diartikan sebagai orang yang meninggalkan
tanggung jawab keluarga, sehingga tidak berhak atas harta warisan keluarga. Ninggal kedaton ini dibedakan antara ninggal kedaton terbatas dan ninggal kedaton penuh. Orang yang ninggal kedaton terbatas adalah orang
yang meninggalkan keluarga asalnya karena kawin ke luar atau diangkat anak oleh
keluarga lain di mana dalam batas-batas tertentu masih memungkinkan
melaksanakan swadharma (kewajiban) secara
sekala dan niskala sebagai umat Hindu di rumah keluarga asalnya; sedangkan
disebut ninggal kedaton penuh adalah
orang yang benar-benar meninggalkan swadharmanya
secara sekala dan niskala sebagai umat Hindu di keluarganya, misalnya karena pindah agama
dari agama Hindu. Lihat Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali, Himpunan Hasil-hasil Pesamuan Agung III MDP Bali, h. 42.
[6] Putusan
Pengadilan Kertha Singaraja Nomor 15/Sipil tanggal 11-5-1942, dalam Gde
Panetja, 1986, Aneka Catatan tentang
Hukum Adat Bali, CV Kayumas, Denpasar, h. 151.
[7]
Putusan Pengadilan Kerta Karangasem Nomor 185/1932, dalam Gde Panetja, ibid.
[8]
Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, op.cit.,
h.43
[9]
Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, op.cit., h. 43.
[10]
Putusan Raad Kertha Karangasem Nomor 12/Civ. Tanggal 13-10-1938; Putusan Raad
Kerta Denpasar Nomor 63/Civiel tanggal 18-9-1939; Putusan Raad Kerta Gianyar
Nomor 7/Sipil tanggal 19-6-1942. Lihat: Gde Panetja, op.cit. h. 152-153..
[11] Lihat:
Gde Panetja, op.cit., 152
[12] Uraian
lebih mendalam mengenai topik ini dapat dilihat dalam: I Ketut Sudantra, 2006,
“Isu Gender Pada Perceraian di dalam Hukum Adat bali”, Jurnal Studi Gender
Srikandi, Vol VI No 1 Tahun 2006, h. 38-40.
[13]
Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, op.cit., h. 47.
[14] Gde
Panetja menyatakan bahwa Pengadilan-pengadilan Adat (Raad Kertha) di Bali biasanya menyerahkan anak-anak yang masih
bayi untuk sementara waktu diasuh ibunya
hingga si bayi itu mencapai umur satu sampai satu setengah tahun hingga si anak
bisa dipisahkan dari ibunya. Lihat Gde panetja, op.cit., h. 211.
[15]
Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, op.cit., h.47
[16] Jiwa
Atmaja menjelaskan bahwa secara harfiah asu
pundung dapat diartikan ”menggendong anjing(asu)” yang menggambarkan seorang perempuan (berkasta) yang
menggendong anjing; sedangkan alangkahi
karang hulu berarti ”melompati kepala” dengan pengertian bahwa laki-laki
sudra yang mengawini perempuan ksatria atau waisya dianggap melakukan perbuatan
melangkahi ”wailayah sakral’ (karang hulu)
perempuan berkasta itu, yang pada gilirannya melangkahi kasta perempuan yang dianggap lebih tinggi itu. Lihat: Jiwa
Atmaja, 2008, Bias Gender Perkawinan
Terlarang Pada Masyarakat Bali, Udayana University Press, Denpasar, h.
148-149; Dalam Keputusan DPRD Bali Nomor 11 disebutkan pengertian asu pundung dan alangkahi karang hulu. Asu pundung adalah perkawinan antara
perempuan brahmana wangsa dengan laki-laki dari golongan kstaria wangsa
(kecuali ksatria dalem), waisya, dan sudra wangsa; sedangkan alangkahi karang hulu adalah perkawinan
antara perempuan ksatria wangsa dengan laki-laki waisya dan sudra wangsa atau
antara perempuan waisya wangsa dengan laki-laki sudra. Lihat: I Ketut Sudantra,
2007, ”Asupundung dan Alangkahi Karang Hulu: Ketidakadilan Gender dalam Sistem
Wangsa”, Jurnal Studi Gender Srikandi, Vol. VII Nomor 2 Th 2007, h.5.
[17] Jiwa
Atmaja, op.cit., h. 159
[18] Pasek
Diantha, 2003, “Studi tentang Sinkronisasi Nilai Tradisional Bali dengan Nilai
Hukum Negara”, Majalah IlmuHukum Kertha Patrika, Vol. 28 No 2, Juli 2003.,
h.86.
[19]
Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, op.cit., h. 45-46.
[20] Lihat:
VE Korn, 1978, Hukum Adat Kekeluargaan di Bali, terjemahan dan catatan-catatan
oleh I Gede Wayan Pangkat, Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum Fakultas Hukum
& Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, Denpasar, h. 90-93.
[21] Ibid., h.75.
[22] Hasil
penelitian yang semula berjudul: “Studi
Pendahuluan Pelaksanaan Perkawinan Pada Gelahang di Bali” (2008),
ini kemudian diterbitkan dalam bentuk
buku yang mendapat sambutan pro-kontra dalam masyarakat.. Lihat Wayan P. Windia, 2009,
Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Udayana University Press, Denpasar.
[23]
Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, op.cit., h. 46.
[24] Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor
1331 K/Pdt./2010 tanggal 30 September 2010.
[25] Lihat Putusan Pengadilan Negeri
Denpasar Nomor 273/PDT.G/2008/PN.Dps
termuat dalam Lampiran buku Wayan P.Windia, op.cit., h.176.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar