PEMERINTAHAN DESA PAKRAMAN
(Cuplikan Tesis I Ketut Sudantra, 2007, “Pelaksanaan Fungsi
Hakim Perdamaian Desa dalam Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa di Bali”, Program
Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 52-69)
Pengertian Desa Pakraman
Secara formal, istilah desa pakraman pertama kali digunakan dalam
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang ditetapkan pada
tanggal 21 Maret 2001. Dalam Pasal 1 angka 4 disebutkan pengertian desa
pakraman sebagai berikut:
Desa Pakraman
adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu
kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara
turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah
tangganya sendiri.
Sebelum
berlakunya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001, istilah yang
digunakan adalah istilah “desa adat” sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 06
Tahun 1986. Pasal 1 Perda 06 Tahun 1986 menyatakan bahwa:
Desa adat
adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Daerah Tingkat I Propinsi Bali yang
mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata pergaulan hidup masyarakat umat Hindu
secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga yang mempunya wilayah tertentu
dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Dari pengertian yang
diberikan oleh Peraturan Daerah 06 tahun 1986 dan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
2001 tersebut, maka jelaslah bahwa istilah desa adat dan istilah desa pakraman
mempunyai pengertian yang sama, walaupun ada sedikit pergeseran pada salah satu
pembentuk sekaligus pengikat desa pakraman, yaitu pada unsur parhyangan. Berdasarkan Peraturan Daerah
Nomor 06 Tahun 1986, keberadaan Kahyangan
Tiga adalah faktor mutlak yang harus dimiliki oleh suatu komunitas untuk
dapat disebut sebagai desa pakraman. Konsep kahyangan
tiga ini jelas, yaitu tiga kahyangan (pura) yang terdiri dari Pura Desa,
Pura Puseh, dan Pura Dalem. Berdasarkan
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001, keberadaan kahyangan tiga menjadi fakultatif, karena prinsip yang digunakan
adalah “Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa”. Dengan demikian, keberadaan
kahyangan tiga tidak lagi menjadi persyaratan mutlak sepanjang sudah ada Kahyangan Desa[1]
yang mengikat komunitas tersebut dalam suatu wadah desa pakraman. Dalam
realita, istilah desa adat sampai saat ini masih banyak digunakan oleh
masyarakat, namun dalam kajian ini akan dipergunakan istilah desa pakraman
sebab istilah ini telah menjadi istilah teknis yuridis.
Dari pengertian desa pakraman di atas maka desa pakraman adalah suatu
masyarakat hukum adat. Dalam kepustakaan hukum adat, istilah masyarakat hukum
adat yang lazim disebut dengan persekutuan hukum (rechtsgemeenschap) diartikan sebagai kelompok pergaulan hidup yang
bertingkah laku sebagai satu kesatuan terhadap dunia luar, lahir batin.
Kelompok-kelompok ini mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan
orang-orang yang ada di dalamnya masing-masing mengalami kehidupannya sebagai
hal yang sewajarnya, yang menurut kodrat alam, dan tidak ada seseorangpun dari
mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran kelompoknya itu.
Kelompok manusia tersebut mempunyai harta benda, milik keduniawian dan milik
gaib. Demikian
sarjana-sarjana hukum adat memberikan rumusan tentang masyarakat hukum adat[2].
Masyarakat
hukum dapat pula diartikan sebagai kelompok masyarakat yang yang membentuk
aturan hukumnya sendiri dan tunduk sendiri kepada aturan hukum yang dibuatnya
itu. Masyarakat hukum adat seperti ini dijumpai diseluruh wilayah Indonesia
dengan nama atau sebutan yang berbeda-beda, namun dengan ciri-ciri yang sama,
seperti misalnya desa di Jawa, desa pakraman di Bali, nagari di Minangkabau,
marga di Sumatra Selatan, kuria di Tapanuli, dan lain-lain. Secara
konstitusional, eksistensi masyarakat hukum adat ini diakui dalam UUD 1945.
Sebelum UUD 1945 diamandemen, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum
adat di Indonesia dapat dilihat dalam Penjelasan UUD 1945. Dalam penjelasan
terhadap Pasal 18, khususnya pada bagian II dinyatakan bahwa:
Dalam teritoir Negara Republik Indonesia
terdapat lebih kurang 250 zelfbestuurlandschapppen
dan volkgemeenschappen, seperti desa
di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan
sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati
kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang
mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut.
Setelah UUD 1945 diamandemen, keberadaan
masyarakat hukum adat diakui berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang”.
Desa
pakraman di Bali adalah masyarakat hukum adat dengan ciri-ciri seperti
dikemukakan di atas, namun selain itu dalam desa pakraman dijumpai pula
ciri-ciri lain yang bersifat khusus, yang tidak dijumpai dalam jenis masyarakat
hukum adat lainnya. Ciri khusus tersebut berkaitan dengan landasan filosofis
Hindu yang menjiwai kehidupan masyaakat hukum adat di Bali, yang dikenal dengan
filosofi Tri Hita Karana yang secara
literlijk berarti tiga (tri) penyebab
(karana) kebahagiaan (hita) yaitu Ida Sanghyang Jagatkarana (Tuhan Sang Pencipta), bhuana (alam semesta) dan manusa (manusia). Dalam keyakinan umat
Hindu di Bali, kesejahteraan umat manusia didunia ini hanya akan dapat dicapai
apabila terjadi keharmonisan hubungan antara unsur-unsur Tri Hita Karana tersebut,yaitu:
a.
keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang
Maha Esa;
b. keharmonisan hubungan antara manusia
dengan alam semesta;
c. keharmonisan hubungan antara manusia
dengan sesamanya.
Suasana harmonis itu secara kongkret diterjemahkan
dengan suasana tertib, aman, dan damai (trepti,
sukerta, sekala-niskala)[3]. Dalam kehidupan desa pakraman penjabaran
filosofi Tri Hita Karana itu
diwujudkan dalam tiga unsur pembentuk desa pakraman,yaitu:
a. parhyangan yaitu adanya kahyangan desa (kahyangan tiga:Pura Desa atau Bale Agung,Pura Puseh dan
Pura Dalem) sebagai tempat pemujaan bersama terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
b. palemahan,
sebagai wilayah tempat
tinggal dan tempat mencari penghidupan sebagai proyeksi dari adanya bhuana yang tunduk di bawah kekuasaan
hukum teritorial Bale Agung;
c. pawongan
atau pakraman yaitu warga (penduduk) desa pakraman yang disebut kerama desa sebagai
satu kesatuan hidup masyarakat desa pakraman[4].
Otonomi Desa Pakraman
Penjelmaan
dari filosofi Tri Hita Karana
tersebut di atas dalam kenyataannya dilingkungan desa-desa pakraman yang ada di
Bali sangat variatif, demikian pula mengenai struktur organisasinya. Terlepas
dari variasi-variasi yang ada, satu hal yang melekat pada semua desa pakraman
di Bali adalah bahwa desa pakraman adalah
organisasi sosial relegius yang otonom, yaitu berhak mengurus rumah tangganya
sendiri. Otonomi desa pakraman ini
mempunyai landasan yang kuat, disamping bersumber dari kodratnya sendiri
(otonomi asli) juga bersumber pada kekuasaan negara karena dalam struktur
kenegaraan mendapat pengakuan secara yuridis berdasarkan konstitusi (Pasal 18B
UUD 1945). Dalam perspektif lokal, otonomi desa pakraman mendapat penegasan
dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Dalam Pasal 1
dalam angka 4 peraturan daerah tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksudkan “Desa
pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang...berhak
mengurus rumah tangganya sendiri”.
Isi otonomi
desa pakraman ini adalah kewenangan
atau kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Meminjam teori pembagian
kekuasaan dalam negara modern seperti yang dikemukakan oleh Montesque dengan trias politica-nya, kekuasaan yang
dimiliki oleh desa pakraman meliputi
fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Wirta Griadhi dalam Sudantra[5] menguraikan isi otonomi desa pakraman
tersebut sebagai berikut:
1. kekuasaan menetapkan aturan-aturan hukum
yang berlaku bagi mereka. Dengan kekuasaan ini desa pakraman menetapkan tata hukumnya sendiri yang meliputi
seluruh aspek kehidupan dalam wadah desa pakraman.Aturan-aturan hukum ini lazim
disebut awig-awig desa pakraman atau pararem, yang ditetapkan secara
musyawarah melalui lembaga musyawarah desa yang disebut paruman desa. Kekuasaan ini dapat diidentikkan dengan kekuasaan
perundang-undangan (legislatif) dalam
lingkungan negara.
2. Kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan
organisasinya. Terlepas dari beragamnya variasi struktur organisasi serta
sistem pemerintahan desa pakraman yang dikenal di Bali, secara umum dapat
dikatakan bahwa aktivitas utama desa
pakraman adalah aktivitas yang bersifat sosial relegius. Perwujudan otonomi
desa pakraman dibidang sosial menyangkut hubungan sosial kemasyarakatan yakni
hubungan antar sesama warganya baik dalam ikatan kelompok maupun perorangan. Di
bidang kehidupan relegius, otonomi tersebut akan tewujud dalam bentuk
penyelenggaran kegiatan keagamaan oleh masyarakat sebagai kesatuan. Semua
aktivitas itu diselenggarakan dalam kordinasi pengurus/pimpinan desa pakraman
yang disebut prajuru adat. Susunan
prajuru adat ini bervariasi terutama berhubungan dengan tipe desa yang
bersangkutan (bali age dan apanage). Pada desa-desa pakraman yang
tergolong tipe desa pakraman apanage,
pejabat puncak dalam prajuru desa
adalah bendesa atau kelihan desa, dibantu oleh
pejabat-pejabat lainnya seperti penyade/petajuh/pangliman
sebagai wakil bendesa, penyarikan/juru surat yang berfungsi
sebagai sekretaris dan petengen/juru
raksa yang berfungsi sebagai bendahara. Belakangan ini, dalam struktur
prajuru desa juga disebut petugas keamanan desa pakraman yang disebut pecalang. Kekuasaan menyelenggarakan
kehidupan organisasi desa pakraman ini identik dengan kekuasan pemerintahan (eksekutif) dalam lingkungan negara.
3. Kekuasaan menyelesaikan
persoalan-persoalan hukum. Persoalan hukum yang dihadapi desa pakraman dapat
berupa pelanggaran hukum (nungkasin awig-awig,
drsta lainnya ataupun aturan-aturan
hukum adat lainnya) dan dapat berupa sengketa. Kekuasaan ini dapat diidentikkan
dengan kekuasaan peradilan (yudikatif)
dalam lingkungan negara.
Struktur Organisasi Desa Pakraman
Stuktur
organisiasi desa pakraman meliputi
susunan, sistem keanggotaannya, dan sistem pemerintahannya. Struktur organisasi
desa pakraman yang ada sangat bervariasi sangat tergantung kepada kondisi
setempat. Perbedaan varian struktur organisasi desa pakraman sangat kentara terutama antara desa-desa pakraman dengan tipe desa
baliage disatu pihak dan tipe desa apanage
dan desa anyar dilain pihak. Desa baliage, umumnya terletak di daerah pegunungan yang pada masa kerajaan dulu,
terletak jauh dari pusat pemerintahan kerajaan sehingga strukturnya menunjukkan
struktur yang asli karena tidak atau sedikit mendapat pengaruh kerajaan. Desa apanage, umumnya terletak didaerah Bali
dataran yang pada masa kerajaan dahulu mendapat pengaruh yang kuat dari
pemerintahan kerajaan sehingga strukturnya mengikuti struktur yang dikembangkan
oleh pemerintah kerajaan, terutama setelah pengaruh kerajaan Bali Majapahit.
Mengenai tipe desa anyar adalah desa pakraman yang terbentuk belakangan,
terutrama setelah masa kolionial Belanda sebagai akibat perpindahan penduduk
dari daerah-daerah Bali dataran untuk mencari lahan pertanian baru, sehingga
struktur desa pakraman yang dibentuk
oleh kelompok-kelompok penduduk tersebut mengikuti struktur desa yang lama.
1)
Susunan desa
pakraman
Dilihat dari susunannya, sebagian
desa pakraman bersusunan tunggal dan sebagian lagi bertingkat. Desa yang
besusunan tunggal terdiri dari satu banjar sedangkan desa pakraman yang
susunannya bertingkat terdiri dari beberapa banjar, bahkan sebagian dari
banjar-banjar itu dibagi-bagi lagi dalam kelompok kerja yang disebut tempekan. Menurut Pasal 1 butir 5
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun
2001, banjar disebut dengan istilah banjar
pakraman, yang didifinisikan sebagai “....kelompok masyarakat yang
merupakan bagian dari desa pakraman”. Tjok Istri Putra Astiti memberikan difinisi terhadap banjar dengan
menekankan pada fungsinya. Guru Besar Hukum Adat pada Fakultas Hukum
Universitas Udayana ini menyatakan bahwa “banjar merupakan organisasi
tradisional yang bersifat relegius dengan penekanan fungsinya pada masalah suka-duka, khususnya kematian[6]. Masalah suka-duka yang menjadi bidang tugas banjar meliputi
aktivitas-aktivitas pelaksanaan upacara keagamaan yang berhubungan dengan
keadaan suka (upacara perkawinan, upacara-upacara yang berkaitan dengan
tahap-tahap kehidupan manusia, dan lain-lain) dan keadaan duka (upacara yang
berkaitan dengan kematian, ngaben,
dan sebagainya).
Susunan
Desa Pakraman Keramas termasuk susunan desa pakraman yang bertingkat, yaitu
terdiri dari enam banjar dan tiap-tiap banjar dibagi lagi dalam 3-5 tempekan yang di Keramas disebut subak banjar. Ke enam banjar tersebut
berikut jumlah tempeknya adalah : Banjar Maspait terdiri dari 4 subak banjar, Banjar Lebah terdiri dari 3 subak banjar,
Banjar Lodpeken terdiri dari 3 subak banjar, Banjar Palak terdiri dari 4 subak
banjar, Banjar Gelgel terdiri dari 5 subak banjar, dan Banjar Bia terdiri dari
4 subak banjar.
2)
Sistem keanggotaan desa pakraman
Salah
satu unsur penting terbentuknya masyarakat hukum adat menurut Barend ter Haar
adalah adanya kelompok masyarakat yang bertindak sebagai satu kesatuan ke dalam
maupun ke luar. Kelompok masyarakat atau kelompok orang dalam desa pakraman
inilah yang disebut unsur pawongan (wong=orang). Kelompok orang yang merupakan
satu kesatuan dalam wadah desa pakraman itu disebut pakraman[7], yang merupakan anggota dari desa
pakraman atau desa pakraman. Anggota dari desa pakraman inilah yang lazim
disebut kerama desa. Sistem pakraman (keanggotaan) desa pakraman
yang ada di Bali bervariasi, tetapi dalam garis besarnya dapat dikelompokkan
dalam dua garis besar,yaitu:
a. Sistem pakraman berdasarkan ngemong karang ayahan;
Sistem ini umumnya dianut pada
desa pakraman yang masih sangat kuat pengaruh dari tanah adatnya. Ngemong karang ayahan berarti
“memegang/menguasai tanah milik desa (tanah
ayahan desa atau tanah karang desa)”.
Berdasarkan sistem ini maka status keanggotaan desa pakraman (kerama desa) akan dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu:
1)
kelompok kerama
yang menguasai tanah milik desa sehingga dikenakan kewajiban (ayahan) penuh kepada desa. Kelompok kerama ini disebut kerama ngarep atau istilah lainnya sesuai dengan adat (dresta) setempat.
2)
kelompok kerama
yang tidak menguasai tanah milik desa sehingga tidak dikenakan kewajiban penuh
kepada desa. Kewajiban-kewajiban yang dikenakan terhadap jenis ini bervariasi
antara desa pakraman yang satu dengan desa pakraman lainnya sesuai dengan awig-awig yang berlaku di desa tersebut.
Kelompok kerama ini disebut kerama pengele, kerama roban, kerama sibakan, dan sebagainya.
b.
Sistem pakraman berdasarkan mapikuren.
Mapikuren artinya berumah
tangga. Berdasarkan sistem ini maka keanggotaan seseorang menjadi kerama desa dimulai setelah yang
bersangkutan berumah tangga (kawin). Dalam sistem ini tidak ada perbedaan
status kerama desa seperti dalam
sistem ngemong karang ayahan, sehingga
semua kerama desa mempunyai hak dan
kewajiban yang sama terhadap desa. Berdasarkan sistem ini seorang anak (laki-laki/sentana rajeg) yang telah kawin, secara
otomatis menggantikan kedudukan orang tuanya “ngayahang desa/banjar” (sebagai kerama desa). Apabila dalam
keluarga tersebut ada lebih dari seorang anak laki-laki, maka anak yang pertama
kawin yang menggantikan “ayahan”
orang tuanya, sedangkan anak lainnya yang belakangan kawin “ngayahang” ayahannya sendiri sebagai
kerama desa yang lahir secara otomatis setelah ia kawin. Pada prinsipnya
seseorang mulai “tedun ngayah/tuun ngayah” (mulai melaksanakan
kewajiban desa/banjar) adalah setelah yang bersangkutan kawin. Tetapi mengenai
waktunya secara tepat sangat variatif
tergantung pada awig-awig desa yang bersangkutan. Ada desa yang menggunakan hitungan sasih (bulan), misalnya tiga atau enam bulan
setelah perkawinan dilaksanakan[8].
Desa pakraman dengan sistem ini umumnya dianut oleh desa pakraman yang tidak
mempunyai tanah adat atau tidak kuat pengaruh tanah adatnya.
Di Desa Pakraman Keramas, sistem keanggotaan desa pakraman didasarkan pada
sistem mapikuren, walaupun eksistensi
tanah karang desa masih cukup kuat. Berdasarkan Pawos 5 kaping (1) Awig-awig
Desa Pakraman Keramas, “Krama Desa inggih punika kulawarga sane
maagama Hindu, ngamong karang desa, utawi kulawarga sane maagama Hindu jumenek
ngenahin karang gunakaya wiadin medunungan ring sajeroning palemahan Desa Adat
Keramas” (Terjemahan bebas: Krama Desa adalah keluarga Hindu yang menempati
karang desa ataupun tanah pribadi atau menumpang dalam wilayah Desa Pakraman
Keramas). Dalam Pawos 7 kemudian disebutkan,
Kawit dados Krama Desa utawi Krama Banjar:
a.
Mawiwit sangkaning jumenek ring karang
desa;
b.
Malarapan antuk pawiwahan tur sampun
mawidhi-widana manut dresta lan agama;
c.
Sangkaning sampun mayusa nem belas (16)
warsa sane istri, siongolas (19) warsa sane lanang tur dereng maswami/marabi;
d.
Mawiwit saking jenek mapaumahan wiadin
ngarereh pangupajiwa sajeroning palemahan Desa Adat Keramas tur sampun
ngelintangin pawanengan tigang (3) sasish, sajawaning sane ngamargiang pakaryan
Pemerintah (Pegawai Negeri)
Terjemahan bebas dari Pawos 7 di atas adalah bahwa
seseorang mulai menjadi krama desa karena: (a) menempati tanah karang desa; (b)
sudah sah berumah tangga (kawin); (c) telah berusia 16 tahun untuk perempuan
dan 19 tahun untuk laki-laki tetapi belum kawin; (d) bertempat tinggal di dalam
wilayah Desa Pakraman Keramas karena bekerja mencari nafkah melewati batas
waktu tiga bulan, kecuali Pegawai Negeri.
3)
Sistem
pemerintahan desa pakraman
Pemerintahan desa pakraman dilakukan
oleh pengurus desa pakraman yang lazim disebut prajuru atau dulu (paduluan) Sistem pemerintahan desa pakraman
juga sangat variatif sangat dipengaruhi oleh tipe desa yang bersangkutan[9].
Tipe desa pakraman yang ada di Bali
dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu :
1.
Desa Baliage,
yaitu desa tua di Bali yang masih kuat
mempertahankan sistem kemasyarakatan asli yang dalam jaman kerajaan dulu tidak
dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan Majapahit. Umumnya desa dengan tipe ini
terdapat didaerah pegunungan dan jauh dari pusat kerajaan. Contohnya adalah
desa Tenganan Pagringsingan (Karangasem), Marga Tengah (Gianyar), dan
lain-lain.
2. Desa Apanage adalah desa-desa yang pada
jaman kerajaan dahulu sangat intensif mendapat pengaruh dari sistem
kemasyarakatan Majapahit. Umumnya desa apanage terteletak di daerah Bali dataran dan dekat dengan pusat kerajaan. Contohnya adalah Desa Pakraman
Denpasar, Desa Pakraman Kerobokan,dan lain-lain.
3.
Desa Anyar (Baru) yaitu desa yang timbul karena akibat
dari perpindahan penduduk yang didorong keinginan mencari lapangan kehidupan.
Mereka merabas hutan di daerah baru kemudian membentuk desa. Desa demikian
umumnya ditemui pada daerah Kabupaten Jembrana dan Buleleng bagian barat. Contohnya
adalah Desa Pakraman Yeh Buah (Negara).
Sistem
pemerintahan desa pakraman tipe Bali
Apanage dan desa-desa baru umumnya menganut sistem pemerintahan tunggal
sedangkan desa pakraman tipe Baliage
umumnya menganut sistem pemerintahan kembar atau sistem pemerintahan kolektif
Dalam sistem pemerintahan tunggal,
dalam struktur prajuru terdapat seorang pejabat puncak dalam desa pakraman yang
disebut Bendesa atau Kelian Desa yang dibantu oleh Penyarikan dan Patengen serta prajuru lainnya
seperti sinoman, dan lain-lain. Penyarikan adalah juru tulis yang
berfungsi seperti sekrearis dalam organsasi modern, sedangkan patengen berfungsi seperti bendahara
dalam organisasi modern. Pada
tingkat banjar terdapat prajuru yang strukturnya disesuaikan
dengan kebutuhan. Paling tidak, ada seorang kelian
banjar atau kelian adat.
Dibeberapa tempat stuktur prajuru banjar umumnya dilengkapi oleh sekretaris
yang disebut penyarikan atau juru tulis
dan bendahara yang disebut petengen atau
juru raksa. Jika banjar cukup besar dengan anggota (kerama) yang banyak, kadang-kadang untuk efektifitas dan efesiensi
pelaksanaan tugas, banjar dibagi-bagi
lagi dalam wilayah-wilayah kerja yang disebut tempekan, yang dipimpin oleh seorang kelian tempek. Tempek lebih banyak berfungsi sebagai kelompok kerja
yang mengerjakan pekerjaan banjar tertentu yang tidak perlu dikerjakan oleh
seluruh anggota banjar.
Dalam desa
pakraman yang menganut sistem pemerintahan kembar, terdapat dua pejabat
puncak yang sederajat dalam struktur pemerintahannya. Contoh desa pakraman dengan sistem pemerintahan
kembar antara lain adalah Desa Pakraman Marga Tengah (Gianyar). Susunan
perangkat Desa Pakraman Marga Tengah adalah sebagai berikut: (1) Dua orang kubayan (kubayan tengawan dan kubayan tengebot), (2)Dua orang kubahu (kubahu tengawan
dan kubahu tengebot), (3) Dua orang singgukan (singgukan tengawan dan singgukan tengebot), (4) Bendesa, (5) Penyarikan, (6) Kasinoman
Dalam
desa pakraman dengan sistem
pemerintahan kolektif, terdapat lebih dari dua orang pejabat puncak dalam
stuktur pemerintahannya. Di Desa Pakraman Tenganan Pagringsingan, misalnya
seluruh kerama desa mempunyai
kedudukan sebagai berikut: (1) lima orang luanan, (2) enam orang bahan duluan, (3) enam orang bahan tebenen, (4) enam orang tambalapu duluan, (5)enam orang tambalapu tebenan, (6) sisanya dinamai pangeludan. Enam orang bahan
duluan dan enam orang bahan tebenan
sering disebut bahan roras. Apabila
seorang dari pejabat yang lebih tinggi meninggal maka akan digantikan oleh
seoreang pejabat (yang tertua dalam urutan perkawinan) dari tingkatan yang
lebih rendah, demikian seterusnya. Itulah sebabnya sistem pemerintahannya
disebut sistem pemerintahan ulu apad.
Desa Pakraman Keramas menganut
sistem pemerintahan tunggal, dengan pejabat puncak seorang Bendesa, yang dibantu Petajuh,
Penyarikan, Petengen, Kasinoman,
dan Kelihan-kelihan Banjar. Prajuru
Desa Pakraman Keramas dipilih dan ditetapkan melalui Paruman Agung Desa[10] dengan masa
jabatan selama 5 (lima) tahun.
Stuktur
Prajuru Desa Pakraman Keramas
|

Awig-awig Desa Pakraman
Seperti
diuraikan di depan, desa pakraman
adalah kesatuan masyarakat hukum adat. Sebagai suatu masyarakat hukum, desa pakraman mempunyai tata hukum
sendiri yang bersendikan kepada adat istiadat (dresta) setempat. Tatanan hukum yang berlaku bagi krama desa
pakraman lazim disebut dengan istilah awig-awig desa pakraman. Secara umum yang
dimaksud dengan awig-awig adalah patokan-patokan
tingkah laku, baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat
yang bersangkutan, berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam
masyarakat, dalam hubungan antara krama
(anggota desa pakraman) dengan Tuhan,
antar sesama krama, maupun krama dengan lingkungannya[11]. Dengan pengertian demikian, maka menjadi
jelas bahwa semua desa pakraman di
Bali mempunyai awig-awig walaupun
bentuknya mungkin belum semua tertulis. Belakangan, terutama sejak 1969[12], ada kecendrungan desa pakraman menuliskan awig-awignya
dalam bentuk dan sistematika yang seragam. Tujuannya adalah agar prajuru adat dan generasi mendatang
dapat lebih mudah mengetahui isi awig-awig
desanya. Awig-awig yang tertulis
tersebut umumnya memuat pokok-pokok mengenai kehidupan desa pakraman, sedangkan aturan-aturan pelaksanaannya yang lebih
rinci dituangkan dalam bentuk pararem.
Pararem adalah keputusan paruman (rapat) desa pakraman.
Desa
Pakraman Keramas telah mempunyai awig-awig tertulis dengan sistematika yang
baik. Awig-awig yang berlaku sekarang ditulis tahun 1990, yang disahkan melalui
Paruman Agung di Paura Desa Keramas tanggal 12 April 1990 hari Kemis Kliwon
wuku Langkir sasih Kedasa Isaka Warsa 1912. Awig-awig yang terdiri dari 8 saega
(bab) dengan 88 pawos (pasal) ini telah dilengkapi pararem penyacah awig
(aturan pelaksana dari awig-awig) yang ditetapkan tanggal 17 Desember 1994 dan pararem indik nerima tamiu pawiwahan yang dibuat tanggal 28 Februari 1999.
[1]Tidak ada penjelasan otentik mengenai
konsep Kahyangan Desa yang dimaksud
dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001, sehingga dapat menimbulkan penafsiran
yang beragam dalam implementasinya. Bisa saja ditafsirkan, suatu komunitas adat
yang hanya mempunyai salah satu pura dari Kahyangan Tiga atau telash mempunyai
pura milik desa lainnya, merasa sudah mempunyai Kahyangan Desa sehingga menuntut haknya untuk diakui sebagai desa
pakraman. Walaupun pengaruh pergeseran pengertian ini terhadap munculnya desa
pakraman baru masih perlu diteliti lebih mendalam, hipotetis demikian dapat
diterima akal sehat jika dikaitkan dengan fenomena belakangan ini mengenai munculnya
beberapa desa pakraman baru yang minta pengakuan untuk dapat memperoleh bantuan
dana dari pemerintah.
[2] R. Soepomo II, hal.
43-44. Lihat juga Ter Haar , 2001, Asas-asas
dan Susunan Hukum Adat. Pradnya Paramita., Jakarta, hal. 27 (Selanjutnya
disebut Ter Haar I); Lihat juga Van Dijk, 1979, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Penerbit Sumur Bandung, hal. 18.
[3] I Ketut Sudantra, 2001, ”Pola Penyelesaian Persoalan-persoalan
Hukum Hukum Oleh Desa Adat”. Dinamika
Kebudayaan III (1). Lembaga
Penelitian Universitas Udayana, Denpasar, hal. 2 (Selanjutnya
disebut I Ketut Sudantra I).
[4] Tim Peneliti Pusat Studi
Hukum Adat Unud., op.cit., hal. 24.
[5] I Ketut Sudantra, 1999,
”Formalisasi Forum Komunkasi Antar Desa
Adat dalam Kontek Penyelesaian Persoalan-persoalan Hukum yang Dihadapi Desa
Adat”, Kertha Patrika No.72 Th.XXIV. Denpasar: Fakultas Hukum Universitas
Udayana, hal. 98 (Selanjutnya disebut I Ketut Sudantra II).
[6] Tjok Istri Putra Astiti, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali,
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana , hal. 9
(Selanjutnya disebut Tjok Istri Astiti II).
[8].Pawos 8 Awig-awig Desa Pakraman Keramas (Blahbatuh Gianyar)) misalnya menyebutkan bahwa “Panemayan
tedun dados Krama Desa/Krama Banjar: a. Nem (6) sasih sesampun upacara
pawidhi-widhana, sakirang-kirangnia pabiakalan,...” (Terjemahan bebas: Saat
menjadi kerama desa/kerama banjuar adalah enam bulan setelah upacara pengesahan
perkawinan)
[9] Dalam masing-masing tipe desa ini juga
terdapat variasi-variasi sesuai dengan adat setempat (dresta,sima, dan cara) ataupun kebutuhan masing-masing desa
pakraman.
[10] Paruman Agung Desa adalah rapat yang dihadiri
seluruh kerama desa.
[11] Tjok Istri Putra Astiti II, op.cit.,hal. 19.
[12]Pada tahun 1969 berlangsung Seminar I
tentang Pembinaan Awig-awig dalam Tertib Masyarakat di Fakultas Hukum Unud.,
yang antara lain menyimpulkan perlunya penyeragaman bentuk dan sistematika
awig-awig. Untuk maksud tersebut, Majelis Pembina Lembaga Adat Propinsi Bali
membuat Pedoman Penulisan Awig-awig, yang kemudian digunakan sebagai pedoman
kerja pembinaan awig-awig. Lihat Tjok Istri Putra Astiti II, op.cit., hal. 19.
[13] F.W.F. Hunger, op.cit., hal. 6.
[14] I Gde Parimartha, op.cit., hal. 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar